Tapi Tak Tercatat pada Buku “Apa Siapa Penyair Indonesia”
Arief Joko Wicaksono
pelangisastramalang.org, 21 Feb 2019
Bintang Forum Penyair Indonesia 1987 di TIM, Jakarta, Wahyu Prasetya, hari Rabu (14/2/2018) meninggal dunia dalam usia 61 (5/2/1957). Kendati terus bersajak, penyair kelahiran Malang yang kini bekerja di Muara Teweh, Kalimantan dan domisili di Bekasi, Jawa-Barat, namanya terlupakan dalam buku “Apa Siapa Penyair Indonesia”. Padahal bukunya “02:30 Abstraction” (1996) terbit di Sorbourne, Perancis dan “Merely A Dagger” (1996) di Idaho, USA.
“Tapi sebagai penyair kamu memang orang Malang, Yu. Namamu tak ada dalam kitab Apa Siapa Penyair Indonesia. Terkalahkan sama generasi penulis sajak era facebook-er,” goda saya saat kontak via inbox dengan Wahyu yang kebetulan di Muara Teweh, saat lagi ‘mendapatkan sinyal’. “Tenang saja bro, aku temani. Aku juga enggak ada,” ujar saya sambil mengingat buku kuning yang diluncurkan pada Hari Puisi Indonesia, Oktober, 2017. Kami tertawa-tawa dengan saling memberi kode: hahaha.
Ketika saya memberi tahu kalau suatu saat kelak buku yang 675 halaman itu kemungkinan direvisi, saya katakan tatkala bertemu Sihar Ramses Simatupang—selaku ko-editor—nama Wahyu Prasetya penyair yang kondang dengan sajak “Asia Tenggara” akan dimasukkan pada edisi pembaruan. Perihal ini, Wahyu mengucapkan, “Syukur Alhamdulillah kalau masih ada yang ingat.”
“Tolong supaya namaku masuk, biodatanya kamu yang buat, seingatmu. Sebab di sini untuk menulis biodata aku sering kesulitan sinyal. Mengko kalau sudah jadi sekalian dikirimkan ke email penyusun buku. Tolong banget ya,” tulis Wahyu melalui inbox Facebook.
Sebelum saya menjalankan amanahnya, Wahyu yang akrab dipanggil Pungky—yang masa mudanya garda-gara majalah Aktuil sangat menyukai musik Rock—seperti umumnya Arek Malang juga pernah rajin menulis reportase pertunjukkan musik rock di koran Suara Indonesia, telah tiada.
Saya yang diberitahu via inbox Facebook oleh Foeza Hutabarat, begitu kaget. Sebab, ada beberapa rencana mengumpulkan puisi-puisi Wahyu yang sejak lama dipesan Remmy Novaris DM untuk diduetkan dengan penyair Irawan Sandhya Wiraatmaja—sebagai sesama anggota Komunitas Bintaro—belum sempat saya penuhi. Sejumlah puisi Wahyu yang masih diketik dan dulu tidak termuat di Harian Sinar Harapan/Suara Pembaruan—tempat saya bekerja sebagai jurnalis—masih saya simpan.
Dengan tubuh lesu, saya yang lagi ada keperluan di kaki Gunung Pancar, Bogor, segera pulang. Untuk ke rumah duka di kawasan Bekasi, pasti terlambat. Sesampai di rumah menjelang Isya saya pilih untuk menulis catatan ‘hasil jngatan’ ini sembari berdoa, “Semoga engkau, sahabatku, yang kini telah rajin ibadah, khusnul khatimah.”
NAFAS TELANJANG
Wahyu Prasetya mulai menulis ketika usianya menginjak 21, tahun 1978. Namanya mulai dikenal sesama penyair muda sebaya pada tahun 1979 ketika dia juga Bambang Widjatmoko, yang waktu itu masih di Yogya, memenangkan penulisan puisi yang diadakan Majalah Semangat, asuhan penyair PSK Ragil Suwarna Pragolapati. Bahkan, Wahyu dan Bambang, dua penyair yang suka diasuh oleh kakek dan neneknya ini, menerbitkan buku “Nafas Telanjang.”
Sejak era itu, sajak- sajak Wahyu Prasetya yang masih berdomisili di Malang, mengalir deras merajai majalah Zaman, rubrik Tikungan yang dianggap sebagai ‘Horison’-nya anak muda, karena karya yang dimuat sangat selektif. Pun, karya-karya Wahyu banyak muncul di Majalah Putri, asuhan penyair Adri Darmadji Woko, serta sejumlah media ternama lainnya, termasuk nembus Majalah Sastra Horison.
Tahun 1982, Wahyu memberanikan diri berkelana di beberapa negara, dan menetap agak lama di Jerman Barat. Alasannya ke Jerman, seperti diceritakan pada saya, agar dia dapat menonton band-band rock, Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, Pink Ployd hingga Iron Maiden, yang baru diakui dunia setelah sukses di Jerman. “Aku juga ingin membuktikan pada warga Malang, bahwa band yang umumnya digandrungi anak muda Malang, telah aku tonton langsung. Maka, aku membuat reportasenya di Suara Indonesia, koran Malang,” ujar Wahyu Prasetya. Lanjutnya lagi, “Kedua, saya juga ingin merasakan pengalaman hidup dengan menulis sajak-sajak petualangan dari Mancanegara. Kenapa? Gaya sithik dong, rek. Biar pada sajak-sajakku, selain ada angka tahun, ada pula nama- nama kota di Jerman Barat, hehe,”
Selama di Jerman, anak jejer Kauman Malang ini, nekad bekerja apa saja; namun yang terlama sebagai penyapu halaman gereja. “Aku jadi dapat uang, numpang tidur gratis hingga penghasilanku bisa untuk nonton musik, beli buku buku sastra yang kuperlukan, ben aku terangsang menulis puisi terus,” ungkapnya.
Ketika di Jerman, Wahyu mengaku sering bertemu penyair Emha Ainun Najib yang saat itu periode 1984, seusai pembacaan puisi di Belanda, Emha pengin tahu Jerman. “Tetapi, karena kehabisan ongkos, Emha sempat lontang-lantung tak bisa pulang, hingga kadang ke tempatku. Pokoknya berpindah-pindah, sampai kita enggak ketemu lagi,” ujar Wahyu.
KOMUNITAS BINTARO
Pulang ke Tanah Air, Wahyu yang saat itu sudah menikah dengan BeeTjiek, memilih berdomisili di Dumai, Provinsi Riau, sekitar tahun 1985-1986. Dari Dumai itulah, sajak sajaknya dengan judul Pipa Merenung, Asia Tenggara, dll., banyak muncul di media-media Jakarta, termasuk di Berita Buana rubrik Dialog asuhan penyair Abdul Hadi WM (Abdul Hadi).
Berkat sajak-sajaknya di Berita Buana, Abdul Hadi WM yang juga anggota DKJ, mengundang Wahyu dan sekitar 90an penyair muda sebaya untuk tampil dalam acara yang dianggap spektakuler, yakni Forum Penyair Indonesia 1987, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, selama tiga hari. Dalam forum yang karya-karya penyair dibahas oleh Sutardji CB, beberapa penyair mulai melonjak ke tingkat nasional, di antaranya Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yeha (Yosi Herfanda), Isbedy Stiawan Z. S., Soni Farid Maulana, Micky Hidayat, Fakhrunnas MA Jabbar, Gus Tf., Remmy Novaris DM, Aming Aminoedhin, Ahmad Nurullah, Djamal D. Rahman, dll., serta sejumlah penyair yang hingga kini masih konsisten menulis, Nanang R. Supriyatin, Handry Tm, Gunoto Saparie, Ayid Suyitno Ps, Djuhardi Basri, Saiful Syaiful Irba Tanpaka, Tajuddin Noor Ganie, DedetSetiadi, Mathori AElwa, untukku, sekadar menyebut nama.
Usai Forum Penyair Indonesia, Remmy Novaris, Wahyu P, Nanang juga Irawan Sandhya Wiraatmaja juga saya mendirikan Komunitas Bintaro, menggunakan rumah Wahyu yang belum lama pindah dari Dumai ke Bintaro. Sebagaimana komunitas yang lagi marak era itu, Komunitas Bintaro juga rajin mengadakan pertemuan, diskusi sastra sampai larut malam.
Ada peristiwa “lucu” yang membuat kami selalu tertawa mengingat Komunitas Bintaro. Syahdan, waktu itu musim hujan bulan November 1989, kami berempat, Remmy, Nanang, saya dan Wahyu berkumpul. Entah berapa kali istri Wahyu membuatkan kopi untuk obrolan kami. Tahu-tahu karena asyik, waktu usai Subuh. Saat akan pulang, karena kami punya kerjaan tetap, sepatu kesayangan yang saya letakkan di depan pintu rumah Wahyu ternyata raib. Kami sudah mencari ke sana kemari, takut digondol tikus, tetapi tak ketemu. Akhirnya saya pulang nyeker ditemani Remmy dan Nanang yang PNS, dengan bersepatu. Sepanjang jalan, Remmy dan Nanang terus meledek saya yang nyeker hingga ketemu warung kelontong untuk beli sandal. Hmm..
BALIK KE MALANG
Memasuki tahun 1992-an, Wahyu Prasetya kembali ke Malang untuk mengurus hotel warisan. Di kota kelahiran ini, dia sangat produktif berpuisi. Sajak-sajaknya lancar, mengalir tanpa beban menyuarakan kesepian, kerinduan manusia, kekerasan hidup serta sengkarut masalah masalah zamannya. “Dalam menulis, aku terangsang setelah mendengarkan suara kran pada air ledeng yang menetes, begitu resepnya,” ungkap Wahyu.
Saya yang masih jomlo saat itu dan punya cita-cita ‘aneh’ sejak remaja, yakni ingin punya istri secantik Ken Dedes, memang kalau liburan kantor, sering pergi ke bekas kerajaan Singasari, deket candi Jago, yang ada petilasan yang dijaga patung Dwarapala. Di situ saya mencari gadis-gadis yang mirip Ken Dedes, tetapi tak pernah ketemu. Dengan perburuan itu yang memakan waktu satu minggu pula, saya sering ke Malang dan jumpa kembali dengan Wahyu. Dan, Wahyu tahu serta sering meledek keinginan saya itu. “Mbok cari pasangan hidup yang lumrah aja ‘kan lebih gampang, daripada terus membujang,” begitu nasihatnya.
Selama beberapa kali pertemuan di Malang, saya tahu Wahyu kian produktif. Lebih enam ratusan sajak lahir bagai kucuran air, di antaranya yang kemudian dibukukan dalam “02: 30 Abstraction” yang terbit di Perancis dan “Merely Dagger” di Idaho, USA.
Selain itu, Wahyu semakin gencar menerjemahkan sajak-sajak penyair Eropa dan Amerika. Beberapa karya terjemahan ada yang dikirim dan dimuat di majalah CAK yang dikelola Sanggar Minum Kopi Bali, serta dikirim ke Harian Suara Pembaruan, tempat saya bekerja.
Setelah saya menuruti nasihatnya, agar tak mencari calon istri kayak Ken Dedes, saya mendapatkan jodoh, tepatnya dicarikan jodoh oleh ibu saya. Karena menikah, saya tak tergoda lagi mencari gadis ala Ken Dedes di Singasari, Malang, hingga saya dan Wahyu tak bertemu lagi. Kabarnya, dia juga menikah lagi, kemudian meninggalkan dunia begadangan dengan bekerja di Muara Teweh, Kalimantan dengan keluarga di Jatiasih, Bekasi.
Tahu dia ada di Kalimantan kemudian muncul di era Facebook, kalau tak salah dapat info dari Bambang Widiatmoko dan Remmy Novaris DM. Sesuai petunjuk saya klik nama Haji Eyang, dan seminggu kemudian berteman di Facebook. Kami dan juga teman-teman sering kontak dengan Wahyu Prasetya alias Haji Eyang hanya di Facebook (kecuali, mungkin, Bambang Widjatmoko). Bahkan, Remmy mengatakan berulang kali ingin menerbitkan puisi-puisi Wahyu Prasetya untuk diduetkan bersama Irawan Sandhya Wiraatmaja yang nama aslinya Mustari Irawan, kini Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia. Kenapa dengan Irawan? Ternyata saat Wahyu di Jakarta, selain sama-sama anggota Komunitas Bintaro, Wahyu juga sering berkunjung ke rumah Irawan, saat itu, di Jalan Senopati, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Mereka berdua punya memori khusus selaku penyair.
Ketika saya kabarkan peraih Hadiah Utama Hari Puisi Indonesia, 2017 adalah Irawan Sandhya Wiraatmaja dengan buku Giang terbitan KKK yang dikelola penyair Kurniawan Junaedhie, dalam obrolan di inbox Facebook, Wahyu mengatakan, “Sangat pantas, hmm.” “Tahun depan andai buku puisi terbarumu ikut, bisa jadi kamu yang menang, Yu,” goda saya.
Ternyata, pada 14 Februari 2018 yang bertepatan dengan Hari Valentine, Wahyu Prasetya genap 61 tahun sejak 5 Februari lalu, telah kembali ke pangkuan yang kuasa, tanpa sosok namanya dicatat dalam buku “Apa Siapa Penyair Indonesia”. Tragis. Tapi, saya—juga tentu beberapa sahabat yang pernah dekat—tahu, dia penyair sekali. Dan, percaya, semoga namanya serta amal amalnya, ditulis dan diabadikan sangat baik oleh malaikat yang disampaikan padaNya. Aamiiin. (Pen: Arief Joko Wicaksono/Ed: M. Dandy)
Pengakuan ini diambil dari Lingkar Studi Sastra Trawulan (yang juga diambil dari status Facebook Arief Joko Wicaksono). Tulisan ini disunting oleh editor agar sesuai dengan ejaan tanpa mengurangi substansi.