Dimanakah Sastra Dunia?

Nirwan Dewanto *
islandsofimagination.id

Kurang lebih empat dasawarsa lalu, kritikus sastra H.B Jassin berkata bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Hari-hari ini tampaknya kita mesti berkata bahwa pernyataan Jassin itu benar dalam satu hal: sastra dunia itu milik kita, menjadi bagian dari kehidupan sastra Indonesia mutakhir. Apalagi di zaman “globalisasi” sekarang! Paling tidak, dengan “sastra dunia” itulah para sastrawan kita mempunyai ukuran baik-dan-buruk dalam mencipta dan menilai. Continue reading “Dimanakah Sastra Dunia?”

Pelukis Merupakan Celeng

Nirwan Dewanto
Tempo, Edisi. 40/XXXIV/28 Nov – 04 Des 2005

Datang pada penghujung sebuah pesta kecil ulang tahun, seorang perempuan kulit putih berkata, ”Maaf, saya terlambat karena saya harus meniduri bayi saya.” Saya tahu, sudah bertahun-tahun ia berbahasa Indonesia.

Konon, bahasa kita adalah bahasa yang mudah. Juga bagi penutur asing. Berlainan dengan bahasa-bahasa Barat, bahasa Indonesia—yang tak mengenal perubahan kata kerja berdasarkan kala peristiwa maupun jenis subyek—adalah bahasa yang gampang dipelajari dan diamalkan. Ternyata tidak sama sekali. Lihatlah, misalnya, kiprah awalan ”me-”. Continue reading “Pelukis Merupakan Celeng”

Tentang “Sastra Pedalaman” Itu

Nirwan Dewanto
Kompas, 04 Sep 1994

AKHIR-AKHIR ini, dalam khazanah sastra kita, “dominasi pusat” kembali dipersoalkan beberapa sastrawan (di) daerah “angkatan” terbaru. Sejumlah kegiatan sastra yang muncul di beberapa kota di Jawa dan Sumatera — meliputi pembacaan puisi, diskusi sastra, penerbitan buku puisi dan buletin sastra — diwarnai ketidakpuasan terhadap sang pusat yang berlaku sewenang-wenang: meremehkan atau mengabaikan bakat dan kekuatan baru yang muncul di wilayah “pedalaman” itu. Continue reading “Tentang “Sastra Pedalaman” Itu”

Octavio paz, amerika latin, dan senjakala modernisme

Nirwan Dewanto *
tempointeraktif.com

BERTAHUN-TAHUN lalu saya mengenal nama Octavio Paz melalui sebuah sajaknya dalam terjemahan Indonesia. Baris-baris sajak itu tidak dapat saya ingat lagi, tetapi yang tertinggal pada saya adalah “inti”-nya: aku yang melihat perlahan-lahan berubah menjadi aku yang dilihat, aku yang menyatakan bermetamorfosis menjadi aku yang dinyatakan. Continue reading “Octavio paz, amerika latin, dan senjakala modernisme”

Bahasa »