Rialita Fithra Asmara
Ini bukan tentang khuldi, buah yang dimakan oleh Adam dan Hawa. Tapi buah yang muncul dari sebuah bunga yang telah terlebih dahulu mengalami penyerbukan secara sempurna. Benang sari dan putik telah dihalalkan untuk bertemu lewat hembusan angin.
Kulihat wajah istriku bersemu merah seperti senja, biasanya itu terjadi pada istriku ketika dia malu atau sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
“Kau ingin berkata sesuatu?” tanyaku kemudian. Tak ada jawaban, melainkan kulihat istriku tampak begitu khusuk mengelus-ngelus perutnya yang membuncit, tentu dengan wajah yang tetap bersemu merah. Melihatnya, aku jadi gemas. Kuletakkan koran yang semula kubaca.
“Dokter bilang kurang dua minggu lagi.” Istriku mulai berjalan mendekatiku.
“Oh…ya? Kapan kau periksa lagi ke dokter? Kenapa aku tak diberi tahu?” kuberikan dia serentetan pertanyaan. Aku sebagai suami pasti dikatakan tak bertanggung jawab jika harus membiarkan istrinya sendirian memeriksakan kehamilannya. Aku paling tidak tahan dengan omongan orang.
“Belakangan ini kau mulai sibuk dengan penelitianmu.” Mendengar kata penelitian, aku mulai berantusias menceritakan tentang dipecatnya pluto dari kedudukannya sebagai planet dengan berbagai alasan, salah satunya karena orbitnya overlap dengan neptunus.
“Lalu, kapan bumi dipecat sebagai planet? Kalau dipecat, bagaimana kalau kita ganti menjadi surga?”
Mendengar respon istriku, aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Sejurus kemudian kudengar istriku berkata lagi.
“Jangan bilang kalau kau akan beralih pada astronomi?”
“Aku tak kan beralih dari botani1. Sejak kecil aku suka tanaman.” Tiba-tiba istriku mencium keningku, dia memang sangat mendukungku menjadi peneliti berbagai jenis tanaman. Tak heran bila rumah kami mempunyai pagar hidup. Tanaman yang kami gunakan untuk pagar hidup adalah bambu hias dari jenis bambu jepang dan bambu kuning.
Malam semakin menguasai hari, memaksa kami untuk sejenak menghentikan obrolan agar segera melepas lelah setelah seharian mencucurkan keringat. Malam itu kupeluk istriku begitu erat, dua minggu lagi akan lahir buah cinta kami. Kami menyebutnya buah dari surga. Tak ada alasan lain, kenapa kami menyebutnya demikian selain ia lahir dari penyerbukan yang direstui disaksikan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi serta diikat lewat perjanjian agung di depan penghulu. Saat itu, seribu malaikat, seribu rumput turut bertasbih mendoakan cinta kami.
Dua minggu kemudian…
Istriku merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya. Segera ia kubawa ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa istriku harus dioperasi, itu jalan satu-satunya. Aku sangat khawatir mendengarnya, apa ada yang tidak beres dari buah surga kami.
“Tenanglah, Pak Fajar berdoa saja semoga tak terjadi apa-apa dengan istri dan anak Bapak.” Dokter Bambang mencoba meyakinkanku.
Aku pergi ke sebuah mushalla, mengadu pada Sang Pemilik Segala Waktu. Hatiku teriris, seperti luka yang baru lalu disiram gerimis. Di saat yang pedih teramat miris, seharusnya aku berada di sisi istriku, dia pasti kesakitan sendirian. Oh Tuhan, aku tak tega membayangkannya. Kubasuh seluruh wajahku dengan air wudhu yang menentramkan. Kuhadapkan wajahku pada kiblat dengan pengharapan sekaligus penyerahan yang amat sangat.
Beberapa jam berlalu, kulihat dokter Bambang keluar dari ruang operasi dengan roman wajah yang sulit untuk ditafsirkan. Hatiku semakin was-was.
“Dok…!” Kuhadang langkah dokter Bambang yang rambutnya mulai memutih termakan usia.
“Istri Anda baik-baik saja.”
“Anak saya, bagaimana dengan anak saya Dok?”
“Anak Anda lahir dalam keadaan conjoined 2, besok akan ada rapat para dokter untuk menolong anak Bapak.” Dokter Bambang meninggalkanku yang terkulai lemas.
Aku segera ke ruang khusus di mana anakku di rawat, kulihat dua bayi yang dalam keadaan dempet dan terlihat amat lemah. Benarkah mereka buah surga yang kami harapkan. Aku sama sekali tak punya kekuatan untuk memberitahukan semua ini pada istriku.
Langkahku terasa lunglai, kamar di mana istriku dirawat semakin dekat dan bibirku, sungguh bibirku terasa kelu.
“Mas, kenapa tanganmu terasa dingin?” Istriku memegang tanganku.
“A…ku…”
“Oh…ya di mana bayi kita, aku ingin segera melihatnya.” Matanya begitu berbinar waktu mengatakan hal itu.
Kubelai rambutnya dengan lembut lalu kukecup keningnya.
“Anak kita masih perlu sedikit perawatan, karena dia lahir lewat operasi.” Kulihat rona kekecewaan di wajah istriku.
“Besok aku harus menemui dokter Bambang, untuk memastikan bagaimana keadaan anak kita.”
“Pergilah, lakukan apa saja untuk buah surga kita!” Dia meremas tanganku begitu kuat seolah dia menitipkan harapan yang begitu besar padaku.
Keesokan harinya beberapa dokter telah berkumpul di sebuah ruangan yang telah disediakan. Aku datang tepat waktu. Hari ini adalah hari penentuan langkah apa yang akan dilakukan pada anakku. Aku merasa gerah berada pada ruangan ini walaupun ruangan ini full AC. Tampak dokter Bambang yang sedang berbincang serius dengan orang yang duduk di sebelahnya. Seorang lelaki yang belakangan kutahu bernama Profesor Rusdi, maju ke depan dan menjelaskan tentang bayi kembar yaitu anakku.
Menurut penjelasannya, bayi kembar itu ada dua macam yaitu kembar satu telur dan dua telur. Kembar yang sebetulnya itu adalah monozigotic3. Dalam kembar monozigotic ini ada satu sel telur dan satu sperma yang kemudian dia berkembang membelah di dalamnya. Apabila pembelahannya sempurna, maka keadaan bayi kembar tersebut baik-baik saja. Tak ada masalah. Berbeda cerita jika pembelahan yang terjadi tidak sempurna, hal tersebut bisa mengakibatkan bayi kembar conjoined atau kembar siam. Karena bayi kembar ini pertama kali ditemukan di Siam (Thailand), maka disebut bayi kembar siam. Mendengar hal itu, aku teringat anakku, berarti anakku mengalami kembar siam.
Aku mengalihkan pandanganku, kulihat wajah satu-per satu orang yang ada di ruangan itu. Semua tampak serius, tiba-tiba terdengar bunyi HP dari salah seorang diantara mereka. Kontan saja semua pandangan tertuju pada si pemilik HP yang ternyata seorang dokter muda, kalau dipikir-pikir sebaya denganku. Kira-kira berumur dua puluh delapanan. Profesor Rusdi memandang tajam ke arahnya. Dokter muda tersebut meminta maaf dan ia menekan beberapa tombol dalam HP nya. Kupikir ia mematikannya.
Aku sebenarnya sudah tak sabar. Sebenarnya anakku bisa ditolong atau tidak. Penjelesan profesor terlalu bertele-tele, sungguh membuatku makin was-was. Kudengar suara profesor itu mulai mengisi ruangan. Kali ini dia menjelaskan tentang macam dari conjoined. Macamnya antara lain, thoracopagus4, craniopagus5, abdominopagus6, ischipagus7, dan pygopagus8. Penyebab yang paling banyak menyebabkan hal itu adalah genetik (sekitar 20-25 persen).
Aku semakin tak sabar, kuacungkan tanganku.
“Maaf Prof, sebenarnya kembar jenis apa yang dialami anak saya, lalu kenapa sampai sekarang anak saya belum ditangani?”
Semua mata memandang ke arahku, aku tak perduli.
“Sabar, Pak Fajar. Kembar siam yang dialami anak Anda termasuk jenis dempet dada (thoracopagus) dan dempet perut (abdominopagus). Kalaupun dilakukan operasi pemisahan harus mengadakan kajian terhadap organ tubuh kedua bayi.
“Lalu kenapa tidak cepat dilakukan?” Tanpa menunggu respon lanjutan, segera kutinggalkan ruangan itu. Tak ada gunanya.
Dokter Bambang menyusulku.
“Kami mengerti perasaan Anda, yakinlah kami akan lakukan yang terbaik.”
“Dan secepatnya!” selaku. Dokter Bambang menepuk pundakku tiga kali kemudian ia kembali ke ruangan itu. Entah berapa lama lagi pertemuan itu dilakukan, aku tak tahu. Yang kutahu anakku harus segera ditolong dan istriku ingin segera menjumpai buah surga kami.
Kujumpai istriku yang tertidur di ruangannya. Kuurungkan kakiku untuk memasukinya. Aku duduk di sebuah kursi yang terletak di depan kamar istriku. Pikiranku melayang pada beberapa hari lalu sebelum istriku melahirkan. Aku pernah melihat istriku makan buah pisang yang dempet, jangan-jangan… Segera kusingkirkan prasangka buruk itu. Bukankah itu hanya mitos? Kami berdua sama-sama dididik dengan ilmu pengetahuan, mana mungkin mempercayai hal yang seperti itu. Hal yang sama sekali tak berdasar. Non sense!.
Kemudian kuruntut silsilah keluargaku mulai dari nenek, kakek, keluarga bapakku, keluarga ibuku dan seterusnya tak ada yang kembar. Kalau tentang keluarga istriku aku tak tahu banyak karena ia dibesarkan di sebuah panti asuhan. Lamunanku buyar ketika kudengar suara rintihan istriku. Bergegas aku masuk kamarnya. Kulihat ia memegangi perut bekas jahitan. Wajahnya tampak begitu lelah.
“Apa yang sakit?” kupegang tangannya.
“Bekas jahitan terasa gatal.”
“Sudah, jangan digaruk!” Aku membelai rambutnya dengan lembut.
“Bagaimana anak kita Mas?”
“Mungkin besok akan dioperasi.”
“Dioperasi, apa yang terjadi?” Istriku membelalakan matanya.
“Anak kita kembar siam, jadi harus dipisah, tapi kau tak usah khawatir, semua pasti baik-baik saja.” Tak ada jawaban selain kulihat gerimis yang tiba-tiba muncul dari kedua bola mata istriku. Kupalingkan wajahku, aku paling tidak tahan melihat wanita menangis apalagi wanita itu istriku. Wanita yang telah menitipkan tulang rusuknya pada tubuhku.
Malam itu aku tidur di rumah sakit, aku tidur di samping istriku. Dia hanya diam dan sangat dingin. Kucoba menghiburnya, ia tak bergeming sedikit pun tetapi dia tetap memegang tanganku begitu erat hingga akhirnya ia tertidur. Berbeda denganku, aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Entah aku seperti merasakan sesuatu.
Semakin malam suasana rumah sakit semakin mencekam, kadang terdengar suara mengerang kesakitan, suara orang muntah, suara kereta dorong, dan entah suara apa lagi. Ah…tangisan bayi, aku yakin itu suara tangisan bayi. Jangan-jangan itu suara anakku. Aku berlari mengejarnya, tapi kulihat bayi kembarku semakin menjauh, hingga tak terdengar lagi suara teriakan mereka.
“Mas, Mas Fajar!” Samar-samar kulihat istriku yang mengguncang-ngguncangkan tubuhku.
“Apa Mas mimpi buruk?”. Aku hanya menggelengkan kepala walaupun kuyakin istriku tidak percaya dengan jawabanku.
“Mas, aku ingin melihat bayi kita!” Istriku merajuk ingin segera melihat bayinya.
“Tidak bisa Dek, mereka harus dirawat secara intensif untuk persiapan operasi.” Aku mencoba memberi dia pengertian.
Setelah mengguyurkan air ke seluruh tubuhku semua terasa segar dan seolah kesedihan luruh satu per satu walaupun tidak semua bersama jatuhnya air ke bawah, aku pergi ke ruangan khusus di mana anakku dirawat. Ada yang aneh, kulihat para suster mulai melepas alat-alat yang menempel pada tubuh anakku. Baru saja aku akan mengatakan sesuatu, dokter Bambang sudah berada di belakangku.
“Bayi Anda jantungnya mengalami kebocoran.”
“Jangan bilang kalau anak kami tidak bisa…”
“Ya… mereka telah kembali ke tempat yang lebih tenang.” Dokter Bambang memelukku.
Semua harapan seperti lenyap begitu saja, dunia kami akan sunyi tanpa tangisan bayi, buah dari surga yang lama kami nanti. Aku harus mengabarkan ini pada istriku dengan cara seperti apa? Aku sama sekali tak mengerti.
Di luar, tiba-tiba terdengar suara petir yang menyambar-nyambar, dan langit berubah menjadi mendung. Sambaran petir itu menghasilkan panas yang luar biasa yang dapat dengan mudah membakar dan menghancurkan seluruh unsur yang ada di bumi, termasuk harapanku, buah surga kami, dan mungkin nanti hati istriku.
Turunlah hujan yang begitu deras. Sewaktu kukatakan bahwa anak kami telah meninggal, hujan begitu lebat keluar dari kedua mata istriku, dan mengalir di atas pipi istriku yang ranum. Tak ada suara selain isak tangis dan deras hujan. Aku terduduk lemas di ranjang istriku. Buah dari surga itu benar-benar telah kembali ke surga. Tagisan istriku berubah menjadi raungan yang memilukan, ia membuang barang-barang yang ada di sekitarnya, terakhir ia melempar apel ke wajahku. Melihatnya, kupeluk istriku. Ia mencoba melepaskan pelukanku, ia meronta dan meronta, aku semakin dibuat kalut olehnya. Aku semakin mempererat pelukanku, kuhujani ia dengan beberapa ciuman di keningnya lalu kubisikkan sesuatu di lubang telinganya dengan mesra.
“Buah itu akan hadir lagi, yakinlah!”
Tangisnya terhenti, punggung istriku terasa basah, ternyata aku juga menangis. Entah apa sebabnya hujan di luar reda.
Kedatangan membawakan sebuah kehangatan
Yang ditiupkan dari jiwa yang menyimpan harapan
Dan…
Kepergian menyuguhkan kesepian
Yang lahir dari jiwa yang bertabur kekosongan