Ahmad Muchlish Amrin
Secara umum, humanitas sastra berangkat dari spiritualisme kontemplatif sastrawan; mereka mengadakan pemberontakan terhadap nilai kemanusiaan yang dikebiri, kemudian muncul “sastra marxis” yakni karya sastra membela kaum proletar dan menolak kaum borjuis. Perbincangan semacam ini banyak dianalisis oleh Terry Eglation, Anton Lukacs.
Kita dapat melihat karya-karya para peraih Nobel mulai dari 1909 hingga tahun 2004 kemaren, misalnya karya-karya Gabriel Marcia Marquez, Frans Kafka, Luigi Pirandello, Brodsky, Rabindranath Tagore, Octavio Pazz, atau karya sastra Rusia yang terkumpul dalam antologi the Rusian Short Stories, disana terdapat Nicolai Gogol, Leo N Tolstoy, Maxim Gorky, Anton Cekov.
Semuanya punya paradigma kemanusiaan yang vulgar-demokratis. Bagaimana seorang Brodsky mempertahankan nilai religiositas Kristen di Rusia yang berkait kemanusian sehingga dia harus angkat kaki dari negerinya menuju Jerman. Atau pemberontakan Tagore terhadap pemerintah India, menyebabkan dirinya bertempat tinggal di penjara. Realitas pahit ini, terasa “manis” bagi sastra, sebab visi misi humanis sastra telah melampaui materialisme-hedonistik dan imprealisme-birokratik. Sastra dalam sejarahnya selalu melakukan emansipatori “spiritualisme humanis” yang kemudian diaksentuasikan dalam bentuk praksis.
Kenyataan semacam itu penting dilirik oleh khazanah kesusastraan Indonesia, sebab paradigma kesusastraan kita masih semu. Artinya totalitas berkesusastraan kita perlu dipertanyakan. Meminjam bahasanya Zainal Arifin Thaha (2003), berkesusastraan tanpa kepujanggaan. Di negeri kita ini, karya sastra yang pro-humanis masih dapat dihitung dengan jari.
Misalnya tetralogi Pramoedya Ananta Toer, calon peraih Nobel tahun kemaren; satu-satunya menjadi kebanggaan Indonesia masa kini, (mengapa saya menulis masa kini?) Sebab sejak Lekra dilibas oleh Manikebu tahun 1960-an, oleh Undang-undang penghapusan Komunis di Indonesia, Pram sebagai tokoh Lekra juga ikut ke-bridel aturan “otoritarianisme” sehingga mulai tahun itu karya Pram dilarang beredar di Indonesia. Bahkan distributor karya-karya Pram, jika ketahuan aparatur negara, bisa diseret ke penjara; dianggap menyalahi aturan negara. Namun walaupun itu terjadi, dia masih eksis berkarya; mengkritik birokrasi secara vulgar, mengkritik nilai-nilai dehumanitas dengan keras dan tajam. Sehingga Pram sendiri masuk dalam tahanan. Begitukah wajah Indonesia merespon sastra?
Sejak Gusdur (KH. Abdurrahman Wahid, red) membuka kran demokrasi di Indonesia; ia mempersilahkan sosialis-komunis hidup di Indonesia. Sejak itu, Pramoedya Ananta Toer menjadi seorang sastrawan agung, karena kegigihannya mengibarkan emansipatori humanis serta mengaksentuasi nilainilai tertutup (closed) yang berkembang di Indonesia. Bahkan kenyataan paling menggetarkan perasaan saya, ketika Agam Wispi, seorang pejuang Lekra meninggal di panti jompo Belanda tahun 2003 kemaren. Sejak tahun 1960-an, dia bertugas sebagai wartawan di China, mendengar dalam negeri terjadi keributan (tentang pembredelan Lekra dan penumpasan komunis), dia tidak pulang ke Indonesia, hanya menyelamatkan nyawanya dari otoritarianisme pemerintah.
Dia keliling ke berbagai negara, pada akhirnya terkapar di panti jompo Belanda. Pada tahun 1999 dia masih sempat diundang ke Indonesia untuk membacakan karya-karyanya di Jakarta, namun setelah itu, dia kembali lagi ke Belanda. Betapa pahit rasanya, ketika hanya menjadi tamu di tanah kelahirannya sendiri, ketika harus kembali lagi ke negeri orang yang jelas-jelas negeri pernah menjajah negerinya berabad-abad, memeras keringat nenek moyangnya, ambil hasil buminya, mengambil kekayaan rakyat secara paksa. Pedih!
Kedua tokoh saya sebutkan tadi merupakan pejuang kemanusiaan yang tangguh melalui mediasi sastra. Mediasi “tekstual” kemanusiaan menjadi bukti sejarah bahwa pada bangsa majemuk ini masih ada orang mampu memperhati kan nasib kemanusiaan secara bebas berdasarkan hak-haknya. Sehingga karya-karya agungnya memang betul-betul lahir dari rahimnya yang suci. Kita memahaminya, Sastra lahir dari kesunyian jiwa, rasa, hati dan setumpuk kegelisahan memotivasi sastrawan melakukan asketisme-esoteris dan religiusitas empiris melalui karya sastra.
Imajinasi mempunyai kedaulatan penuh dalam mengaksentuasikan nilai (value) dengan memanfaatkan kekuatan rasa dan rasionalitas untuk mengejawantahkan dirinya sebagai eksotisme-esoterik “Tuhan” dan semesta (cosmic). Sebab dunia imaginer sastrawan mampu menembus ruang-ruang tak terjangkau akal-material kecuali mereka menggunakan “indra batin” dalam bahasanya Dr. Naquib al-Atas, yang kemudian dirasionalisasikan akal menjadi bentuk pemikiran atau idealitas. Al-hasil–dituangkan dalam bentuk karya sastra.
Filsafat sebagai saudara kandung sastra memposisikan diri sebagai pembantu mengolah, menggali simbolisme alam sebagai makro kosmos; mengkaji “diri” secara subtantifnya sebagai mikro kosmos. Dari kajian-kajian itulah lahirlah karya sastra mengeksplorasi diri dan alam semesta serta relasional magnetiknya secara terus menerus mengadakan interaksi tak terbatas, baik bersifat irasional, rasional atau supra rasional.
Misalnya dalam buku Asrar-i Khudi dan Javid Nama karya Muhammad Iqbal, Aku (lirik) dalam puisi-puisi itu mengapresiasi bintang, planet, venus, saturnus, merkurius sebagai bentuk dari permenungan untuk menemukan sinyal-sinyal kuat yang menghubungkan antara eksistensi pribadi, ditemukan melalui refleksi dari diksi-diksi mikro kosmos yang kemudian diyakini dapat melahirkan makro-kosmos secara analitik.
Strukturalisme Sastra
Setiap struktur sastra, tentunya punya spirit, orientasi, paradigma spiritualitas-humanistik. Berhubung gencarnya arus globalisme modernitas, sastra Indonesia melahirkan tiga gerbong berpengaruh. Pertama, sastra mengandung superficial structure (struktur luar). Ideologi-ideologi luar dengan bebas menggerogoti khazanah sastra kita, mulai dari materialisme industrial dipengaruhi revolusi Prancis; dengan sebuah kejadian sosialisme Nazi sampai abad ini yang disebut “abad kebangkitan” sebagai spiritualisme barat.
Mereka telah bosan bersandingan dengan hal-hal bersifat mekanik dan akrobatik. Dari superficial structure ini, sastrawan melakukan internalisasi nilai (value internalization); mengeksplorasi seksualitas secara bebas dalam karya sastra yang kemudian melupakan nilai-nilai dasar kebudayaan kita. Tercermin dalam karya-karya Ayu Utami berjudul Saman, Garis Tepi Seorang Lesbian, karya Herlinatiens, Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur, Adam Hawa karya Muhyiddin M Dahlan, Kuda Ranjang, karya Binhad Nurrohmad. Dlsbg.
Munculnya karya-karya itu merupakan mediasi untuk menguakkan rasa terkungkungnya dengan cara “vulgar” dan “bebas”. Sehingga publik menilai karya yang demikian sebagai “sastra lendir” (Jawa Pos, 2004). Sayangnya, karya begitu-begitu dianggap sebagai suatu lompatan ideologis dan kekuatan yang mampu menggugat zamannya. Padahal pengambilan diksi, metafora, penggambarannya sangat jorok dan glamour, sesuai dengan karakter modernitas yang hanya diukur rasionalitas, libidonomics, dan pemuasan birahi; apabila diberi peluang untuk maju ke depan, mereka (sastrawan lendir) tampil sofistik (genit). Kita lihat karya Dorothea Rosa Herliany yang juga dikutip Afrizal Malna dalam bukunya Sesuatu Indonesia, berjudul Nikah Pisau
Tapi inilah daratan dengan keasingan paling sempurna:
Tubuhmu yang bertaburan bulan-bulan kuabaikan
Sampai kurampungkan kenikmatan senggama
Sebelum merampungkanmu juga:Menikam jantung
Dan merobek dzakarmu dalam segala ngilu.
Realitas modernisme bukanlah sebuah kesempatan mengejakulasi dini dalam karya sastra, sebab karya sastra bukanlah idealisme situasional yang memancang ekspresi-ekspresi glamour. Bagi saya, modernisme ialah persaingan intelektual dengan segala aspek mediasi yang digunakannya mampu lebih bagus dan lebih baik dari era-era sebelumnya misalnya tentang hak-hak perempuan diperjuangkan Ibu Kartini, cenderung pada upaya penggalian intelektualisme dan pendidikan perempuan serta untuk menghilangkan image bahwa perempuan hanya bertugas di kasur, sumur dan dapur.
Modernisme dalam sastra diharap mampu memberikan mediasi lebih kontruktif terhadap pembacanya, bukan malah pembaca disuguhi dzakar dalam segala ngilu oleh Helvy, dengan puisinya tidak mencerdaskan itu. Dan memang sangat berbeda dengan karya Joko Pinurbo yang cerdas walaupun keliarannya nyaris sama dengan Helvy, bisa kita lihat dalam antologi Celana pada penggalan puisi yang berbunyi:
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
Akhirnya menemukan sebuah benua baru dalam celana
Dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
Penggalan puisi jenaka dan falsafi di atas bukan semata-mata kekosongan dan ke-iseng-an dalam menulis sajak. Akan tetapi dia telah memeras kreatifitasnya secara mendalam melalui kontemplasi total, Joko Pinurbo telah menemukan dirinya dalam Celana sehingga burung-burung pertapa layaknya Stephen Hawking pun mampu khusyuk mencari identitasnya sebagai seorang tokoh postmodern yang canggih.
Kedalaman idealitas Joko Pinurbo dalam puisi itu sebab dikemas dalam bahasa jenaka dan mengeksplorasinya dengan diksi ‘celana’ beserta isinya. Dan pembaca telah mengenal Stephen Hawking akan tiba-tiba diingatkan puisi “pornoistik” Jokpin ini, dan jika pembaca masih belum kenal, ia pasti akan mencari dan bertanya-tanya “siapa Stephen Hawking” sebenarnya? disitulah letak kecerdasan dalam puisi konyol-cerdas Joko Pinurbo yang jauh berbeda dengan ke-konyol-an puisi Helvy Tiana Rosa
Kedua, Profound structure (strukrtur dalam). Dalam konteks ini, Sastrawan hanya memanfaatkan khazanah yang berkembang di Indonesia yakni mewarisi khazanah Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, dengan memilih bersikap dingin & religiusitas-imajined. Mereka kebanyakan berangkat dari khazanah sastra Islam sufistik, dalam bahasanya Abdul Hadi WM dan Kuntowijoyo disebut “sastra profetik” walaupun sedikit demi sedikit mereka mendasarkan pada beberapa tokoh di timur tengah, misalnya Jalaluddin Rumi, al-Hallaj, Rabi’ah al-Adawiyah dan Fariduddin Attar.
Potret sosial-spiritual dalam penciptaan karya sastra tentu menggelantung dalam imajinasi penulisnya ditinjau dari vita, visum at mores-nya sehingga karya sastra dirasakan sangat indah dan sejuk serta memberikan kesempatan pada apresiator atau pembaca sebagai rider merasionalisasikan, merenungi, berkontemplasi serta masuk dunia pengarang; berarti cita-cita provokasi atau harapan dicipta penulis pada pembaca melalui teks telah sampai ke relung hati paling dalam. Di sanalah sebenarnya letak kedalaman sebuah sastra sufistik-profetik sehingga dapat dikatakan “kunci” pencerahan.
Ada beberapa model sastra profetik yang fungsinya memberikan pencerahan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis, dan tujuannya merealisasikan sifat-sifat ketuhanan dalam diri insan, serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian. Ali Ahmad Said seorang penyair Palestina terkemuka menulis bahwa betapapun beban bangsa Pelestina sangat berat perjuangannya merebut kembali tanah airnya, namun tetap perjuangan itu mulia dan dalam perjuanganlah kita menemukan harapan.
Dengan semangat apokaliptik dia menandai zaman kita hidup ini, yaitu zaman otak dan benda-benda mengerikan, namun manusia masih tetap menyadari dirinya sebagai makhluk theomorfis atau kerohanian sehingga memiliki kemampuan berontak. Sebagaimana dalam sebuah puisi Hallaj :
Neraka kubawa dalam diriku dan aku berjalan
Kuhapus jalan-jalan dingin tak terbakar oleh api
Dan kubuka jalan-jalan baru tak berufuk
bagai udara dan debu
Langkahku membuat musuh-musuh dalam diriku terbangun
Namun neraka adalah bantalku tidur.
Sebuah potret sosial-transenden dalam puisi di atas cukup jelas sekali bagi manusia telah masuk di halaman religiusitas-theomorfis, dia pasti telah menghilangkan panasnya api, dinginnya angin, sentuhan ruang dan waktu. Seakan-akan kaki telah tak menginjak bumi, tidak tahu entah berada dimana? jalan-jalan semakin terang dan membentang, petunjuk semakin jelas, hanya kita sendiri terkadang enggan berusaha karena sifat malas melingkupi seluruh tubuh.
Sastra sufistik setidaknya diberikan tempat menari di tengah gelanggang kehidupan dengan harapan tanpa meninggalkan kepentingan-kepentingan sosial, berkenaan dengan kesejahteraan sosial. Betapa tidak senang dan tidak bertanggung jawab individu sastrawan ketika hanya menikmati romantisisme religiusitas dengan-Nya, namun membiarkan khalayak terkapar di bingkai-bingkai glamouritas kehidupan (egois).
Ketiga, Syntesis Meeting (pertemuan gabungan). Dari varian ini, sastrawan melakukan penggabungan antara internalisasi superficial structure dan eksternalisasi profound structure yang kemudian lahirkan aliran baru; merealisasikan struktur lama yang baik dan mengadopsi struktur baru yang lebih baik. Tercermin dalam karya-karya Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, taufik Ismail, Acep Zamzam Noor.
Dengan itu dapat dibaca bahwa khazanah sastra kita termasuk khazanah sastra yang kaya dan dapat bergerak secara fleksibel, baik dalam aspek spiritualisme religius (religious of spiritualism) atau sosialisme humanis (sosialism humanist) atau bahkan menggabungkan diantara kedua disiplin itu menjadi sebuah aliran sastra lain dari yang lain. Tergantung pada kita, sampai dimana kecerdasan dan kecerdikan memberangkatkan imajinasi ke ruang-ruang yang lebih dahsyat dan tak terhingga. Wallahu A’lam.
(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)
Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
(Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
Oleh Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).
JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayawan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Situmorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Katrin Bandel, dan Triyanto Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.
Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.
Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?
Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).
YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).
Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.
SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).
Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.
Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see yourself dan How you see others, How others see you dan How others see themselves, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).
Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.
SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).
Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.
Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).
Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.
SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)