Nurel Javissyarqi
Waktu-Waktu Yang Digaris Bawahi
Setelah beberapa waktu perjalankan tubuh keliaran imaji menerka kejadian lalu di sekitar pengembaraan, sebagai mata uang lain selain membaca buku. Persoalan terfokus di satu titik perasaan, kejadian obyektif bagi bahan pengulangan demi meyakinkan observasi mencapai tangga lebih tinggi, lompatan menuju dunia ide.
Wewaktu digaris bawahi itu masa-masa bukan berdasarkan luangnya waktu semata atau menggebunya aktivitas terselesaikan tidur. Wewaktu merupakan barisan masa teruntuk kedekatan realitas membaca wacana berupa rindu kenangan.
Perolehan gesekan tajam yang bukan berangkat dari hati memendam hasutan. Tapi kepaduan penyelidikan berkesadaran menerima situasi demi bahan banding menjadi pelengkap niat menuju keteguhan.
Ketakutan bertindak berjalan melewati tulisan ialah tidak beralasan atas bahayanya jaminan kwalitas. Sebab hasil pengembaraan belum sampai terjual jika durung diperdagangkan serupa pencerahan.
Kita tak perlu berhitung matemastis akan gairah kesempatan atas kesepakatan keberanian melangkah. Bukankah perasaan menandaskan perbedaan, jika dimasukkan jenjang keterjagaan, merawat ingatan demi denyutan gairah waktu digaris bawahi.
Itu momentum ketepatan rasa menjelma formula. Bagaimana pun lemahnya yang digaris bawahi tetap terlahirkan. Walau persoalan mutu sebuah pengakhiran patut diterima demi lantasan selanjutnya.
Wujud yang dimaknai berasal kehalusan pekerti atas bertugasnya kalbu berdenyutan gelombang ke pantai. Suatu warna dirawat halus mencipta bunga menawan, menggiurkan anak nelayan bermata pandang pengetahuan.
Kita kembara tak habis selesai, terus mengevolusi diri ke wilayah esensial demi perjamuan akhir malam bertautan ruh. Kesadaran melewati batas titian harus diperjalankan mencapai warna ganjil tempaan. Tidakkah yang miris di hati jua pernah bersarang dari realitas sosial?
Kalau menilik kurun waktu manunggalnya keabadian karya, akan terketahui tak seberapa kalimah di buku-buku tiada lain jalan biasa, pengulangan yang memberi secumput sumbangsi. Jika gemuruh dada tak membuka lebar-lebar kemungkinan lain dari waktu-waktu digaris bawahi.
Saya ajak saudara ke wilayah dipersuntukkan diri dari beberapa kebersiapan naluri menarik pengembaraan empiris yang didealektik bersama nalar telah ada. Membaca satuan masa, guna perimbangan materialis-eksistensialis, soasialis dan naturalis.
NatURalis ELementer (Nurel)
Sebelumnya biarkan saya tertawa berbahak, agar racun keegoisan menguap melewati pencernaan jiwa dalam menggagas ini ke muka. Teknik keberlawanan berusaha mengikis kebahagaian temuan kebablasan, agar nanti tidak mengalirkan racun yang dimulai mentahnya perolehan masa-masa.
Terus terang saya geli menceritakan pendapatan ini, serupa saat-saat mengintip soal besar lewat beberapa jari tangan menyilang. Atau diri ini sedang malu-malu sebagai bahan pokok kalau nanti dipersoalkan.
Tidaklah gampang meruncingkan keadaan tanpa melewati tahan tertentu seperti kerja dipaksa tidak mengindahkan kesakitan, al hasil jadi bahan tertawaan. Tapi seberapa lama garis tawa menuju keseriusan. Detik-detik persamaan itu, mutu gagasan tak menjadi guyonan, namun menjelma guyuran sejuk atas keringat diperdalam merasai keseriusan.
Lelembaran terbangun ini mata rantai yang mudah dijabarkan lewat berlainan warna, ketika senaturalis elementer. Memang benar suatu konsep takkan komplit kalau tak direalisasikan, maka berangkatlah berkaki-kaki kesadaran nyawa.
Manusia dipersipkan sebagai makluk sempurna bersegala ingatan-kelupaan menuju kesadaran terawat menjelma terkuat menjalani hari-hari terus bertambah. Sejarah berulang dan pengejaran akan bayang tak pernah sampai kecuali ke titik kulminasi, drajad penyeimbang kendali sumbu yang dikeluarkan dari sikap optimis.
Pelajaran meningkatkan pendewasaan diri terbuka atas angin selatan-utara, timur barat jadi zaitun berkembang, berbunga di taman peradaban. Mengambil saripati beda pendapat atas dialektika positif yang berangkat dari naluri bodoh diawalnya.
Kita ambil unsur perubahan yang tampak sanggup mengendalikan suatu waktu, sebab telah banyak kecelakaan terjadi atas fanatisme, hati tak membangun rasio perasaan. Ini terpetik demi mencapai kedudukan yakin akan naturalis elementer; pembelajaran beberapa kasus kegagalan, ditarik ke dalam dada pencerah, bukan melewati ruang-waktu sama yang tak patut digaris bawahi.
Sebab suatu proses bagaimana pun kemiripannya tetap memiliki perbedaan pun persamaan gandanya mempunyai sifat berbeda. Ini patut diselidiki jauh ke dalam, bahan sudah ada dijadikan penyeimbang, meski membangun daya di garis tengah amat was-was menegangkan.
Batas Genius dan Goblok
“Dunia seperti baru saja terbentuk, sehingga banyak benda belum mempunyai nama dan untuk menyatakan benda-benda itu, kita harus menunjukkannya” (One Hundred Years of Solitude, G.G. Marquez).
Kabut mitos itu jawaban tak mematikan. Berada di ruang tinggi diselimuti lamur pegunungan, diterangi cahaya imaji berpelangi pengertian bagi memperhatikan.
Tidakkah kepastian konsep kenyataan kongkrit yang diadakan dari konstruksi pemikiran pun asumsi banyak orang seperti uap menggapai realitas, diterima sebagai kepastian. Meski dalam kurungan definisi kelompok masyarakat, namun terus mengevolusi mengupas keberadaannya sampai kenyataan tidak terbantah.
Mitos diperankan orang-orang bodoh yang tak mau menyebut suatu tanda dijadikan nama. Berangkat dari orang gigih mencari kebenaran hakiki, dengan tak langsung percayai meski kebenaran umum. Ia memiliki mata kecurigaaan tajam, perasaan peka bisikan kalbu yang dikelolah jiwa tangguh menghadapi terpaan gunjingan.
Penolakan dengan menuntut alasan semula keyakinan dibalik. Dibalik kemungkinan tersembunyi, ada keharusan ditempatkan, meski dilain masa tersapu mundur keberadaannya. Sebab pola di sekeliling mengharuskan satuan sikap konstruktif.
Olehnya mitos itu musuh penampakan rayu sebab pemilik jiwa sanggup memitos, mengetahui permukaan bedak, jika disinari cahaya keremangan senja atau waktu sempit ditentukan malam. Mitos dimaksudkan membuang undang-undang kepastian diganti pertimbang elastis, sinaran imbang mengelupas bedak perayu lewat akalan.
Di bagian terpisah, orang pintar menandatangani penemuanya dengan penghakiman selera yang tampak menyamaratakan sakit. Pengkotak wilayah demi kemajuan yang katanya membawa merata. Namun yang terjadi penindasan terus bertabrak jungkir balik. Saling tumbuk atas selera masing-masing di segenap wacana perdagangan, gerakan pencarian prestasi yang berangkat dari gengsi dan habis oleh kesia-siaan.
Benar jika peraturan diberlakukan akan baik, membebaskan persoalan. Tapi apakah benar seluruhnya jika salah satu cabang aturan mulai dilenakan? Akan merambat ke puncak hitungan pengelabuhan undang-undang, semisal menampakkan selera humor, padahal sedang tidak dalam keadaan senang.
Tidakkah ketika bungkus bermain sugesti berperan, padahal nyatanya demi merayu pendengar yang ringan tangan bertepuk tangan. Sebab para pesaksi itu dari lahir otaknya tidak digerakkan. Lalu saya bertanya pada pembuat aturan: “Apakah kau bangga menjajah masyarakat?”
Tetap saja kau mengekspoitasi, meski hati kecil punya rasa malu atas kebodohan berpakaian genius. Lagi-lagi saya cuplik kalimat Marquez dari One Hundred Years of Solitude: “Seseorang takkan terikat pada suatu tempat sampai ada yang meninggal dan dikubur di sini, di tanah ini.”
Saya teringat kematian Socrates di taman pengetahuan. Kematian yang dipaksa menancapkan tanda, lalu diusung ke mana saja hingga semua orang dilewatinya mempercayai.
Di kedalaman hati saudara saya bertanya: “Apakah kenyataan sesungguhnya itu di ujung kenyataan badan, dalam kenyataan fikiran?“
Di sini saya tak ingin jawaban langsung bertubi-tubi apun mengendap. Saya ingin itu kau simpan demi temukan kepastian. Perubahan yang teralami akan menuntun pada jawaban sebenarnya.
Akan sampai ke puncak keseriusan, meski tak di bangku kuliah. Kau selalu merawat rindu demi kepastian diri. Inikah watak genius, para pemitos yang tak sengaja mencipta atas pantulan pesona dirinya. Kenyataan paling esensial perubahan, mengedepankan perasaan menjelajahi fikiran sehatnya lagi jernih tanpa polusi.
Saat menerima mendekati ambang kegilaan, telah kenyang bacaan sewaktu jemari kelelahan menulis persoalan, saat itu memahami batas nalar pekabutan mitologi. Kelelahan, bosan, suntuk, itu struktur rumah atas bangunan rasio. Saya hindari persoalan itu dengan berbagai pola untuk mengurangi, menahan jangan sampai gejala tubuh psikis menggerogoti kalbu, meski sehalus perembesan.
Ada saatnya istirahat atas lelah, namun tak harus demikian menyikapi lingkungan jiwa. Seringkali orang takut kematian, kala itu sebenarnya takut hidup, hakikat jiwanya telah mati. Sebab ketakutan serupa malaikat mengundat pencabutan nyawa. Tatkala itu kau tengah di puncak kenyataan antara hayal logika meruapi melodi kuat menempuh tangga kesejatian. Daerah kepastian terhadapi yang tak memerlukan tumbal, tapi sanggup membuat keyakinan.
Atau orang-orang rasional yang berada di tengah perjalanan, masih bimbang meneruskan lalu tergiur pulang. Lantas mengambil kesimpulan di tengah jalan sebagai jawaban. Sebuah sikap pengecut tak mau membentur perasaan yang membuat berkecamuknya fikiran. Persimpangan mencekit tenggorokan, tak miliki keyakinan datangnya setetes hujan. Sebab itukah kau menganggap tidak logis (?).
Meski seringkali orang-orang genius melewati hari-harinya menemukan keajaiban, tapi tidak memandangnya keajaiban. Katanya itu hal lumrah, namun kenapa tidak melogikakan lebih berani seksama. Apakah hawatir dibilang tidak konsisten atas gagasan semua sedari daya fikir kelewat?
Saya sebagian orang-orang bodoh menerangkan. Apakah itu kepintaranmu dan kau tak mampu berbicara jauh tentang aku, sebab dibatasi kecerdikanmu. Seperti hakim mempelajari kasus, tapi tak berada dalam persoalannya. Sejenis orang menghitung hujan yang tak mau kehujanan. Sedang aku bersama yang lain kehujanan menghitungmu kedinginan berselimutkan ketakutan di rumah keangkuhan.
Keangkuhanmu tidak menerima bahwa kau dungu yang membuatmu lebih dungu. Hanya sekali ini saya masuki urusanmu atas balasanmu terlalu, telah mencampuri persoalan kesunyianku. “Orang baik berangkat dari kedunguan, orang jahat berangkat dari kepintaran.” Itulah yang kuberikan, wahai yang pintar di tengah-tengah bangsaku. Yang kau anggap tak memiliki keyakinan ilmu.
Inilah batasan timur-barat, namun saya tak berada dalam satu sisi. Kami berada di tengah kalian, setelah mengetahui pemikiran barat perasaan timur. Saya yang kau anggap tak miliki pendirian, padahal teguh di tengah. Lalau kau bertanya: “Kenapa kau geser tempat dudukmu, sedang kau sejatinya berada di timur?” Saya jawab: “Itulah yang kau lihat dari jarak kepintaranmu, pun yang lain menganggap saya kanginan kebarat-baratan.”
Saya berusaha sepohon zaitun, jasadku dari timur atau mungkin pemikiranku dari barat, namun hatiku di tengah kalian yang berseteru. Saya harum kembangkan ini agar berdamai, meski kata kalian tak mungkin. Itulah yang kau lakukan, membuang kemungkian demi keuntungan menggencet pihak lain, sehingga hatimu tak berada di tengah sebagai nilai kemanusiaan lestari.
Sampai batas ini, kalian kudu berani menanggalkan keinginan meminum untuk menghilangkan kelelahan, sebab perjalanan masih jauh. Dinaya mengusir haus, sanggup melupakan rindumu menemukan ambang keadilan. Tidakkah ketika beban bertambah, tambah pula kekuatan?