A. Rodhi Murtadho *
Perempuankah aku? Sementara aku sendiri berpikir, aku bukan perempuan. Mungkin aku seharusnya dilahirkan sebagai laki-laki. Namun alat kelamin laki-laki yang seharusnya kumiliki tertinggal di rahim ibu saat melahirkanku. Perutku tergores pisau bidan saat persalinan ibu. Membentuk tubuh bagian bawah seperi perempuan. Sehingga aku diberi nama perempuan, dirawat dan dibesarkan layaknya anak perempuan.
Erlinda Putri. Nama perempuan yang seharusnya kumiliki. Namun ketika besar, nama itu berubah menjadi Dada Putra. Tak bisa kusalahkan mereka yang mengganti nama dan menyebutnya demikian. Memang dada yang seharusnya tumbuh, jika aku perempuan, tak juga tumbuh. Hanya rambut panjang yang menggambarkan aku perempuan. Memang aneh, tubuh yang kumiliki rata. Tak seperti perempuan seusiaku. Hampir dua puluh tahun umurku. Dada dan pantat seharusnya tumbuh menonjol dan memperlihatkan aku perempuan, tak juga tampak. Seperti laki-laki badanku tumbuh.
“Mau ke mana Dada Putra?” tanya Gugun, teman kuliah satu jurusan tetapi berbeda kelas.
“Mau ke kampus,” jawabku lirih.
Pada hari selasa, tak pernah kulewatkan sapaan Gugun sejak dua tahun silam setiap kali aku berangkat ke kampus. Sapaan dengan pertanyaan yang sama. Seperti dipersiapkan. Di depan kosnya yang berada di depan kampus, duduk sendiri menghadap jalan. Kadang ada temannya yang menemani. Namun lebih sering terlihat sendiri.
Rumah yang agak jauh membuatku harus naik angkutan kota untuk sampai di kampus. Angkutan yang tak bisa mengantar sampai ke dalam lingkungan kampus membuatku harus berjalan. Sekitar seratus meter. Melewati banyak warung dan rumah-rumah. Termasuk kos Gugun. Itu sebabnya Gugun seperti selalu memiliki kesempatan untuk menyapaku.
Kadang lawakan dari teman-temannya mencibir tubuhku. Namun terdengar secepat kilat Gugun menghentikan mereka. Terlihat pelan-pelan mereka. Saling tertawa. Gugun hanya melayangkan sapaan dan senyum seramah-ramahnya.
Bentuk tubuh yang aneh membuat aku minder di hadapan teman-teman. Perempuan sebagai status dan dandanan. Namun laki-laki yang menyelimuti tubuh dan jiwa. Aku semakin aneh dengan namaku. Dada Putra. Seolah aku berubah menjadi laki-laki. Rambut makin hari makin menyusut pendek. Tumbuh kumis di atas bibir. Aku semakin bertingkah menjadi laki-laki. Itu sebabnya teman-teman perempuan enggan mengajakku pergi bersama ke kamar mandi. Kalaupun bertemu di kamar mandi, mereka langsung mengingsutkan badan menghindar dariku.
Semakin berpikir kalau aku ini laki-laki. Aku harus mencari kelaminku yang tertinggal di rahim ibu. Tapi entah bagaimana caranya. Aku jarang sekali bertemu ibu. Aku berangkat kuliah, ibu baru pulang. Kerja katanya. Dan ketika sore hari sepulang dari kampus, ibu pergi. Kerja katanya. Kapan aku bisa merogoh rahim ibu untuk mencari alat kelaminku.
Semakin bingung aku dengan keadaan yang terus berubah. Kadang kulihat tubuh di cermin, sangat mirip laki-laki. Hanya saja tak ada alat kelamin laki-laki sebagai kesempurnaannya.
“Hai, ngelamun ya?” sontak suara Gugun mengagetkanku.
“Nggak…nggak!” spontan aku menimpali.
Kami mengobrol. Tak jelas arahnya. Mendiskusikan masalah yang kadang sudah kami bahas. Seperti memiliki banyak waktu untuk bertukar pikiran. Menumpahkan masalah walaupun kami sesibuk apapun. Tugas kuliah, jadwal kuliah, hobi, keluarga, rencana masa depan, atau hal-hal yang pribadi. Namun obrolan menjelang sore menjadi obrolan yang sangat baru dan mengejutkan.
“Aku suka dan sayang kamu, Da.”
Spontan aku kaget setengah mati. Layaknya badai sunami dicampur gempa tanpa penerangan dari matahari karena terjadi gerhana matahari total. Longsor seketika mental yang aku punya. Banjir tubuh dengan keringat yang mengucur perlahan. Panas dan terbakar wajah. Memerah. Jantung semakin berpacu cepat.
“Kau menghina aku ya, Gun.”
“Bukan. Memang sejak lama aku menyimpan rasa ini dan menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya padamu.”
Semakin besar badai yang datang. Semakin besar kekuatan gempa. Semakin gelap suasana. Semakin panas wajah. Semakin basah baju oleh keringat. Mati rasa tubuh. Nafas pun sudah tak terasa alirannya. Hanya otak yang berpikir keheranan dan syaraf mata yang harus berkedip.
“Aku tak tahu, Gun. Rasanya tak pantas. Kau laki-laki. Sementara keperempuananku hanya status. Orang-orang memanggilku Dada Putra. Pasti mereka menilaiku sebagai laki-laki. Aku juga berpikir kalau aku bukan perempuan. Itu sebabnya aku tak tahu bagaimana aku bersikap dan menjadi perempuan.”
“Kau perempuan bagiku, Linda.”
“Bukan. Aku bukan perempuan. Aku tak tahu bagaimana menjadi perempuan. Mengasihi dan menyayangi layaknya perempuan. Kau tahu sendiri, mengapa orang-orang mengganti dan memanggil namaku dengan Dada Putra. Karena aku memang bukan perempuan.”
Gugun. Tertunduk tersipu. Terdiam dengan raut muka yang menegang. Tak ada sunggingan senyum di wajahnya seperti biasa yang kulihat. Tampak berpikir dan lesu. Aku pun ikut terdiam. Hening suasana. Mengubah keriangan obrolan.
“Linda kau memang perempuan. Rambutmu panjang. Wajahmu mulus dan cantik. Suaramu nyaring menandakan perempuan. Ssetiap kali kulihat kau ke kamar mandi, kau pergi ke kamar mandi perempuan. Mengapa mesti kau ingkari kalau kau perempuan?”
“Itu hanya status, Gun. Perempuan. Hanya menjalankan statusku yang tertulis di akta kelahiranku. Sudah kubilang, aku tak layak menjadi perempuan. Kumisku akan tumbuh. Rambutku sebentar lagi akan pendek. Sementara dadaku tak seperti perempuan kebanyakan. Aku sama seperti kamu.”
“Persetan dengan statusmu yang kau ragukan. Persetan dengan ucapanmu bahwa kau bukan perempuan. Namun, kau tetap perempuan bagiku. Kau layak sebagai perempuan. Penerus Kartini, sebagai perempuan.”
Aku tak tahu yang dipikirkan Gugun. Mungkin semua laki-laki yang sedang kasmaran akan bersikap demikian. Selalu menerima kekurangan orang yang disukainya.
“Benar, Gun. Mungkin yang dimaksud Kartini dengan perempuan sejajar dengan laki-laki itu aku. Perempuan yang tak lagi menjadi perempuan. Aku tumbuh menjadi laki-laki.”
Hari semakin sore. Kami mengakhiri pembicaraan. Aku pulang ke rumah. Begitu juga dengan Gugun. Mungkin pulang ke kos. Aku tak tahu. Gugun mengambil jalan yang tak searah denganku untuk keluar kampus. Tak lagi berjalan bersama seperti biasa. Mengobrol sampai di depan kosnya.
Selama perjalanan, aku selalu terpikir ibu. Andai ibu memiliki waktu untukku, tentu akan kuceritakan kejadian tadi. Namun bagaimana mungkin. Ibu selalu bekerja setiba aku di rumah. Tak pernah aku tanyakan pekerjaanya. Hanya senyum yang tertinggal ketika ibu akan berangkat bekerja. Lesu dan marah ketika pulang. Namun ketika melihatku, ibu berusaha tersenyum. Seperti ada yang terpendam dalam pikiran ibu.
Aku hanya tahu maksud ibu bekerja. Menghidupi dan menyekolahkanku. Tak pernah tahu yang dipikirkan ibu ketika termenung duduk sendiri. Air mata berlinang. Isak tangis yang tertahan. Sering ibu memandang fotoku dan almarhum bapak. Seperti ada yang mau diucapkan tapi tetap tertahan. Ketika aku datang menghampiri, cepat-cepat diseka air matanya. Isak tangis cepat diubahnya menjadi senyum. Belain tangan mulus menyayang. Kadang kecupannya di keningku mampir begitu saja. Cepat-cepat pula ibu berpamit untuk pergi bekerja.
Aku tiba di rumah. Tak seperti biasanya pula terlihat. Ketika memasuki rumah, biasanya kulihat ibu berkemas dan berpamitan. Aneh. Tak kujumpai ibu di persimpanngan pintu rumah. Cemas mulai menghantui. Atau mungkin hanya sekadar cemas yang berlebih karena aku terlambat setengah jam dari biasanya. Kulangkahkah kaki menuju kamar ibu. Kubuka pintu perlahan. Terlihat ibu terbaring di ranjang. Seketika langsung kuhampiri.
“Ibu tidak kerja?” tanyaku membisik.
“Tidak, Ibu capek dan tidak enak badan,” jawab ibu tertatih.
“Badan Ibu panas, ke dokter ya?”
“Tidak usah. Buang-buang uang saja. Mending uangnya kamu pakai untuk biaya kuliah. Nanti juga Ibu sembuh sendiri.”
Tak kusangka perjuangan ibu begitu besar. Tak seperti yang terpikirkan dan terhayalkan. Ibu yang tak punya hati, kejam, tak mau memperhatikan, ternyata salah. Ibu penyayang dan penuh perhatian, penuh pengorbanan. Bahkan, jika pengorbanan itu harus dibayar dengan harus menahan sakit.
Malam bertambah buta. Aku menemani ibu yang terbujur lemas di ranjang. Kutunggui di sampingnya. Mencoba untuk mendekatkan jiwa yang lama terpisah. Pikiran mulai mengarahkan mataku. Menggerakkan tangan. Memfokuskan seluruh tubuh pada rahim ibu. Pikiran yang terus mengatakan kalau alat kelaminku tertinggal di sana dan harus segera kuambil.
“Ibu!” berbisik lirih.
“Ya, Lin. Ada apa?”
“Ibu, aku ini perempuan atau laki-laki?”
“Tentu saja kau perempuan, Lin. Namamu saja Erlinda Putri. Kau adalah putri ibu yang cantik. Aku bangga, Nak. Mestinya kau juga bangga dan bersyukur dengan dirimu.”
“Tapi aku merasa bukan perempuan. Aku tidak punya dada seperti Ibu. Di atas bibirku mulai tumbuh kumis. Banyak orang memanggilku Dada Putra. Pasti aku mestinya terlahir sebagai laki-laki dan alat kelaminku tertinggal di rahim Ibu. Dan pisau bedah milik bidan yang menolong persalinan Ibu menggores perutku.”
Lega rasanya mengungkap uneg-uneg yang lama bersarang di benak. Meski penuh ketakutan karena mungkin bisa saja ibu akan tersinggung. Namun bagaimana lagi aku akan mengungkapkannya. Atau mungkin kapan. Waktu dan kesempatan yang hadir untuk berbagi pikiran tak begitu banyak.
“Mengapa kau berpikir seperti itu, Nak? Kau Linda, putri Ibu. Kau perempuan, Anakku. Yakinlah itu. Dan cobalah untuk bersyukur kepada Tuhan atas dirimu. Cobalah untuk menerima apa adanya segala pemberian Tuhan.”
“Tapi, aku tak yakin, Bu, kalau aku perempuan.”
Sunggingan senyum di paras ibu yang cantik menghibur hati. Meskipun dalam pikiran, aku semakin bingung. Semakin yakin dengan keyakinan bahwa aku lelaki yang kehilangan kelamin saat persalinan. Tak pernah kusalahkan ibu dengan itu semua.
“Aku tak tahu, Bu. Bagaimana mengasihi dan menyayangi orang lain. Seperti Ibu menyayangi dan mengasihi almarhum bapak. Kalau aku perempuan, tentu akan dapat melakukan yang Ibu lakukan kepada Bapak.”
“Kau sedang jatuh hati dengan seseorang ya, Nak?” tanya ibu seraya menyunggingkan senyum lagi di bibirnya. Membuat parasnya makin nampak ayu. Tak heran kalau almarhum bapak sangat menyayangi ibu.
“Ehm tidak, Bu. Mungkin Gugun hanya bergurau. Tak mungkin menyukai diriku yang seperti ini.”
Senyum lebar makin terlihat di wajah ibu. Menampakkan seri wajah indah. Aku kontan merasa malu. Kata-kata yang terlontar, mencuat begitu saja dari bibir. Tak kusangka akan ditanggapi ibu dengan senyum.
“Nak, semua orang bisa mengasihi dan menyayangi. Termasuk kau. Wajar saja kalau Gugun suka dan sayang kepadamu. Sangat wajar jika kau juga jatuh hati dan ingin menyayangi Gugun. Kita memang digariskan untuk saling menyayangi dan mengasihi.”
“Ibu..,” kupeluk ibu dan seperti merengek di pelukannya, “lantas aku harus bagaimana. Aku merasa diriku adalah laki-laki. Sama dengan Gugun. Rasanya tak pantas jika aku…”
“Sudahlah. Gugun menyukaimu karena ada hal dari dirimu yang menarik baginya. Kau cantik. Biarkanlah rasa yang ada itu tumbuh. Sekarang mari kita istirahat. Ibu sudah sangat mengantuk. Kita lanjutkan besok saja. Sepertinya Ibu tidak bekerja lagi besok.”
Sepi tercipta seketika. Aliran nafas pelan dan teratur mengalir terasa. Kamar hangat membuat aliran darah mengalir terasa di pori-pori. Aku tak bisa berhenti berpikir.
Kecamuk semakin menggelora dalam benak. Tekad yang tertanam dan tertunda untuk kubuktikan akan menjadi kenyataan. Jika saja kuungkapkan kalau aku ingin melihat dan mencari sendiri alat kelaminku di rahim ibu. Namun bibir seperti kelu dan dingin. Tak sanggup untuk berucap.
Hari makin larut. Buta dan gelap menggerayangi malam. Mata kami terpejam dengan sendirinya. Tiba-tiba saja mataku terbelalak lebar. Kata maaf lirih terdengar dari mulut untuk ibu. Tangan menggerayang dan merogoh masuk ke dalam rahim ibuku untuk mencari alat kelaminku yang tertinggal. Memang tak salah lagi, alat kelamin laki-laki benar-benar kutemukan di sana. Rasa puas melegakan pikiran. Sekarang aku tahu kalau sebenarnya dan seharusnya aku terlahir sebagai laki-laki. Tetapi, mengapa banyak kutemukan alat kelamin laki-laki di rahim ibu?
Surabaya, 30 November 2004
*) A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008).