ODE PENYAIR LUKA
akulah
penyair luka
terlahir dari darah nanah
kutawarkan rintih duka kepada samudera
untuk kutukar dengan: ombak ganas
kutawarkan bosan nuansa kepada ladang
untuk kutukar dengan: gesit musang
kutawarkan hambar jiwa kepada sabana
untuk kutukar dengan: taring singa
kutawarkan keluh sengsara kepada belantara
untuk kutukar dengan: aum harimau
kutawarkan beku cinta kepada gunung
untuk kutukar dengan: gelegak lava
masih ku duduk di kepak kata
menunggu jawabnya,
sambil menghitung sisa usia
Jenewa (Swiss), 27 Juni 2007
SAJAK PENYAIR LUPA
bukan ini yang kumau
mengapa puisi begini menjadi
ini hanyalah najis dalam bangunan kata-kata manis
“duhai kata pujaan
bermalam-malam
berbulan-bulan
bertahun-tahun
kau benamkan aku dalam perahu renjana
melintasi taman teduh sekujur pembuluh
setia meski di ruang keruh
bahkan banyak yang ingin membunuh
tiada keluh mengaduh
sampai engkau kurengkuh, sungguh”
“engkau terus membelit menggodaku
namun kau tak pernah hadir di bait-bait sajakku
mengapa kau udarakan rayu manja,
begitu aku semangat; engkau khianat?”
ternyata,
puisi yang diharapnya
tak pernah tercipta
hingga sang kala meremahnya
di jalan menikung, senja yang mendung
penyair berlalu sendirian dan lupa bersenandung
Jenewa (Swiss), 28 juni 2007
KUDA-KUDA MEMERCIK API
kuda-kuda kekar berlari gagah
menepuk jalan
menjejak jarak
mengeluarkan percik api
menghambur sepanjang cerita
percik-percik api membara
terus menyala
cakrawala tak pernah padam
di belahan dunia sana
anak-anak muda
rajin memunguti butir-butir bara
lalu dikumpulkan
dan kini tlah menjadi matahari
di sini,
anak-anak bangsa masih nyaman
berjalan dalam temaram
lalu siapa pewaris negeri ini
yang akan tekun menyusun bara-bara ini
hingga menjadi seribu matahari
Jakarta, 11 Januari 2008
SESAL PAGI
hari telah mengepak siang
ketika pagiku ketinggalan di gerbong kereta
mencari bisik suara perjalanan usia
dijilati lidah kemarau yang kerontang
udara meradang
ditingkah jerit geragal usang
Bekasi – Jakarta, 24 Agustus 2007
MENUJU PERTEMUAN
senja tersungkur matahari berbaur
lautan meringis teriris menahan gemeretak ombak
tanah-tanah terbelah tampakkan pasrah
senyap arah
danau sungai peluk temaram
terhisap suara ke dalam untai debar
gunung perbukitan menundukkan tubuh
khidmat menempuh jalanan luruh
ini dunia
hanya permainan dan canda belaka
batu kapur,
melapuk umur
menuju kubur
Jakarta, 2 November 2007