Tak bisa diduga, berapa lama dia berada di ujung jalan. Andaikata terdapat seseorang yang menyapa, apa yang harus dikatakannya? Andaikata terdapat seseorang yang menduga, haruskah dia selonjorkan menit-menit yang berharga, buat secuap jawab tanpa makna? Namun demikian, pada hari yang penuh berlumur gula, sepatutnya dia kembali meraih penunjuk jalan yang mengarahkan orang pada jalur yang tepat – di kala segalanya masih remang dalam rabaan.
Andi yang masih berdiri di ujung pertemuan.
Tentunya suara-suara tiada lagi bising, jika para anak manusia telah semakin tahu tentang hak serta tanggungjawab pada jalan terakhir ini. Yakinlah, tiada ujung yang terarah di kebuntuan, lantaran banyak di antara kita yang berani bertanya. Banyak di antara kita yang juga bertanya tentang pendekatan yang masih samun, masih rumpil, masih diliputi kebimbangan. Betapapun kau pasti menghayatinya, karena tanpa galangan-galangan yang utuh, rasanya kita makin ditinggalkan oleh kedirian nan sebatangkara. Cendekiawan, para jawara yang menyiasati lenggok alam?
“Tiada lagi yang masih betah bertahan,” desismu waktu itu. Memangnya, tiada yang lebih betah selain Rigo Talido yang masih bujangan itu? Kau mengangguk, seraya menambahkan: “Kita tak begitu tahu alasannya. Mungkin sekali dia berkehendak bersunyi-sunyi setelah kegagalan cintanya dengan gadis Sunda yang ceriwis: si Neneng Rawi. Atau, ada soal lain yang kurang kita ketahui.” Kurasa rerumpun bambu telah membisikkan gelombang sepi yang memuput, beberapa jalanan melingkar bagaikan ikat pinggang di Gunung Renteng. “Tapi, di antara kelima sahabat, masih jugakah anda tega membiarkan Rigo bertahan di tengah kawalan hutan sawo yang bercipratkan warna coklat kusam itu? Andi, bukan untuk membicarakan tentang bagaimana bisa seseorang membiarkan sahabatnya diserang nyamuk dan kepinding sendirian, jika daku bertanya tentang Rigo Talido. Karena pagi kemarin, sudah pula aku bertandang ke rumah kepala desa, buat kepentingan yang lebih prima. Tak kutemui Rigo di sana. Nah!
“Habis, mengapa kita menyabet lelantungan yang bukan hak kita?” ujar seorang wargadusun seraya menyedot rokok kelembaknya dalam-dalam. Kulihat pohon sawo yang satu di pelataran rumah adat ini telah berkerak-kerak tua, dan daunnya teramat rimbun. Buahnya makin banyak saja, dan aku tahu, demikianlah kebiasaan pohon sawo di mana saja. Kalau umurnya makin menginjak di atas setengah abad, dia bisa dipaneni lebih tigakali setahun. Hanya bedanya dengan pohon-pohon lebih muda lainnya, kulit pohon semakin bersisik dan sisik itu mudah terkelupas jika panas surya membakarnya sepanjang kemarau. Daunnya, yang seperti kuperhatikan ini, bagai berlapis dua: sebelah luarnya kuningtua berkelisit, sedangkan pada lapisan dalam masih memperlihatkan warna hijau pekat. Kulit buah sawo juga lebih tebal dibandingkan buah yang dihasilkan kelompok di bawah tiga puluhan. Pohon ini seperti tambah jemawa di larut senja.
Rerimbun hutan sawo tidak membagikan secara adil sorot matahari yang dirindukan itu. Apalagi, kini sudah menginjak musim hujan, kawan. Aku mengeluh. Bukankah gawang dari tampar rossela yang mem-parade-kan baju dan pakaian dalam yang kita jemur harus lebih duahari untuk bisa kering tanpa bau kecing ketiak? Elias, anak desa itu meludah. Hari itu kebetulan Jumat, jadi kita ‘bertarak’, artinya: tak makan nasi, hanya sayur godokan dan ketela yang direbus hingga lunak. Kau, Andi, sudah ketularan pula dengan kebiasaan tadi. Kalau aku sempat ketemu ibumu di Larantuka, akan kukatakan bagaimana rajinmu melakukan ‘tarak’ dan puasa, hingga tubuhmu begitu kurus, supaya aku memperhatikan cara hidupmu; menu makananmu, dan kebiasaan berolahraga – yang kini kautinggalkan. Ah, aku ikut sedih, Nak. Apakah kau tengah menjalani pertapaan?
Andi yang cekatan.
Kembali kepada si Rigo Talido. Sejak ditempatkan pada hari pertama, sebulan setelah Hari Wisuda Sarjana yang begitu ceria di kampus hijau dulu, dia nampak telah menentukan sikap. “Tapi paman keliru, kalau menduga bahwa satu-satunya jalan adalah bikin pelarian terburuk di dusun yang merupakan bekas tanah perkebunan kolonial yang kapiran, dan pernah jadi pusat gerilya kaum Republikein beberapa tahun menyusul.” Dan kini, ketika aku mulai menginjak masa pensiun, tanah di sini tiada merah warnanya. Hutan sawo telah memenuhi kawasan. Sejauh-jauh mata memandang, hanya dua jenis yang lalu dekat manik-mata kita: sawo manila dan sawo kecik. Namun demikian, sebuah perusahaan patungan telah mengambil resiko untuk mendirikan pabrik minuman dalam kaleng, yang bahannya adalah sawo yang manis berlemak ini. Dan kelima mahasiswa yang aktif ini telah ‘teken kontrak’ untuk selama limabelas tahun akan setia bermukim di desa sawo ini, menjadi pekerja penuh semangat. Kukira, kau telah sangat serius ketika menandatangani surat perjanjian kerja itu dahulu. Mengapa ada pengingkaran? Pada prinsipnya, jangan menampik nyala.
“Panji, Brahman, dan Tomo telah melarikan diri,” ujarmu lirih, nyaris tanpa emosi. “Mereka yang berumur di bawah duapuluh lima, dan insinyur pertanian dan kimia, pada dinihari pucat, sepuluh hari silam, memanjat tembok tinggi berduri itu, setelah tuntutan mereka agar boleh begadang hingga jam 10.00 malam ditolak. Juga tuntutan untuk mendatangkan bioskop layar tancap dari daerah kecamatan terdekat, supaya ada hiburan sedikit, bagi pekerja-pekerja muda yang hampir senantiasa mengantuk di bawah dedaunan yang kikir dengan hangatnya surya khatulistiwa. Jam demi jam, rasanya kita seperti berada di bawah awan mendung, ataupun senjakala yang ogah-ogahan untuk menyampaikan sekilas senyum. Di liputan semacam ini, manusia terjun mbligung di sana.
“Ya, bukan menyesalinya, Andi” – omongku lebih keras seraya melirik kepada Elias yang bersandar kaki mejatulis biru di ruangan itu, seraya menikmati kantuk nan menyerbu. “Hanya wajib diingat, kontrak kerja itu kalianlah yang mendesaknya. Jikalau kawan-kawan kalian lari, itu namanya aksi sepihak, Nak. Berat akibatnya, dilihat dari segi hukum kerja. Tidak mungkinkah kalian lebih sabar menanti sampai situasi ekonomi lebih membaik; juga kesejahteraan sosial yang mungkin terlimpahkan di tempat kerja ini? Seorang sarjana jangan kelewat jauh berharap dan mendamba. Sesuatu yang elit harus disyukuri. Ia adalah pengalaman kerja nan amat berharga. Di bursa kerja yang lain, kau akan diuji pula, Nak.”
Andi, kau memang sabar. Kau masih bisa tahan delapan bulan lagi, katimbang sarjana-sarjana yang manja itu. Kau terbiasa membantu bapak dan emak di Warung Kopi, selepas sekolah sore, seperti mencuci piring, mencuci pakaian sendiri, mengepel lantai dan menyapu pekarangan luas. Paling tidak, dirimu masih punya daya tahan yang baik. Tapi paman jadi sedih, kala mendengar bahwa dirimu juga punya niat mengundurkan diri juga, karena derita kesepian… Tapi setiap insan seyogyanya sanggup mengorak kelopak.
Nah, waktu itu Elias menyambung: “Maklum, anak-anak dari kota, Paman. Kalau saya sudah biasa menikmati alam desa yang alami, yang tanpa hiburan apapun selain kicau kedasih dan embikan kambing prucul. Tadinya saya pikir kanak-kanak dari kota lebih sabar, kok.” Lalu Andi memotong kalimat ini, dengan ucapan: “Harus diingat, Dik, kesarjanaan perlu dihargai sebagaimana mestinya. Lima tahun kuliah adalah tempo yang cukup lama, di mana kami menahan hal-hal yang menyenangkan, tirakat dan sebagainya. Ya, kamipun berasal dari kalangan miskin. Maka setelah kami berhasil memetik gelar yang membuktikan prestasi belajar, kami toh menuntut sesuatu kewajaran. Kami ingin, bidang tugas yang kami masuki lebih gemilang, lebih bercahaya!”
Andi, kau masih juga berpegang pada wawasan yang keliru. Jaman niscaya akan menentukan lebih bernasnya upaya-upaya di dalam pembantingan tulang. Jaman tentunya pada saat yang genah akan mendorong kesempatan buatmu untuk memperoleh tunjangan lebih tebal katimbang apa yang kauperoleh kini. Biarlah setiap dua ketip yang kautadah sekarang merupakan pengantar bagi kemakmuran suatu hari. Tengoklah Rigo Talido yang tak bergeming. Pagi-pagi buta dia sudah mandi di sungai, kemudian berbelanja untuk menyiapkan makanannya sendiri. Jam 08.00 pagi, dia mulai memeriksa pohon-pohon bibit, menyemaikan benih baru dan sibuk mencatat, dibantu seorang di kursi malas, kemudian makan siang yang sederhana. Aduh, betapa sibuknya pemuda itu. Waktu senggangnya antara jam 17.00 hingga 18.00 di gunakan untuk masuk keluar desa, menjumpai wajah-wajah sumringah mereka, bersoal-jawab tentang perawatan pohon sawo, menangkarkan dan menyebarluaskannya. Ia tak pernah mengeluh pada siapapun. Ia tabah, Nak.
Andi yang harus mengerti.
Di ujung senja, aku berpamitan denganmu. Sebentar kulihat pagar kawat berduri yang rusak karena dipakai kawan-kawanmu yang melepaskan diri dari kerutinan nan tak mem-betah-kan itu. Pagar yang melengkung dan menikung persis di ujung jalan menuju desa Cindarbumi, satu dua penduduk menyewakan kuda untuk berwisata menuju kawah Triwarna, petilasan candi gugur dan kawah berbelerang.
Tiba-tiba aku merasa perih, sekaligus menahan hati. Andi, Andi, tentunya dikau lebih tegar daripada Panji, Brahman, dan Tomo. Tidak malukah kau terhadap Rigo Talido, yang usianya lebih muda beberapa bulan, tetapi pribadinya lebih matang? Kuharap, kau mau merenungkan kembali, Nak. Kunjungan paman kali ini untuk lebih mengingatkanmu, agar gelar kesarjanaan yang kaumiliki bukan menghalangimu untuk menatap kesunyataan sekeliling. Abad ini, orang kudu ingat, bukan gelar yang memantapkan dera-desir kemanusiaan, melainkan kadar hayati yang ginelar, yang memberikan bukti, sejauh mana prestasi baru ditancapkan, dengan genderang yang lebih merdu, dan ujung cita terpadu.
Andi yang kurawat sejak bocah.
Aku kaget ketika menuruni lembah Santana, menuju ke ujung yang dipotong oleh jembatan kecil dari kayu mahoni itu. Riap rimbun kaliandra seperti menyibak, dan dari dalamnya seperti mencongak seraut wajah. Dia Rigo Talido! Aku masih tetap mengingatnya, karena waktu bibimu sakit dulu, dia menjenguk seraya menawarkan diri untuk memainkan piano dekat tempat tidur; dan maraklah Arivedersi Roma yang pendek, tapi bernuansa lembut, mendamba. “Kembalilah, bila kau merasa masih belum masak. Jangan kasih selamat tinggal. Berbisiklah tentang ‘sekian dulu, hingga jumpa lagi’, manakala menyentuh kampung kelahiran.” Di ujung lagu itu, bibimu tegak dari pembaringan, meminta kami bertiga menyanyikan bersama-sama. Mengulang firman bakti, mengakui Keberadaan Keadilan.
“Paman Antono, bukan?” sapanya halus seraya ketawa lebar, hingga gigi-giginya yang rata dan putih-putih itu nyata sekali. “Selamat petang, Paman. Dari mengunjungi barak-barak kecil? Andi bilang beberapa hari berselang, Paman Antono akan datang ke sini. Sayang, jadwal tugas saya sejak pagi padat sekali. Kalau tidak, saya ingin menjemput Paman di dermaga sana, tempat Paman mendarat.” Rigo, Rigo! – ucapku pelan. Aku merasa terharu sekali. Nampaknya ia kepingin melepas keberangkatanku dari kompleks perkebunan sawo yang luas itu. Atau, ingin mengucapkan rasa akrabnya yang teduh? Di sini kita mulai – di kesujudan nurani – menjadi kuat.
“Terimakasih, Nak. Kalau ada waktu luang, cobalah kau ke kota lagi. Paman dan Bibi sangat bangga akan kesungguhanmu mengembangkan ilmu.” Insinyur yang lebih memilih desa-huni-sunyi, apapun alasannya. “Titip si Andi, ya,” kataku lagi, setelah tiada sepotongpun yang bisa diucapkan. Kami bersalaman, dan dia menunjuk ke pada perahu tentang tambang yang telah siap mengantarkan pendatang ini pulang.
“Kami punya orkes bambu, Paman,” bisiknya di ujung senja pualam, menolong diriku menaiki perahu yang agak oleng. “Semua pemainnya anak-anak desa sini, yang masih duduk di Sekolah Dasar. Bulan Agustus nanti, kami jemput Paman! Kita nyanyi bersama, main musik bersama. Suasana kebun akan hangat sekali, Paman. Ya, walaupun di tengah hutan sawo, wajah mentari bagaikan ogah-ogahan melemparkan kerling!”
Aku tirukan kalimatnya, dan perahu pun menjauh; jauh.
—
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa