Marhalim Zaini
Suara Merdeka, 15 Feb 2004
Siak, sungaimu menyulapku. Perempuan itu, kaurendam di dada senjamu. Pekat hitam rambutnya, setiap kali kaubasahi, tumbuh ribuan bunga kenanga. Menyambangi hidung lelakiku. Segera, di taman imajinasiku, segala yang terindah merekah. Entah di mana tiba-tiba lenyapnya gubuk-gubuk yang runduk di sepanjang tepian sungai itu. Sampah-sampah yang terapung di bawahnya pun seolah menjelma bunga seroja yang digoyang ombak kecil dari sampan-sampan yang ditambatkan. Semua tampak serba indah. Rimbunan hijau dedaunan bakau itu, lihatlah, ia tiba-tiba menjelma sebuah lukisan impresif, penuh misteri, penuh imaji. Ah, perempuan itu di mataku seperti bidadari. Bidadari yang kerap disebut dalam cerita fiksi. Bidadari yang setiap senja mandi di sungai Siak dengan rambut basah tergerai. Bidadari, yang kata orang sini, sama dengan putri kahyangan yang turun dari langit setiap bulan purnama. Perempuan selembut embun dengan selendang sutera seputih salju.
Tapi perempuan itu, manusia biasa dan bukan putri kahyangan. Ia begitu sederhana. Tak ada selendang sutera di pundaknya Dan ia juga bukan Jennifer Lopez perempuan yang menggemparkan di tahun 2000 itu, sebab tak ada gaun hijau tosca rancangan Donatella Versace yang mempertontonkan lekuk-liku tubuhnya. Yang ada hanya sepotong kain kemben batik bercorak burung merak yang telah luntur warnanya, melekat bersebati di dadanya. Mandi dengan gaya orang desa seadanya. Sebuah kesederhanaan yang sempurna. Semburat ketenangan dan lekuk keindahan yang mempesona. Meski ada pertanyaan yang terus mengambang berkelindan dalam pikiranku yang terpana, mampukah kesederhanaan dan ketenangan membungkus luka dan derita dalam gubuk kemiskinan?
“Melamun lagi!” Sebuah suara menyentak, dan sebuah pukulan mendarat di pundakku. “Siti itu memang bunga yang tersuruk dalam rimbunan semak.” Atan duduk di sampingku, memandang ke sungai. “Dan akan segera kautemukan ratusan Siti yang lain di negeri ini.” Atan membuang asap rokok seperti menghembuskan beban yang berat.
Di kedai kopi ini, senja merayap mengantar sepi.
“Sayang ya.” Kataku.
“Tak ada yang perlu disayangkan. Air adalah dunia dan hidup mereka. Siti, perempuan yang kaupandangi setiap petang itu, sudah jadi bagian dari habitat mereka. Seperti ikan, air tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Tapi tengoklah, air berwarna coklat kehitaman itu, rasanya tak layak disebut kehidupan! Itulah yang patut disayangkan.”
Dahiku berkerut. Bau air sungai bergetah di hidungku. Atan memang suka meracau. Aku lebih suka menerka-nerka arah pembicaraannya. Sejak pertama kali aku ketemu Atan sewaktu kuliah dulu, aku langsung akrab dengannya. Sampai-sampai bahasa Jakarta-ku terikut-ikut gaya Melayu. Aku kira, Atan adalah representasi sosok orang Melayu. Dia terlihat cerdas dan begitu khas.
“Tak hanya di sungai ini, mereka yang tinggal di daerah muara, kuala, selat, tanjung, dan teluk, merasakan nasib yang sama. Dan aku terlahir di sini, kawan. Aku tahu benar bagaimana rasanya menyelam di sungai keruh, tertelan air kotoran pabrik. Berlinang minyak rasanya, Wak.”
Di seberang, aku lihat anak-anak melompat, terjun ke sungai. Suaranya berdebum seperti batu kali yang jatuh dari bukit. Tawa mereka terngiang-riang. Selintas aku jadi teringat kolam renang di belakang rumahku yang berwarna biru, airnya jernih serupa kaca. Tawa kami, aku dan adik-adikku, tiba-tiba terngiang di telingaku. Hmm, tawa riang yang sama dalam dunia yang berbeda.
“Kalau kayu-kayu penyangga air sudah ditebang dengan serakah, beginilah jadinya.” Atan membuang puntung rokoknya ke sungai. “Air jadi dangkal. Setelah itu, ekosistem perairan pun terganggu. Habitat ikan dan biota habislah. Lenyap entah ke mana. Pukimak!”
Agaknya, aku harus mafhum. Bahwa makian adalah bahasa kekesalan yang buntu. Luapan yang tak menemukan tempat. Ia spontan. Melompat dari ketidaksadaran yang terpendam. Maka tak perlu ada pertanyaan atau jawaban.
Dan aku diam. Ada ratusan Siti membayang di kelopak ingatan.
***
Senja kedua, pada sebuah teluk yang tersuruk.
“Kalau sampai di Bandar ini, tak lengkap rasanya kalau tak singgah di kedai kopi.” Setiap kali kami menginjakkan kaki di ujung pelabuhan, Atan selalu mengucapkan kalimat ini.
Aku tak tahu, sejauhmana kopi telah merasuki hidup Atan. Tapi aku jadi ingat, di Jakarta minum kopi memang sedang jadi trend. Kedai kopi di sana disulap jadi kafe-kafe. Awalnya aku tak suka kopi, tapi suasana remang-remang kafe barangkali membuat kopi terasa lebih nikmat. Kafe, sebagai salah satu simbol kebudayaan baru, membawa tradisi “minum kopi” menjadi gaya hidup masyarakat kontemporer.
Makanya aku tak pernah menolak ajakan Atan untuk minum kopi. Meski bukan di kafe, tapi lama-lama kedai kopi di kampung Atan ini memberi nuansa yang lain. Jika kafe dibangun oleh kepentingan industri, maka kedai kopi di sini terasa seperti dibangun oleh kekuatan sejarah. Ada semacam ketuaan yang eksotis. Lihatlah, dinding-dinding papan coklat tua yang disusun tegak menjulang tinggi, dengan foto-foto keluarga berwarna hitam putih yang terbiar dilumuti sarang labah-labah, memberi kesan tentang masa lalu yang hidup. Ah, pengap asap rokok dan asap masakan yang menggenang ini, memaksa aku terpaku di atas kursi sebagai manusia renta yang abadi. Tapi apakah ada yang abadi di dunia ini, selain Tuhan?
“Bung, jangan macam-macam, Singapura dulu pernah jatuh hati dengan kampung aku ni. Maklumlah, zaman penjajahan dulu, pulau-pulau macam kampung aku ni apalagi yang nak diintip orang selain kekayaan alamnya. Beginilah, sampai sekarang pun pulau ini masih terus dikuras. Bayangkan saja, sekitar 60 persen produksi minyak bumi Indonesia yang mencapai 1,1 juta barel perhari itu disumbangkan oleh pulau ini. Sebenarnya aku tak kisah sangat, selama kehidupan masyarakatnya tetap diperhatikan. Kau tengoklah, macam mana nasib Siti dan masa depan budak-budak yang kemaren mandi di sungai tu!”
Seorang perempuan menghampiri, membawa dua gelas kecil kopi.
Aku memandang wajahnya tajam. Ia tersenyum, dan berlalu.
“Tan, bukankah ini Siti yang kemaren mandi di sungai itu?”
“Jangan mengigau, Wak. Di mata asingmu, perempuan-perempuan di sini memang berwajah serupa.”
Rasanya mataku tak salah lihat. Tapi Atan benar. Tak lama setelah itu, seorang perempuan lain yang muncul dari ruang yang lain pula, kembali membuat mataku terkicuh. Seperti tak percaya, tapi demikianlah kenyataannya. Mereka serupa, tapi tak sama.
“Sudahlah, mata lelaki di mana-mana selalu sama.” Atan menyeruput kopinya. “Tapi, kau tengoklah. Lelaki berpakaian seragam di kedai kopi ini. Banyaknya orang yang berseragam pegawai di negeri ini menunjukkan tingkat hidup masyarakatnya sudah mulai meningkat. Kau harus tahu, Wak, di sini menjadi pegawai negeri adalah obsesi semua orang. Nah, di lain hal, di negeri tempat aku lahir ini, orang sedang berebut duit. Tapi di lain hal lagi, yang tak pandai cari celah dan tetap apatis dengan dunia perpolitikan, ya terus saja terpinggirkan seperti Siti dan budak-budak yang mandi di sungai itu. Ya, begitulah, kapitalisme selalu memperjelas kesenjangan, Wak. Bedebah!”
Sembari mereguk kopi, kupandang sekeliling. Meski telingaku tetap terus mendengarkan ocehan Atan, tapi mataku terus liar mencuri-curi pandang pada Siti-Siti yang lalu-lalang mengantar minuman. Tiba-tiba pandangan terjerembab pada sosok lelaki paruh baya yang duduk di belakang meja kasir. Kulitnya putih. Matanya sipit. Cina?
Ya, aku ingat. Sebelum ke sini, Atan memang selalu bercerita tentang Cina keturunan yang sejak lama menghuni kampung ini. “Cina keturunan adalah sejarah yang lain,” kata Atan. Meski di hari yang lain, kerap juga aku mendengar Atan mengeluh, “Walaupun mereka telah menjadi bagian dari masyarakat di sini, tapi dominasi ekonomi masih di tangan mereka.”
Aku pun diam. Mereguk kopi terakhir. Burung-burung hitam terdengar riuh di ujung senja. Sekelebat bayangan menyelinap di kelopak ingatan; Siti-siti yang dirundung sepi.
***
Senja ketiga. Pada sebuah rumah panggung yang renta.
Memandang barisan pohon kelapa yang menjulang ke langit, waktu terasa berjarak. Aku seperti hidup dalam dunia daun-daun, dunia tumbuhan. Bau lembab rerumputan hijau yang merambati tanah gambut, kuhisap dalam-dalam. Ada kehidupan lain yang tiba-tiba bangkit dalam diriku. Kehidupan orang desa, yang jauh dari kota. Kehidupan yang dibangun dari kesederhanaan-kesederhanaan.
Dan Atan lahir di sini. Tapi di mana dia?
“Oi, jangan melamun, Wak. Nanti kesampok hantu bunian!” Suara Atan melengking dari belakang rumah. “Ke sinilah, kopi dah tersedia ni!”
Hantu Bunian? Atan memang pernah cerita kalau di kampungnya ini banyak hantunya. Tapi, bagi Atan hantu itu dianggap sebagai ikon kebudayaan timur, simbol bagi semangat jahat yang tak terlihat. Dan aku percaya, setiap kebudayaan memang dipenuhi simbol-simbol. Bahkan di Eropa pun, yang tingkat rasionalitasnya tinggi, hantu masih menempati sisi lain dari kehidupan manusianya.
Senja semakin kelam. Sesayup suara orang mengaji bersahutan dari surau-surau. Tak lama kami duduk sambil menikmati kopi di tengah rumah, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari bawah, “Assalamualaikum.”
Serentak kami menjawab, “Waalaikumussalam.”
Dari tengah pintu kulihat seorang perempuan berkebaya dengan kerudung melilit di wajahnya, berjalan menuju tempat kami bersila. Aku benar-benar terkejut. Bukankah perempuan ini juga yang kupandangi di sungai Siak senja yang lalu? Dan rasanya perempuan ini juga yang kujumpai di kedai kopi kemarin.
“Ini adek aku, Wak. Namanya Siti.”
Aku pun terdiam. Menyimpan ribuan pertanyaan dalam senja yang kian padam. Mereguk kopi terakhir dengan mata yang terpejam. “Ah, tiba-tiba kopi ini terasa pahit, tak bergula…”
Yogyakarta, April 2003.