Marhalim Zaini
Minggu Pagi, II Jan 2003
Di atas pelabuhan, waktu terasa berhenti.
Malam ini, setelah sekian ribu malam yang padam. Tok Bayan baru percaya pada Alan Lightman, sahabatnya dari Memphis, yang menulis dalam sebuah novelnya bahwa “Ada satu tempat di mana waktu berhenti, bandul jam hanya bergerak separuh ayunan. Anjing-anjing mengangkat moncong mereka dalam lolongan sunyi. Pejalan kaki membeku di jalanan berdebu.”* Dulu, ia hanya tersenyum membaca kalimat-kalimat provokatif itu. Baginya, Alan hanya bermain-main dalam imajinasi yang menyesatkan. “Fiksi, memang selalu berusaha untuk melampaui waktu, tapi ternyata waktu selalu lebih dulu meninggalkan masa lalu.” Begitu ia sering mencibir. Tapi malam ini, ketika sekian ratus buku yang telah ia baca, selalu mengembalikannya pada ketidakmampuan mengeja waktu, ia seketika merasa menjadi sebutir debu yang membatu di sudut pelabuhan yang terjerat sunyi. “Apakah di sini, di atas pelabuhan, satu tempat itu, di mana waktu telah berhenti?”
“Einstein’s Dreams, Alan Lightman. Tok Bayan membacanya lagi?”
Ia tersentak, sebuah suara mengejutkannya. Suara seorang lelaki muda yang tak asing. Seorang lelaki berkulit hitam, berbadan tegap, kuli pelabuhan yang mengidap insomnia, yang setiap malam membawakan secangkir kopi pahit dan sebungkus kretek. ”Kita tak punya mimpi bukan?” lelaki muda itu tersenyum pahit. “Minumlah, ini kopi Bali. Si Wayan yang membawanya. Penyair romantis kita itu baru kehilangan kekasihnya. Bom teroris September yang lalu, menghanguskan cintanya.”
Tok Bayan terbatuk. Menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. Angin laut mendingin di paru-parunya yang rumpang. Seperti deru ombak Selat Malaka itu yang menjilati kaki-kaki pelabuhan, nafasnya terhempas, berserakan. Tubuhnya yang menipis, kurus tak terurus, memperjelas kerentaan usianya. Tapi di cekung matanya, ada bulan yang setia menyala. Ada sepasang titik cahaya yang jauh, berpendar dalam hitam yang kian penuh. Batinnya bergumam, “rupanya, waktu tak jadi berhenti malam ini, Alan?”
“Apakah Tok Bayan kurang sehat?” Tanya lelaki muda. “Merokoklah. Lela, janda kembang pelayan kedai kopi Cikpuan itu, tiba-tiba menyelipkan sebungkus Dji Sam Soe dalam saku baju. Buat Tok Bayan, sebagai teman di malam lebaran katanya.”
Tok Bayan tak menjawab. Meski, lesung pipit Lela dan segaris senyum menggoda masih sempat melintas dalam ingatan. Tapi apalah makna perhatian, jika hanya membangkitkan kenangan. Sementara, ia sadar, usianya hanya sisa-sisa. Tulang punggung kian usang, tak mungkin lagi menyangga keinginan-keinginan. Ah, perempuan, selalu saja menyeret hasrat kelelakiannya untuk kembali menjadi muda. Sebab dulu, ia memang tak sempat menikmati cinta. Waktu telah begitu memenjarakannya dalam prahara yang tak kunjung reda.
“Kita kembali berada di ujung tahun, Markus?” Tok Bayan bergumam, sambil menjuntaikan kedua kakinya ke bibir pantai..
“Ya. Ujung tahun yang itu juga.” Lelaki muda, Markus, menyela.
“Kau tak ingin pulang?” Tanya Tok Bayan.
Markus rebah di atas tiang pelabuhan yang patah. Ia menghisap rokok, seperti menghisap kerinduan yang dalam. “Bukankah kita sama-sama tak punya jalan pulang? Lagi pula, aku telah merasa betah di sini. Aku merasa…telah pulang.”
Mereka membiarkan percakapan dalam gemetar suara angin laut yang gamang. Pelabuhan Terubuk yang memanjang, menggigil dalam musim dingin yang telanjang. Seperti ada sesuatu yang hilang, ketika gema takbir sesayup menggenang di permukaan angin yang naik pasang. Merambati pori-pori lembab yang meremang di sekujur badan. Berkali-kali, mereka menghisap sepi, dari api yang menyala di celah jemari. Dua lelaki yang selalu pergi, dan tak pernah kembali, bertemu di satu waktu yang terasa seakan berhenti.
Tok Bayan, terlahir di ujung tahun 1935, di sebuah teluk di ujung Sumatera. Tak ada catatan yang tersisa dari masa kecilnya yang tak bahagia. Hanya dongeng dari seorang perempuan bernama Emak, tentang Dedap Durhaka atau Hikayat Hang Tuah yang setia dan perkasa. Atau cerita tentang hantu jembalang dengan bermacam-macam nama, seperti Hantu Bunian, Hantu Galah, Hantu Polong, Hantu Laut, Hantu Sungai, Hantu Parit, dan segala nama hantu yang disesuaikan dengan tempat di mana ia menghuni. Sepertinya, tak ada tempat yang tak berhantu. Tapi, Tok Bayan kecil tak pernah takut pada hantu jenis apapun. Sebab ia tak pernah sekalipun melihat bentuk rupa hantu-hantu itu. Ia hanya takut pada seseorang yang bernama Mat Saleh. Ia takut pada besi panjang yang tersandang di pundaknya. Ia takut pada suaranya yang seperti petir, menghentak-hentak. Tapi, Emak selalu bilang bahwa ia, Mat Saleh itu, adalah Abahmu. Lelaki Inggris yang baik hati dan begitu tertarik pada perempuan di tanah Melayu.
Setelah itu, ia tak tahu di mana Mat Saleh itu pergi. Emak kemudian memutuskan untuk kawin lagi. Tok Bayan remaja pun, dibawa perahu waktu pergi mengembara. Tahun-tahun yang berlalu menyeret Tok Bayan berlayar dari pulau ke pulau. Baginya, menjadi anak buah kapal adalah pilihan bagi hidup yang diam dan memuakkan. Kota-kota mengajarinya untuk membaca warna nasib dan mengeja manusia-manusia dengan bijaksana.
Tok Bayan pun mulai menulis surat-surat, ketika ada sesuatu yang tak terkata dari yang tampak, ketika kesendirian memerangkapnya dalam bayang-bayang perempuan yang tumbuh dari bawah sadarnya. Perempuan-perempuan berwajah lembut yang jatuh hati padanya, tapi tersebab sesuatu, ia tak pernah sempat untuk bercinta, meski hanya untuk sebuah ciuman pertama. Tapi, surat-surat itu justru memerangkap dirinya dalam kesendirian yang lain. Kesendirian seorang lelaki yang berangkat tua, yang hanya bisa menghibur diri dengan bernyanyi sendiri dengan lagu-lagu yang terdengar sumbang dan aneh.
Akhirnya Tok Bayan memutuskan untuk mengirimkan surat-surat itu kepada setiap kenalannya, pada setiap kota yang pernah disinggahinya. Ia tak pernah peduli, apakah ia akan menerima balasannya. Seperti layaknya Raja Ali Haji yang sampai akhir hidupnya terus menulis surat buat sahabatnya H. von de Wall dari Jerman, Tok Bayan akan terus melayangkan kesepian demi kesepian ke pulau-pulau mimpi, sampai ia menemukan tempat di mana waktu benar-benar telah berhenti. Di mana ia hanya bisa menulis sepucuk surat dari jiwa yang kerontang, melipatnya menjadi perahu mainan, dan menghanyutkannya dari sebuah pelabuhan, di tepian malam yang gamang.
“Benarkah engkau merasa telah pulang, Markus?” Tok Bayan bertanya dengan suara tertekan dan getir.
Markus terdiam. Dalam rebah, seketika ia merasa seperti ditindih hamparan langit yang hitam. Pertanyaan Tok Bayan, membangkitkan ingatan tentang kampung halaman, yang sekian waktu telah terbuang jauh dari pandangan. Apalagi, suara takbir itu, semakin larut semakin menyembilu. Ia tiba-tiba merasakan kembali sayatan pedang perang di Ambon. Bau anyir darah Ayahnya, yang melepas nyawa hanya tersebab ketidaksepahaman antar suku, begitu memualkan dendam rindu. Ia tak mengerti, kenapa Ibunya pun harus mati ketika ia tak sempat bertanya tentang berapa harga kehidupan untuk sebuah perjuangan yang semacam itu. Sampai kini, ketika ia terdampar di sebuah pulau, dan setiap hari memeras keringat sebagai kuli pelabuhan, ia baru tahu bahwa ternyata perjuangan – apa pun bentuknya – hanya berharga untuk mempertahankan kehidupan.
“Ya. Aku telah pulang. Bagaimana dengan dirimu, Tok Bayan?”
“Aku tak punya rumah untuk pulang.”
“Bukankah Tok Bayan terlahir di pulau ini?”
“Ya. Hanya numpang lahir saja.”
Sepasang kelelawar berkelebat. Hitam semakin memekat. Kapal-kapal terlelap, merebahkan tubuhnya di pangkuan pelabuhan. Dua lelaki terbaring, memandang gemerlap bintang di langit, menyembunyikan gundah malam dalam diam yang merajam.
“Malam lebaran yang indah, bukan?” Markus melenguh.
“Ya. Indah.”
“Pasti lebih indah, jika merayakannya bersama keluarga.”
“Ya. Mungkin.”
“……Ya. Mungkin.”
Dengkur ombak pecah di batu. Kayu si api-api menidurkan dingin angin di daun-daunnya. Rumah-rumah yang menghala ke laut, berkerdip dalam temaram, terkantuk-kantuk dalam selimut malam. Tapi surau-surau dari pelosok pulau, masih setia menggaungkan takbir di antara gemerisik pelepah kelapa dan reranting bakau yang mengigau.
“Tok Bayan. Apakah yang paling membuat bahagia, ketika usia beranjak tua?” Markus bertanya lirih dan hati-hati.
Sambil terbatuk-batuk, Tok Bayan menjawab, “Seperti Desember menggapai Januari. Tak ada yang paling bahagia untuk waktu yang berjalan melingkar?”
“Benarkah? Meski di saat-saat seperti ini?”
Tok Bayan kembali terbatuk. Batuk yang menjadi-jadi. Tenggorokannya terasa dipenuhi dahak kering yang mengerak. Dadanya sesak. Seperti batu karang tua di mulut pantai, ia terduduk meringkuk, mirip orang kedinginan. Markus mendekat. Kedua tangannya memijit-mijit di sekitar pundak Tok Bayan. Tak lama, batuknya mereda. Meski nafasnya masih tersengal-sengal.
“Sebaiknya, besok malam Tok Bayan tak lagi terjaga sepanjang malam di sini.” Usul Markus. “Paling tidak untuk kesehatan. Lagi pula, Membaca buku kan tak harus di atas pelabuhan.”
Tok Bayan membisu. Ada yang miris, mengiris ulu hatinya. Ada yang tiba-tiba bergulir dari sudut matanya.
Markus tahu ada isak yang tertahan. Ia merasa gugup. “Apakah teman Tok Bayan dari Memphis itu, masih mengirimkan buku-buku?”
Tok Bayan hanya menganggukkan kepala. Dalam hatinya ia berbisik, Alan Lightman adalah sahabatnya yang paling baik. “Buku-bukunya menenggelamkan aku ke dasar waktu. Sampai aku tak tahu, telah begitu lama aku menanggung rindu.” Tapi, Markus juga pemuda yang baik. “Sentuhan tangannya mengantarkan aku ke permukaan waktu. Sampai kini aku tahu, rindu itu telah kutemu.”
“Markus.”
“Ya.”
“Besok pagi, maukah kau menghidangkan ketupat buatku?” Hidungnya agak tersumbat, membuat suaranya tersendat. “Kita makan bersama Lela di kedai kopinya. Lalu kita bersama-sama pergi ke Masjid, setelah itu kita saling bermaafan. Maukah kau, Markus?”
Serupa fajar syawal yang mengambang di ufuk timur, matahari terbit di hatinya. “Alan, ternyata waktu tak pernah berhenti. Benar katamu, di dunia seperti ini, waktu mengalir ke belakang.”
Yogyakarta, 2002
* Mengutip novel Alan Lightman, Einstein’s Dreams.