Onto Suwigno

A. Rodhi Murtadho *

Onto Suwigno. Seorang guru SMP yang cukup populer namanya di kalangan masyarakat desa Madulegi. Keramahan dan kesantunannya kepada siapa saja menumbuhkan rasa simpati tersendiri. Tak diragukan lagi, kepiawaiannya dalam mengajar membuat berjuta-juta manusia sukses. Ada yang sukses menjadi pengemis, pemulung, petani, pedagang, pejabat kota, menteri, jendral, presiden, bahkan ada yang sukses korupsi tanpa ketahuan.

Sudah lama Onto Suwigno mengajar di SMP itu. Dua puluh lima tahun. Tentu saja ia sering mengalami pergantian kurikulum pembelajaran. Dari kurikulum A ke kurikulum B ke kurikulum C kembali ke kurikulum A kemudian ke kurikulum D dan begitu seterusnya. Kali ini ia harus beralih dan menggunakan kurikulum K. Kurikulum baru. Kurikulum yang bisa membuat siswa banyak bertanya. Banyak pertanyaan dari siswa yang belum ia bisa jawab sebenarnya. Namun dengan memaksa, memelintir otak, dan mengeluarkan segala pengalaman serta kepiawaian mengajar, ia bisa menjawab pada akhirnya.

“Pak, apa sih pendidikan seks itu?” tanya Jurano, salah seorang muridnya yang terkenal pandai dan piawai dalam bertanya.

Sempat Onto Suwigno merasa kebingungan memikirkan pertanyaan itu. Memang ia jarang sekali nonton TV apalagi baca koran. Waktu di luar mengajar ia gunakan untuk mengojek di pangkalan ojek Telon. Hal itu harus dilakukan karena ia harus menghidupi dua orang istri dan ketujuh anaknya.

Semakin tercenung ia memikirkan pertanyaan itu. Ia ingat Sumini, istri keduanya. Malam yang bergairah. Senyum Sumini di sela-sela giginya yang putih. Uraian rambut ikal di antara parfum dan bedak. Membuat malam semakin berbinar. Apalagi bentuk tubuh Sumini yang tak banyak berubah meski sudah beranak tiga. Di samping desahan nafas yang tak heran lagi membuat Onto Suwigno semakin kewalahan membendung hasrat. Sangat enggan ia melewatkan malam seperti itu bersama Sumini.

“Pak! Pak Onto, kok gak dijawab?” protes Rozak di sela-sela lamunan Onto Suwigno yang kontan membuatnya kaget.

“Saya melakukannya semalam,” jawab Onto Suwigno spontan terkaget.

“Apanya pak?” tanya Dini yang makin penasaran.

“Kapan-kapan kita bisa praktik bersama. Sesuai dengan tuntutan kurikulum, jadi harus ada praktik agar kalian tahu dengan jelas.”

“Tapi kapan pak?” tanya Nuni mengejar.

Pertanyaan yang lagi-lagi membuat Onto Suwigno terpojok. Ia kembali berpikir, kapan praktek itu bisa dilaksanakan. Sementara ia ingat istri pertamanya. Jannah. Seorang wanita berperawakan besar. Onto Suwigno mengingat-ingat kembali saat ia pengantin baru sampai ia mempunyai empat orang anak. Belum pernah ia melakukan praktik itu di siang hari.

“Bagaimana kalau malam hari!” jawab Pak Guru Onto.

“Kami kan harus belajar yang lain juga dan harus istirahat, Pak. Belum lagi izin yang belum tentu diberikan ayah dan ibu kami. Siang saja ya, Pak?” timpal Jurano.

Kembali Onto Suwigno memikirkan masalah yang sebenarnya ia tak mengerti. Namun pikirnya, ia melakukan praktik itu dengan Jannah ketika waktu senggang. Saat ia tidak sedang mengajar atau tidak sedang mengojek.

“Baiklah! Tetapi, waktu istirahat saja. Besok bisa kita praktikkan,” Onto Suwigno memberi kepastian kepada murid-muridnya.

Bel pulang telah dibunyikan. Membuat siswa-siswa cepat-cepat mengemasi buku dan segenap alat tulis. Mereka pun siap untuk meluncur pulang. Tas ransel yang tadi pagi mereka bawa terasa berat, sekarang menjadi ringan ketika mereka sudah memakan bontotan yang disiapkan ibu mereka.

Siswa-siswa berbondong-bondong pulang. Begitu juga dengan para guru termasuk Onto Suwigno. Onto Suwigno langsung berganti seragam. Ia memakai seragam ojek dan langsung menuju pangkalan ojek Telon. Dalam perjalanan, ia memikirkan hal yang tak ia mengerti yang ditanyakan muridnya. Pendidikan seks. Bagaimana besok ia akan menjelaskan. Apalagi ia akan menjadikan itu sebuah praktik. Bagaimana ia akan melakukan? Dengan siapa? Semakin banyak pertanyaan yang muncul dan menghantui Onto Suwigno. Ia terdiam dalam lamunan panjang.

“Pak Onto, bagaimana kalau kita praktik ketika istirahat pertama?” tanya Jurano.

“Baik. Ide yang cukup bagus. Kamu dan teman-temanmu yang berpraktik, ya. Tentu saja atas bimbingan saya,” jawab Onto Suwigno yang sedikit tersenyum tapi kebingungan.

“Baik pak.”

Kembali Onto berpikir. Benar yang ia lakukan ini? Sementara ia mengukur dirinya sendiri. Ketika ia berumur 18 tahun, setahun sebelum ia menikah dengan Jannah, baru ia megetahuinya. Mereka baru berumur 12 tahunan. Apakah sudah layak mengetahuinya? Kembali kebimbangan membuatnya bingung untuk melakukan praktik itu.

“Kalau saja saya membaca koran atau nonton TV tentu saja saya bisa menjawab pertanyaan itu dan mengakali jawabannya,” kata Onto Suwigno dalam hati, “tapi, gaji yang saya dapat tidak cukup untuk semua keluarga. Untuk makan satu istri dan dua orang anak saja tidak cukup apalagi harus menghidupi dua orang istri dan tujuh orang anak. Kalau pembesar kota mengatakan bahwa gaji itu tidak habis saya makan satu hari itu memang benar. Tapi gaji itu habis saya makan sepuluh hari. Terus yang dua puluh hari makan apa? Terus anak istri ikut makan siapa?”

“Pak, direkam ya, Pak, pakai kamera?” tanya Siwi, anak pejabat kaya.

“Boleh.”

Pengalaman terus saja membuat Onto Suwigno meraba-raba. Tak sempat ia tercenung. Hanya memikirkan anak didik. Bagaimana murid harus diakali tanpa menjerumuskan mereka pada hal yang asusila. Namun ini pengetahuan, kalau tidak dijawab, mereka akan terus bertanya. Ia khawatir kalau murid-muridnya mencari jawaban dengan jalan yang salah. Kembali ia menebarkan mata di sela-sela teriknya mentari siang itu.

“Baiklah anak-anak, semuanya ikut saya!” ajak Pak Onto.

“Kemana Pak?” timpal murid-murid.

“Pokoknya ikut saja.”

Onto Suwigno membawa murid-murid ke padang rumput sebelah sekolah.. Layaknya bebek yang digiring pemiliknya. Murid-murid pun nampak tercenung dan belum mengerti apa yang akan dilakukan Pak Onto.

“Kalian boleh merekam sekarang,” kata Pak Onto.

“Apanya yang direkam, Pak?”

“Kalian lihat kambing di belakang kalian itu. Di situ ada banyak kambing. Beberapa kambing jantan dan juga beberapa kambing betina. Silahkan kalian amati itu dengan seksama. Sementara saya akan meminta gembalanya untuk mendekatkan kambing-kambing itu kepada kalian.”

Adegan yang sebenarnya lekat dengan keseharian murid-murid. Tak sedikit dari mereka juga gembala. Namun ketika tontonan itu dilihat bersama, menjadi suatu keasyikan tersendiri bagi mereka. Canda, tawa, dan saling gelitik tak terelakkan lagi. Nampak Onto Suwigno merasa lega paling tidak. Dia sudah menunjukkan kalau dia sudah bisa menjawab pertanyaan murid-murid. Apalagi mampu membuat mereka senang dengan cara dia menjawab. Onto Suwigno nampak bertambah lega dan sunggingan senyum lega sudah terukir di bibirnya.

“Pak, kok kambing, terus pendidikan seksnya mana?” tanya Jurano penuh penasaran dan merasa dibohongi.

Layaknya mencari barang hilang. Onto Suwigno semakin bingung dengan contoh kambing yang ia tunjukkan kepada murid-murid.

“Mas, kambing ini usianya berapa?” tanya Pak Onto kepada gembala kambing.

“Wah, saya lupa Pak Guru, cuma yang betina ini sebenarnya adalah induk dari yang jantan,” jawab si gembala.

“Jadi yang betina itu ibu dari kambing laki-laki!” timpal Rozak ingin menegaskan.

“Benar, Dik…” si penggembala menganggukkan kepala.

“Begini anak-anak, seks semacam ini biasa dalam binatang tapi tidak boleh dilakukan manusia. Semuanya sudah diatur dalam hukum agama. Kalian mengerti?” terang Pak Onto.

“Oh, jadi ini pendidikan seksnya, Pak. Jadi tidak boleh melakukan dengan keluarga, ayah, atau Ibu, atau saudara. Kalau melakukannya bisa dikatakan sebagai binatang. Kambing,” tanggap Dini melanjutkan perkataan Onto Suwigno.

“Tepat sekali,” lanjut Pak Onto.

Onto Suwigno kembali berpikir, bukan melamun. Pikirannya ingat nama sesosok guru. Oemar Bakrie. Ia melihat sekitar dirinya berubah. Ia melihat tas coklat yang ia bawa berubah menjadi mirip kulit buaya. Ia melihat sepeda motor yang didudukinya, yang biasa ia gunakan mengojek, berubah menjadi sepeda kumbang. Dirinya tiba-tiba berpeci, berkacamata. Entah darimana datangnya. Polisi pun datang menghampirinya. Ia semakin bingung kelabakan tak karuan. Onto Suwigno berpikir, apakah dirinya benar-benar berubah menjadi Oemar Bakrie.

Surabaya, 7 Desember 2005

*) A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *