PENOKOHAN DAN PEMBUNTALAN

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Dentang Alhayat yang merdu
menyampaikan serunai pemahat rindu
Dunia damai memasrah laku
bak insan-alam berasyik-masyuk.

Sirajudin yang sabar menunggu!
Entah sudah lebih dahulu sadar, entah pula belum sempat mengembalikannya kepada nilai yang menggumpalkannya, aku tak bisa menyahut ketika sambaran kata itu menerpa. Ah, ya – kita acapkali benar membikin satu penantian, sungguhpun kemudian tahu, betapa telah sia-sia menjadi ‘orang penanti pengudap kuah’. Lamun demikian, ada yang dibiarkan menguap, meninggalkan kepatuhan yang pokok. Sedangkan anak-anak manusia yang dibiarkan lenyap dalam kekecewaan, akan menjadi borok yang menjijikkan kelak. Dan seorang yang merasa kudu berlari dalam gerimis, niscaya akan merasakan nikmatnya air yang menetes jatuh dari langit bukan pada saat dia berhenti dari langkah cepatnya, melainkan dalam kecepatannya yang bagai kilat itu.

Mengapa kau menjadi begitu ceriwis, sahabat! – demikian komentarmu kini, yang tak mungkin hanya menghadapi bibir terkatup. Jikalau berpikir pun nanti merupakan pengembalian kekuatan yang kesekian kalinya, niscaya saya memilih ‘gerak-gertak berpikiran’ sebagai suatu sikap terbaik. Perlangkahan demi perlangkahan serasa menemukan rumput hijau. Alhasil, rangkuman hidup sungguh-sungguh sanggup menyempurnakan artidiri. Wahai sahabat, masihkah ada yang pantas disusulkan di balik dada?

Ibarat seekor garuda yang patah sayap kala mengedari buana, demikian keterpatahan yang dialami seorang pemikir, sewaktu dia telah mengenalkan buah ciptanya kepada alam seisinya, tapi tak sewujudpun mampu menyambut salamnya. Lebih-lebih lagi bila yang dimaksudkan ini adalah satu wawasan kokoh, berkesinambungan, punya daya maslahat bagi kehidupan nan raya. Agaknya tiada kepedihan yang lebih besar daripada ‘ditolak secara halus oleh masyarakat zamannya’, sedangkan seyogyanya semua itu dapat dirembug baik-baik, diperbincangkan dan disajikan dalam tawar-menawar.

Kalau ada yang terlampau pagi menyiapkan tampikan keras, ini berarti patahnya sayap sebelah. Jikalau publik dan khalayak yang amat dicintainya justru malahan terguling ke pelimbahan, padahal dia sudah banyak menyiapkan usulan perbaikan meliputi segi demi segi, maka sayap sebelahnya terkulai sudah. Apa guna memperkuat penokohan yang diminati dan dinantikan, andaikata suasana selingkungan belum siap buat menyongsong. Atau rentanglah langkah tengah malam, sebelum dirimu mafhum, betapa gerangan menara redam cuaca dingin di kawasan ini.

Sirajudin yang budiman.
Lima tahun silam, kita tamasya dengan sampan mengarungi Rawa Senang ini, dan masih terus terpeta jelas di ingatanku, bahwa saat itulah kita yang masih diberkati dengan usia muda, masih sempat pula beromong sebebas-bebasnya tentang golar-golirnya keberuntungan atau tanggalnya tangan kebajikan. Sejalan dengan kemungkinan terjelasnya yang dapat dijadikan ukuran ketegaran baru, kita menapak dan menapak, batinpun menggelucak. Sementara itu pula, bibir-bibir takkan terbungkamkan karena terasyik!

“Kuatkan diri,” ujarku waktu itu seraya mengayuh sampan di air yang berwarna hijau-kebiruan itu. Hari menapak senandung langit. Beberapa camar pencar-cahya yang berwarna lila muncrat pada batang-batang pinus yang tinggal sejumlah cogok-congak di pinggir rawa. Sebagian kilatan mukaair yang terlukis indah, sarat dengan tiga galuran: kuningkunyit, merah, ungu-sendu.

“Sedangkan kehidupan bertambah susah,” celetuknya tak peduli. Tanganmu lincah mengayunkan bilah dayung, dan pemandangan sepanjang perjalanan menghadirkan sanjak-sanjak alam yang memukau. Sesekali kelihatan satu dua ekor burung punai yang mencoba terbang merendah, karena kepingin mencucuk ikan yang berenang lincah di perairan. Aku lirih melagukan “Viva Sacramento”, sementara hatiku juga tergelitik oleh sore yang menganyut-anyut. “Lamun kesusahan menjadi sunggingan puja, alangkah baiknya. Tentulah ada yang merasa beruntung. Sangat beruntung, malah, karena tantangan makin larut menunjukkan sergapannya. Dan kita tergilir oleh sempatnya bertualang, agak berat juga kalau tak menerima giliran itu secara lugu pula.”

“Untung-untungan namanya. Mengapa memperjudikan kebajikan.” “Bukankah memperjudikan namanya, karena tatkala kita berkeinginan untuk merengkuh cakrawala sana, kitapun siap pula untuk dihempaskan oleh pendeknya di lengan. Memang, buat apa berangan-angan kelewatan.”

Kita ketawa jadinya. Masakan untuk serangkum singgahan cita, harus banyak dibual-buali oleh filsafat yang menguak ongkos. Namun demikian, seolah-olah telah merupakan janji tak terucapkan. Ah, alangkah moleknya masa-masa muda. Kita seakan menjalankan titah suci dan takkan berhenti dari kegiatan yang menyeretnya. Kalau begitu, apakah ada yang tinggal sebagai sitawar-sedingin yang sempat jadi ‘tandon’ untuk berbagai krida-krida yang bersusulan?

“Cobalah pikir, kawanku. Pergerakan yang kita lakukan sepertinya bakal mundur dan terjebak. Kita seperti merpati yang terkepung oleh pemburu di sekitar sarangnya sendiri. Tiada kesempatan buat menyiapkan serangan balasan… Gupermen bagaikan telah siap melulur kaki-kaki kita. Ketika anak-anak rakyat kita bajakan kemauannya, dan kita bangkitkan nuraninya untuk merebut kemerdekaan lahir-batin, maka justru di situ jalan buntu telah nampak. Kita perlu bersegera mengatasinya!”

“Aneh, katamu. Kenapa bicara tentang jalan buntu!” “Memang demikianlah sebenarnya. Cobalah pikirkan. Pertemuan demi pertemuan di Societeit “Suri Nirmala” telah beberapa kali dihentikan oleh polisi, sewaktu ceramah tengah giat dilancarkan dan para jago propagandis kita yang rata-rata berusia muda merasa remuk tungkainya. Mereka adalah kaum terpelajar yang peka sekali. Hantaman yang sering mengenai tungkainya saja, membuat mulutnya berbusa. Sikutan yang perlahan saja telah bikin gumyur pikirannya. Alaaa, itulah kepedihan masa kini.”

“Sayang sekali, jika kaum intelektualen justru lebih lemah katimbang kupu-kupu kembang kertas. Tindakan keras Gupermen bukan saja menggeprak dirinya, melainkan lebih daripada itu. Mereka, segera telah dicoklek dan tiada persiapan buat bangun dengan kesegaran.”

“Sedari dahulu sudah kujelaskan, aku malas berhubungan dengan para pelajar muda yang masih duduk di MULO dan AMS itu. Rasanya aku lebih percaya kepada golongan terpelajar yang telah duduk di universitas atau institut yang layak pakai. Mental-baja mereka cukup baik. Sewajarnyalah apabila orang berolok-olok dengan menganggap mereka itu seperti siput. Terpegang sungutnya sedikit, telah mengerinyut ke balik kepompongnya. Bagaimana ini? Tenaga terdidik teramat mahal harganya.”

“Akupun prihatin akan kenyataan demikian. Tengoklah pada club-club yang semula bercorak sosial, budaya maupun perekonomian, yang pada awal tahun duapuluhan lantas memilih terjang lebih radikal dengan mengambil sasaran politik praktis. Sekalipun semboyan ‘Kemerdekaan Di atas Segalanya’ namun saya ragu. Mereka belum mengerti, apa yang dihayatinya. Perjuangan sengit masih harus dilipat-ganda diambil, sebelum orang siap untuk mengatakan “sumangga dipun kunjara” (silakan tuan memenjarakan diriku) – sewaktu polisi rahasia kolonial menyergap.”

“Terdapat perkecualian, kawan. Misalnya puteri pemilik Societeit Suri Nirmala itu sendiri. Dewi Narawati, yang baru delapanbelas tahun usianya. Tahun silam, ia memasuki AMS dan tatkala saya bersama Khodirun dari Pergerakan Rakyat berhasil menemukan bibit unggul ini, serasa menemukan emas segunung, sahabat. Karena gadis yang mahir berpidato, mahir mengarang dalam bahasa Indonesia yang baik itu, ternyata sangat mudah melukiskan angan dan gegayuhan luhurnya. Siapa tahu, dia menjadi seorang propagandis yang teramat berbakat di belakang hari. Dari sekarang, bakat itu telah nampak…”

Kayuhan sampan kami sampai di bukit Jemala yang berwarna hijau-tua kehitaman, serta dipenuhi oleh undan-undan yang membuat sarang cukup elok di pepohonan Sarawak. Kami sejenak mengagumi awal-senja yang bermain lewat usapan anginnya yang sejuk dan nyanyian sayup-sayup gembala yang dilamun rindu. Nyanyian itu diselingi oleh denyutan seruling kembara yang dihilirkan rasa iba senantiasa. Tetapi kami tak ingin mendarat ke pulau cilik itu, bukan? Kita hanya ingin berkeliling dalam pelayaran yang menghalau kegelisahan diri sendiri.

Kau ketawa gelak-gelak waktu itu, bukan? Karena ada sarang seekor undan yang nampaknya kurang tebal kerangka dasarnya (yang terbuat dari daun cemara, ilalang dan daun waru) – dan begitu jebol, maka undan jantan marah dan mematuki leher betinanya. Untung mereka belum siap menetaskan telurnya, yang biasanya pada penghujung April sudah mulai bermunculan pada sarang-sarang berpinggirkan daun lingga yang mengkilat kecoklatan terkena matahari sore.

Sirajudin yang selalu kukenang.
Ketika menyebut nama Dewi Narawati itu, pipimu memerah. Ya, aku sendiri tahu bahwa sebetulnya dirimu terkait dengan diri si jelita. Percayalah, sahabat, kau beruntung jika bisa memetik Pandanwangi itu. Bukan saja karena wajahnya mungil dan memperlihatkan ketajaman intelek, tetapi juga lantaran lidahnya fasih berkata-kata, berpidato, berceramah juga berkhotbah. Kukira, dia akan menjadi pendamping tepat bagi orang-orang pergerakan seperti dirimu, diriku, atau siapa nanti yang beruntung.

“Bagaimana kalau pertemuan bulan depan, dia sudah mulai diminta memberikan ceramah tunggal pada Serasehan Kewanitaan Putri Merdeka? Kukira waktunya tepat, kawan. Makalah bisa disiapkan dalam sepekan…”

“Ya, ya, ya. Itu akan lebih baik kiranya. Kita nanti menyimaknya dan siapa tahu kepanitiaan yang kita jalani akan membawa berkah. Kita bisa mengantar dia pulang malam itu, dan bertemu dengan orang tuanya yang berpengaruh di kota ini. Ibarat mendapat durian runtuh.”

“Mengantar saja sudah merasa gembira, apalagi jika sempat menjadi kekasihnya, bukan? Ha ha ha ha! Kembang juita yang berjaya!” Cobalah tebak, sahabatku. Cobalah tebak. Siapa di antara kita yang paling merindukan kesempatan baik dan langka itu? Siapa yang lebih menghasrati? Kita berdua ketawa lebih keras, lebih keras. Sampan terus dikayuh perlahan.

Sirajudin yang baik.
Hendaknya kau tanpa prasangka apapun, sewaktu mengulang kembali percakapan rembang petang yang penuh kenangan ini. Kuharap, walau ini adalah sepenggal pengalaman masamuda kita, tapi kita berdua sanggup meredam hal-hal yang keras dentumannya, sehingga tiada yang goyah sedikitpun. Tiang-tiang penyangga kemantapan para calon pimpinan pergerakan nasional yang mencoba berdiri tegap dengan muka sumringah. Pilar-pilar ketokohan yang mencoba mengukir keteladanan di balik secuil rasa bakti, pengabdian dan saling bertoleransi. Semoga tiada yang penyap percuma dari golak begini.

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Leave a Reply

Bahasa »