SUARA-SUARA SAKTI

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Bukankah setiap suara mempunyai gemanya sendiri? Bukankah tiap bunyi yang menderas dan menjuntak niscaya akan segera menemukan ‘tatapan ke bidang datar’ yang membuatnya segera hincit dan menjerit? Di kala diriku akan menghitung pilahan bunyi yang muncul dari permukaan bumi ini, terasalah bahwa aku menemukan suara-suara sakti. Suara, yang bukan lagi dipersoalkan sebagai ‘sawur sekar’ yang tersebar dan terserak – melainkan suatu tetawur yang memiliki sempyur-sempyur yang mengucapkan penggenahannya.

Rekanita Wijayanti.
Tiapkali mengedarkan buku puisi-album pada akhir tahun pelajaran di sekolah, kupikir teman-teman akan mempunyai banyak kesempatan untuk menjalin dan memilih rancangan yang dirasakannya paling menawan. Waktu itu, aku agak heran, bahwa diriku masih gamang untuk menyampaikan serbuk-sawuran sanjak. Alangkah aneh. Padahal dikau merupakan kuntum idaman, kembang mewangi yang acap dipercakapkan oleh kaum muda yang sebaya, atau kakak-kakak kelas. Kukira lumrah saja, bahwa anda memiliki keistimewaan yang membuat berpasang mata mengarahkan hamur tajamnya, entah itu menancap di relung-jantung ataukah hanya ujungnya saja yang penyerempet, tanpa meninggalkan luka sedikitpun.

Rekanita Wijayanti.
“Mestikahku mengisinya?” tanyamu kala itu, dengan sorot mata yang menyiratkan keheranan, karena buku berhalaman kosong itu kusodorkan padamu waktu usai pelajaran terakhir. “Warnanya segar, merahjambu. Aku kepingin juga menumbangkan coretan ringan barang segaris. Tapi… mohon jangan hari ini, kak. Soalnya, belum muncul suatu gagasan yang patut digoreskan segera.”
“Kalau saja adik dapat menuliskan sesuatu yang paling berkesan hari ini,” kataku tak mau kalah. Lalu kuletakkan buku bersampul kemerahan tadi di meja sebelah, yang berpolitur halus serta bertaplak batik bergambar sayap-sayap mekar. “Aku tak mendesaknya sekarang. Beberapa garis dapat saja ditorehkan, seikhlas hatimu.” Ah, aku baru takut-takut berani menghadapi gadis remaja. Tak kuduga sesulit ini benar. Tapi Wijayanti telah memiliki nama kondang sebagai pemilik paras ayu dan beberapa kali memenangkan lomba karya ilmiah, yang diperdebatkan para sidang pakar tahun ini. Bahkan tentang kemungkinan mengatasi limbah empang dan sawah yang berdekatan dengan sungai yang telah dicemari pabrik gelas di dekatnya. Hei, hei, hei, aku menyanjung…!

“Sekiranya diperbolehkan aku membawa pulang buku kakak,” ujarnya sekilas. “Dan akan kubawa kira-kira sepekan, sampai kukembalikan dengan karya puisi ala kadarnya yang dapat kutulis sebagai rangkuman, kak…” Aku tergagap mendengar ucapanmu. Bibirmu mungil kemerahan, dan gigi yang membiji mentimun gemerlap mempesona di depanku. Aku menahan nafas. Pikiran tak keruan. Agak alot aku berkata: “Cobalah, adik. Tapi silakan, itu lebih baik.” Sungguh, aku begitu tolol. Kau tentunya punya warna-warni dalam cita rasa.

Waktu dirimu berlalu bersama teman-teman yang ketawa cekikikan, aku serasa beruntung sekali. Alangkah pemurahnya sinar surya siang ini menebarkan corak kuning-cerah pada dinding dan bangku-bangku dekat Perpustakaan Sekolah. Pot-pot kecil dari keramik yang berwarna coklat muda dan oranye, hanya ditumbuhi krokot dan cactus alit-alit bercumplikan, dengan bunga sebesar matacincin, agak kemerahan. Nampaknya seperti penghias teras yang agak terlupakan. Angin temarang berkesiur lembut, dan aku memberanikan diri untuk merokok dekat kursi di pintu keluar. Sebatang rokok putih Escort yang enteng, dengan kepulan tipis sekali. Suara para remaja yang bergunjing tentang gurunya, tentang sesama teman, kedengaran sayup dan keras dari situ.

Teringatlah aku akan jabattanganmu pada beberapa bulan berselang, pada pesta ulangtahun sahabat kita, Rika. Musik seronok tak kuasa merenggutkan penampilanmu yang anggun, di antara gurau, derai-tawa, ragam bunga.

Rekanita Wijayanti.
Pergulingan hayat memerlukan tiarap dan tungging merayap atau menyelempang. Pergulingan untuk membina pahatantalam harap, niscaya juga mendorong lahirnya kasih nan tulus. Dalam hentakan yang betapapun kerasnya, manusia bertarung melawan keringkihannya sendiri – dan dia tak bisa hanya menganggap pihak lain sebagai seteru, tanpa membahas-mengupasnya lebih arif. Aku ingat, rekanita, bahwa salah satu goresan sanjakmu di buku merahjambu itu berbunyi sebagai berikut:

“Tilingan nalar – pada ‘nusia yang terkapar
Laguan kawi, rawikan suci – gemintang terkawal
Dewan yang merembug musyawarah damai dunia
Serahkan tajuk mahkota bertiara kebangkitan
Berpaling dari lampah-lampah dan gulat penuh luka
Menghampiri laku-batin resik gumrining – Viva!”

Maka kertas itu kubuka, dan pagina-pagina lembut mengembangkan bayangan liris. Seraya menatapi kalimat yang terhidang, kumerasakan hadirmu, anggunmu, kemanisanmu. Memang, sepuluh hari telah kaukembalikan kitab yang kaupinjam itu, dan kau mengisinya dengan tulisan yang rampak, teratur, lancip-lancip serta menyampaikan bisikan sukmamu yang sempurna. Di situ dada merasakan gemontang lonceng fatwa, yang kumandangnya memenuhi dada. Benar kata seorang sahabatku, dirimu mampu membangunkan cerlang kawicaksanan. Melalui puisi ginelar, seucap nirmala mengandung keterbukaan roh nan lapang!

Rekanita Wijayanti!
Walaupun sang waktu lebih punya hak-bicara, kita toh tak hanya pasrah kepada debu sejarah. Dalam perbandingan antara kenikmatan merengkuh keindahan, dengan emosi yang menyatu, sedangkan di pihak lain terdapat sembahan lugas – maka kita menjelmakan lintangjiwa. Dalam harungan pangestu yang tergamblang, anak manusia menjadi intaiannya. Maka serasa melayap-layap di tengah impian yang berkabut, manakala kita bergerak sebagai pemandu suasana. Ibaratnya tambah dewasanya satu-dayungan, maka tambah dewasalah dayungan lain yang menunggu. Kita merasa ada beban yang tanggal dari tubuh ini.

Harungan yang mengebat kehidupan telah menukas, hingga ke satu titik terkecil. Dengan sikap tinarbuka, sebenarnya manusia merupakan suatu sasaran, sedangkan peri-hayat-insani sebagai permasalahan, tetaplah merupakan rincian. Tiada yang dapat diperkirakan dari penghayatan yang sifatnya pendahuluan – sedangkan pada titik akhir kelak, kearifan mencuat tinggi. Kita, saudaraku yang teguh-hati, marilah kita menunggu babak-babak yang diarah-hadapkan. Siapa tahu, ada yang mekar-mengembang di baliknya!

Rekanita Wijayanti!
Sembari berpegang pada titiwanci yang mengupas belah-belahan hasrat terpendam, marilah kita menjenguk ke dalam sanubari yang masih putih. Adakah yang terlintas pada lazuardi menggelanggang semesta – di mana mungkin terdapat bisikan firdausi, untukku, untukmu, untuk kita? Suara-suara sakti yang melanggengkan ke-wigati-an seorang penabur, sebenarnya bakal dihadapkan pada kidung-kandung, sementara bidang kita berdiri bertambah gagah. Suara sakti terngiang dari kepompong-kepompong yang melingkari bukit hati.

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Leave a Reply

Bahasa »