Hudan Hidayat
Adalah roh yang membutuhkan ruang, yakni ruang tubuh dan ruang bahasa. Tanpa roh, ruang tubuh dan ruang bahasa hanyalah benda mati. Pada tubuh, benda mati itu mungkin berupa kaki atau tangan yang terpotong, atau tangan dan kaki yang lengkap, sebagai bagian dari tubuh. Pada bahasa, ia adalah bentuk grafis dari huruf.
“Benda mati” sebagai unit terkecil dari bahasa, seperti kaki atau tangan yang terpotong,adalah bagian dari kenyataan yang terserak. Maka sebagai benda mati, mereka tidak bisa mengenali kenyataan, apalagi memainkan kenyataan. Mereka bisa mengolah kenyataan,apabila mereka hidup, memiliki tenaga, dan kekuatan. Seperti pusaran air yang mengisap.
Tenaga bahasa adalah kesadaran, yang seolah arus listrik dengan kabel-kabel yang menjuntai,di mana pikiran dan perasaan, gagasan dan harapan, berada di dalamnya. Kesadaran adalah pancaran roh yang tak mau lepas dari Tuhannya. Juga tak mau lepas dari semesta. Pada dunia, kesadaran itu seolah kasmaran, seakan pemuda yang tak mau lepas dari cintanya. Kesadaran sebagai tenaga bahasa, bertemu dengan misteri bahasa sebagai kemungkinan bahasa. Mereka bersama menyingkap dunia, dunia kenyataan. Dengannya kenyataan ditimang, atau dicampakkan. Dengannya kenyataan diberi bentuk. Seolah jabang bayi dalam perut ibu.
Misteri bahasa tak akan menjadi tenaga bahasa, tanpa manusia yang menyadari. Secanggih apa pun permainan bahasa-bentuk dan cara menyusun huruf, ia akan tetap menjadi parade benda mati, tanpa kesadaran. Kesadaranlah yang mengenali dan mengolah kenyataan. Ia seperti matahari yang menyiram bumi. Bumi yang terkena matahari itu, hidup dan berkembang, merangkai dirinya, menjelmakan makna dirinya. Dengan jalan begitulah manusia membangun dunia, dunia yang direngkuhnya dari kenyataan, yang mencengangkannya sebagai mahluk di bumi.
Kenyataan semesta adalah rangkaian benda-benda yang terserak di alam. Seperti pecahan batu yang jatuh dari tubuhnya. Atau sepotong ranting yang terenggut dari batangnya. Fragmentasi dua benda alam ini,hanyalah seonggok benda mati? keindahan dan fungsinya ada dalam kelengkapan tubuh batu dan tubuh batangnya. Atau seperti tangan dan kaki manusia yang terputus dari tubuhnya. Mereka tidak berjiwa, tidak hidup, karena jiwa dan kehidupannya ada di dalam tubuh induknya. Mereka cuma fragmen di alam, seperti kuku burung yang jatuh dan mengering. Keindahan kuku burung ini ada dalam keutuhan burung itu sendiri. Kuku itu akan menjadi hidup saat ia ada dalam tubuh burung.
Begitulah saya menghayati tampilan dari huruf-huruf. Huruf-huruf yang kita pandang. Huruf-huruf yang memandang. Grafis a, b, c, dan seterusnya, adalah benda mati seperti fragmen alam adalah benda mati. Mereka belum berjiwa, belum hidup, dan tak dapat mengenali, dan mengolah kenyataan. Mereka belum berkesadaran. Maka apakah bahasa? Bahasa adalah huruf-huruf yang dijatuhi, huruf-huruf yang merangkai kesadaran. Rangkaian huruf inilah yang menjelmakan misteri? misteri bahasa. Misteri bahasa datang dari kesadaran, dari rangkaian, dari permainan dan kemungkinan huruf-huruf.
Seperti roh yang terperangkap dalam tubuhnya, begitulah manusia terperangkap dalam semesta. Atau seperti kesadaran terperangkap dalam kata-kata. Mereka yang terperangkap ini ingin melepaskan diri, tapi bukan untuk melarikan diri. Mereka ingin menjangkau dan mengenali, siapakah gerangan yang membuat mereka terkurung? tak bisa lepas.
Murung, putus asa, sesekali harapan, adalah ciri dari mereka yang terperangkap. Tapi tidak menyerah dan kalah. Upaya “perlawanan” dilakukan dengan membuat symbol? juga metafor, untuk menjangkau keluar dari dirinya, atau masuk ke dalam dirinya. Gerak dari roh yang gelisah ini, membutuhkan ruang, yaitu bahasa. Maka bahasa pun bergerak. Ia mengerahkan huruf-hurufnya, demi melayani gelisahnya kesadaran, atau hasrat kesadaran untuk mengangkat dirinya, merebut makna dunia yang tak dikenalinya, atau coba dikenalinya.
Karena itu tiang dan akhir, topang dan duka, belum membentuk makna apa-apa, belum memisteri apa-apa, saat ia kita baca sebagai fragmen. Apalagi kalau kumpulan kata-kata itu dipotong dan potongannya dipisahkan. Maka ia hanya grafis huruf. Belum dapat memancing kesadaran pembaca, karena memang belum diberi kesadaran oleh penulisnya. Tetapi saat penulisnya bergerak, merangkai kata-kata itu, ke dalam penghayatannya akan kenyataan alam, maka menjelmalah semua kata-kata itu, membentuk dunia kenyataan.
Dalam puisi Sutardji (Colonnes Sans Fin), dunia kenyataan yang kita kenali seolah “tiang tanpa akhir”. Si aku-lirik berhadapan dengan keluasan semesta tanpa batas. Kepada siapa dia bertanya, makna keluasan semesta? Tak seorang pun yang dapat dijadikan rujukan. Sebab tak ada yang dapat menjelaskan misteri semesta.
Indera manusia, hanya dapat menjangkau sejauh indera itu sendiri. Tapi “mengapa dunia”, “kemanakah kau dan aku”, dalam keluasan semesta itu, tak seorang pun yang tahu. Karena itu, “tiang tanpa topang itu”, seolah telah menjadi “tanda duka luka”-nya. Ia berduka, karena dalam keluasan semesta ia tak mengerti.
Menyadari itu, si aku-lirik pun bergumam, “betapa kecilnya kau jauh di bawah kakiku”. Inilah dunia kenyataan yang bukan saja berhasil menguak misteri semesta, tapi juga memunculkan misteri bahasa. Sebab bahasa di sana telah memberi tenaga untuk merengkuh semesta, terpukau dengan semesta.Ia telah membuat kehidupannya sendiri, logikanya sendiri. Dari huruf-huruf “mati”, tiba-tiba ia bergerak, hidup, merangkai, dan akhirnya mengandung semesta dalam dirinya. Tiang, akhir, sebagai kata (kenyataan) yang kita kenal, adalah biasa, tak bertenaga, tak bermisteri. Tetapi begitu “tiang” itu digabung dengan “akhir”, lalu ditambahkan kata “tanpa”, maka menjelmalah keluasan tanpa batas itu (tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya). (Oh indahnya!).
Maka misteri bahasa, datang dari bagaimana kata-kata itu saling merangkai, saling bermain. Sebaliknya, semesta itu akan buyar, dan membuyar, bila rangkaian huruf-huruf tadi dipenggal, dan diceraikan dari tubuhnya? tubuh bahasa. Misterinya pun akan berantakan. Ia kembali menjadi benda mati? jejeran grafis dari huruf-huruf.
Bila puisi Sutardji itu diarahkan pada semesta dalam ke-luas-annya, maka puisi Amir Hamzah mencoba merengkuh Tuhan dalam ke-tiada-an-Nya. Bila Sutardji memakai metafor “tiang” yang melambangkan keluasan alam, maka Amir Hamzah memakai metafor “makhluk yang bercakar”, yang dapat “cemburu dan ganas”, melambangkan Tuhannya. Tuhan yang telah “memangsanya”, yang membuat “segala cintanya hilang terbang”, kecuali pada Tuhan itu sendiri. Situasi aku-lirik dengan Tuhannya, dalam puisi Padamu Jua ini, seolah sepasang kekasih di mana seorang mencinta sungguh, sedang lainnya seolah acuh. Karena itu si aku-lirik menjadi “nanar, gila sasar”. Tapi ia terus berusaha merengkuh Tuhannya. Ia terus “bertukar tangkap dengan lepas” (Oh, misterinya!).
Demikianlah kesadaran mencari bahasa, dan misteri bahasa mencari kata-kata. Kesadaran yang ingin mengenali dan mengolah alam. Bahasa yang ingin mengenali dan mengolah makna. Mereka ingin menumpahkan diri. Diri yang tumpah itu, adalah diri yang terbuka di hadapanmu. Kau tinggal memetiknya. Memungutnya dengan kesadaran, serta misteri bahasa dalam dirimu.
***