Bernando J. Sujibto *
“Jika Tuan Kennedy tidak senang sosialisme, kami juga tidak senang dengan imprealisme, dengan kapitalisme!” (Fidel Castro, 1961)
Akhir-akhir ini saya tiba-tiba merindukan sosok macam Castro. Entah kenapa kerinduan kepada sosok yang satu ini begitu garang, terutama di tengah kondisi sosial-ekonomi bangsa dan negara kita yang semakin ’lancip’ ini. Saya selalu berpikir bagaimana kalau orang sekuat dan segigih dia dalam ’berjihad’ demi rakyatnya ada di Indonesia. Jelas ceritanya akan berbeda. Sosok macam dia yang rela menggadaikan darahnya demi masa depan negara dan bangsanya adalah suatu cita-cita yang ’tidak ada’ lagi di tanah air ini. Mengingat sosok Castro sekaligus saya membayangkan banyak hal tentang ’kecelakaan’ yang terjadi di seantero dunia. Kecelakaan yang saya maksud di sini adalah rentetan tragedi kemiskinan yang begitu kronis mendera Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya.
Namanya kecelakaan, bisa saja oleh faktor alam (natural) atau faktor rekayasa manusia sendiri. Namun bagi saya, dunia telah melakukan kecelakaan dengan skenario yang dilakukan negara super power dengan mengeksploitasi kekayaan negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kekayaan negara-negara tersebut disedot dan diboyong ke benua Eropa atas dalih kolonialisme dan imprealisme. Maka terbitlah kemiskinan di negara-negara tesebut, apalagi setelah bentuk-bentuk imprealisme semakin halus (softer) terus menyusup di tengah sistem kehidupan kita.
Di tengah kondisi seperti saya benar-benar merindukan Castro, dengan cerutu dan lintingan rokoknya yang sebesar lengan bayi seumur 2 bulan, menatap yakin, lalu berteriak, dan takutlah dunia! Benar-benar dahsyat.
Fidel Alejandro Castro Ruz (81), atau yang lebih dikenal dengan nama Fidel Castro, memang telah mengakhiri karir politiknya sebagai kepala negara di Kuba pada 19/2/2008 kemarin. Sikap mundur dari kursi kepresidenan yang diambil Castro mematahkan pernyataan ekstrem bahwa dirinya akan menjadi “presiden seumur hidup” yang sempat dikoarkan semasa awal menjabat sebagai presiden Kuba pada awal tahun 1959.
Namun demikian, khususnya bagi rakyat Kuba, sosok Castro tetap menjadi super hero yang terus dielu-elukan sepanjang masa dan telah menjadi ikon perlawanan bagi mereka. Kemerdekaan dan kesejahteraan yang dibangun Castro adalah kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat yang diraih secara bersama-sama. Kelekatan Castro dengan rakyat kecil inilah yang menjadikan posisinya tetap mendapat ruang di hati rakyat Kuba hingga sekarang. Jika rakyat ditanya siapa tokoh paling tangguh dalam sejarah Kuba, jawaban mereka pasti Fidel Castro, Che Guevara dan Raul Castro yang ketiganya ikut terlibat dalam pembebasan Kuba dari rezim boneka bentukan Amerika.
Castro memang sangat kontroversial ketika disorot dalam konteks kemanusiaan dan hak asasi. Ribuan orang yang berseberangan secara politik dengan Castro dihadiahi ekskusi dan penjara 30 tahun atau seumur hidup. Bagi Castro, sebagai pemimpin revolusioner, tidak ada negosiasi ketika dihadapkan dengan politik populisnya. Kebijakan-kebijakan tunggal pun mulai dibangun dengan membatasi hak kepemilikan individu, seperti tanah dan perkebunan karena ada sebagian rakyat yang tidak mempunyai tanah.
Namun begitu, bukan berarti dia mau ’memakan’ habis (seperti terjadi di pemerintahan kita?) kekayaan negaranya. Satu alasan mendasar Castro melakukan semua itu adalah hanya demi kesejahteraan rakyatnya. Castro bercita-cita ingin menciptakan masyarakat sejahtera (welfare society) di Kuba.
Bersamaan dengan represi di bidang politik, Castro merombak total undang-undang Kuba agar lebih sesuai dengan orientasi populisnya. Upaya-upaya menasionalisasikan aset-aset personal dan aset asing, sebagai ciri khas sosialisme komunis, digarap secara serentak dengan jajaran Perdana Menteri yang mendampingi nahkoda pemerintahan Castro. Sasaran utama adalah United Fruit Company, sebuah perusahaan perkebunan buah-buahan yang sahamnya dimiliki mayoritas pejabat tinggi AS yang disita oleh Castro dan dijadikan aset nasional dan dicanangkan sebagai tanah negara sebagai kompensasi bagi rakyat miskin yang tidak mempunyai tanah.
Sesaat setelah berkuasa, kebijakan kontroversial pun semakin buta dilakukan Castro. Ia berani mengekskusi 550 orang pengikut Batista. Ia menahan lebih dari 40 menteri kabinet Batista dengan tuduhan menjadi ’agen CIA’. Lebih dari 5000 orang dikirim ke pengadilan revolusi dan di sana dikutuk sebelum menghadapi regu tembak. Castro merasa perlu membentegi kekuasaan yang telah ada dalam gengamannya. Untuk melakukan pembersihan politik, Castro memenjarakan semua orang yang menentangnya. Seperti halnya Batista ia juga membatalkan seluruh pemilihan umum dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Gerakan populis Castro yang represif dalam melindungi kekuasaannya, tidak boleh tidak, merujuk kepada paham ala Soviet sosialisme komunis seperti yang di akuinya sendiri di masa selanjutnya dengan berkata lantang bahwa dirinya adalah pengikut tulen Marxis-Leninis pada 1 Desember 1961.
Tentu saja pihak Uni Soviet menyambut baik langkah Castro dan semua jajaran pemerintahannya yang mulai memasukkan paham sosialisme komunis sebagai ideologi tunggal negaranya. Soviet pun mulai menyediakan bantuan semua fasilitas baik ekonomi, militer, maupun kebutuhan-kebutuhan negara lainnya. Pada saat itu pula Amerika semakin menekan Castro dengan ancaman embargo dan serangan militer besar-besaran ke Kuba. Namun Castro tetap tenang menghadapi semua itu karena dia telah behasil membujuk Soviet sebagai mitra tunggalnya yang sama-sama satu ideologi.
Langkah ideologis yang ditempuh Castro tak ayal mengundang nyiut pihak Amerika terutama presiden AS Khruschev karena pada waktu itu, sekitar tahun 1962, tanda-tanda perang dingin mulai terlihat yang menghadapkan Amerika dengan Uni Soviet. Sementara posisi kunci yang memegang kendali di ambang perang nuklir itu adalah Castro karena peralatan persenjataan canggih Soviet sebagian besar sudah mangkal di Kuba—mengancam Amerika dari dalam.
Di tengah masa pemerintahannya Castro telah mengilhami tokoh-tokoh penting seperti presiden Hugo Chaves, Ravael Correa, Evo Morales. Mereka adalah tokoh-tokoh yang secara tegas menentang imperialisme dan dominasi Amerika dengan segala bentuknya. Mereka menjadi untikan spirit bagi Castro yang memantapkan posisinya di tengah ketegangan dengan AS. Di tengah kondisi saling tuding itu, AS di bawah isyarat presiden Kennedy tidak sabar mengambil langkah meliter dengan penyerangan di Tuluk Babi pada tanggal 17 April 1963. Namun serbuan itu menghasilkan kegagalan yang memalukan pihak AS. Ratusan tawanan perang prajurit AS kemudian ditukar Castro dengan dengan barang-barang yang dibutuhkan.
Bersama Presiden Soekarno, Presiden Yogoslavia Joseph Bros Tito, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Castro juga telah mendirikan sebuah gerakan Non-Blok pada tahun 1955, sebuah upaya berani menentang hegemoni Barat dan Timur. Di masa-masa inilah dunia ketiga, termasuk Indonesia, mulai diperhitungkan oleh Barat.
Riwayat Castro melawan imperialisme khususnya Amerika telah menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara dunia ketiga yang dijadikan boneka di balik kepentingan kapitalisme Amerika dan Eropa. Dengan langkah populisnya itu, Castro bisa membawa rakyat Kuba semakin yakin menatap masa depannya dengan membangun sektor pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyat. Pelan-pelan rakyat Kuba pun bisa bebas dari kebodohan dan kemiskinan.
Kini, setelah Castro mulai uzur dan tidak bisa berteriak sekeras dulu, imprealisme global dengan segala bentuk terbarunya akan mengancam negara-negara lemah di dunia ketiga. Namun, kita masih berharap semoga ada suara baru yang bisa menyeimbangi kekuatan Amerika dan Barat yang lahir dari generasi muda setelah Che Guevara, Castro, Raul, Chaves dan Morales.
Seiring uzurnya sosok Castro saya jadi khawatir akan masa depan dunia ini tanpa ada penyeimbang yang ’berdarah besi’ sekelas dia. Akankah imprealisme, kapitalisme dan liberalisme berhenti?
Catatan saya… kita haram jadi penonton!
***
*) Bernando J. Sujibto lahir di Sumenep, 24 Februari 1986. Menulis puisi, esai, cerpen, artikel dan resensi di berbagai media massa lokal dan nasional. Karya-karyanya dapat ditemukan dalam beberapa antologi bersama. Aktif di sejumlah komunitas seperti Komunitas Kutub dan Teater ESKA UIN Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi sarjananya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Selcuk, Turki. Saat ini ia tercatat sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: Aku Mendengarmu, Istanbul (Diva Press, 2018), Harun Yahya Undercover (Ircisod, 2018), Turki Yang Tak Kalian Kenal! (Ircisos, 2017), Seribu Warna Turkiye (Ircisod, 2018), dan Rumbalara Perjalanan: Kumpulan Puisi (Diva Press, 2017).