Cerita Tentang Kebohongan yang Tak Terungkap

Dian Hartati*

Menyaksikan kecantikan purnama di tengah kota bersama beribu-ribu orang tak dikenal merupakan peristiwa langka. Saat ini tubuhku sedang dihantui perasaan gelisah yang membadai. Kedukaan yang aku terima terus-menerus menimpa diriku. Setelah kepergian Wuri untuk selama-lamanya, disusul dengan kepulangan Ayah menuju dunia abadi.

Padanya kutemukan kecantikan yang begitu memesona. Dirautnya selalu kutemukan senja yang memerah purba. Ada bayangan ibu dalam tubuh yang senantiasa dapat aku peluk sepanjang malam (ibu yang tak pernah singgah di kehidupanku). Kisah yang mengantarkan aku pada kenangan masa kecil. Permainan petak umpet yang selalu membuat aku tertidur dalam persembunyian, lalu bermimpi bertemu dengan nenek yang entah aku lupa wajahnya kini.

Selalu letupan amarah mereda ketika aku memandang syahdu wajahnya. Matanya selalu mengantarkan aku pada cakrawala dunia yang maha luas. Hidungnya dapat menggiring seluruh ragaku menemui jejak-jejak petilasan yang telah ditinggalkan kakek saat menyisir hutan dalam perjuangannya. Bibirnya selalu mengundang aku menghilangkan dahaga, asa kehidupan yang selalu membuatku bermuram durja.

Kecantikan yang begitu jemawa hingga menjadikannya kekasihku. Melupakan semua beban hidup dan selalu menaruh harapan pada sosoknya. Bersamanya seringkali kudapati peluang hidup yang lebih baik. Kata bijak yang selalu diutarakan padaku memberi harapan baru. Hidup selalu memilih perjuangan untuk tetap ada, begitu katanya ketika aku tidak dapat berpikir realistis menghadapi lingkungan sekitarku. Namun ­­__entah mengapa­­__ rasa kecewa selalu menemani langkahku.

Aku merindukan kedatangan Wuri malam ini. Entah, aku tak pernah tahu mengapa rasa rindu itu tiba-tiba datang, membadai, bergulung-gulung dan memecah keheningan malam. Rindu yang menempati ruang-ruang istimewa dalam hatiku. Rindu yang tak dapat ditawarkan oleh apapun termasuk cinta. Kerinduan yang misterius.

Kini hanya pekat malam yang menemani tubuh tawarku. Ada semacam firasat Wuri akan datang dan kemudian singgah, tidak untuk sementara. Dingin yang kemudian teraba oleh kulit yang terbungkus jaket. Perjalanan rinduku baru saja dimulai.

Waktu telah menyeret aku pada bentangan luas yang tak pernah kuduga. Bayang-bayang masa lalu begitu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi diriku yang ingin keluar dari kenangan buruk. Kenangan yang dipecutkan waktu, lalu melukai sudut hatiku. Telah banyak kebohongan yang aku terima dari sebuah kecintaan. Kebohongan yang kemudian memunculkan dendam dalam hatiku dan terus terang aku ingin membalas semua rasa sakit ini.

Pada waktunya kelak akan aku bangun sebuah tempat yang di dalamnya terdapat sebuah ruangan yang dapat menawarkan berbagai rasa. Simpati, kesukaan, cinta, kesedihan, rindu, kelengangan, kesumat, bahkan dendam pun akan lebur dalam ruangan itu.

Sejak awal perkenalan, ternyata Wuri telah memberikan banyak kebohongan, lalu dengan sempurna mulai mengoyak-ngoyakkan hati yang tak pernah terluka sekalipun. Dan aku tidak pernah tahu bahwa aku telah ditipu oleh perasaan yang begitu aku nikmati.

Hubungan ini memang tak dapat terdefinisikan. Hanya ada kisah yang samar namun selalu berkembang meramaikan taman-taman hati. Merekahkan jiwa yang dibalut ketiadaan. Sebuah asmara selalu merindukan pertemuan.

Akhirnya kami bertemu di sebuah senja yang muram. Langit saat itu tidak memberikan cerahnya, padahal ini adalah pertemuan pertama kami. Jalanan begitu lengang seolah memberikan kesempatan untuk saling menerka siapa orang yang akan ditemui. Waktupun menjadi tak bersahabat karena aku bosan menunggu.

Aku melihat kedatangan Wuri, dan aku tak pernah tahu mengapa hatiku mengatakan orang yang datang itu adalah kamu, padahal aku kamu tidak pernah bertemu sebelumnya. Kamu dengan rambut panjang yang tak begitu rapi, postur tubuh yang sempat aku bayangkan, kini tergambar jelas.

Kamu datang jauh-jauh dari luar kota hanya untuk sebuah pertemuan yang tak pernah direncanakan. Pertemuan yang hanya tercipta karena takdir yang telah menggariskan semua ini. Kami saling berjabat erat tanpa menyebutkan nama masing-masing. Ada gurat kegelisahan yang kamu bawa dari kota lahirmu.

Senja muram kami lewati bersama, berjalan beriringan tanpa banyak bercerita. Aku tahu kami sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Menerka-nerka tanpa mau bertanya. Entah apa yang ada dipikiranmu, yang pasti sosok kita tidak kabur setelah pertemuan itu.

Senja begitu saja meninggalkan hari tanpa kesan. Malam yang masih muda mengharuskan aku mengajakmu ke sebuah rumah makan. Setelah perjalanan jauh kamu pasti ingin beristirahat dan membuang lelahmu bukan?

Aku memilih tempat di pojokan. Kami duduk saling bersisian, tidak berhadapan. Menentukan pilihan menu yang ada, ternyata kesukaan kami berbeda. Aroma tubuhmu dapat aku rasakan, kamu menyimpan sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Tentang hati yang diliput kerinduan akan seseorang.

Kami menikmati apa yang tersaji di meja. Kamu mulai menceritakan keluargamu. Aku tidak habis pikir mengapa ibu yang kamu ceritakan padaku. Ibu yang selalu mengelus-elus rambutmu saat kamu tidur kemudian meninggalkan kecupan kasih sayang di dahimu. Ibu yang kemudian selalu mendoakan kamu, ibu yang selalu kamu rindukan. Lalu kamu memintaku menceritakan perihal ibu. Aku tidak mau, tapi kamu memaksa. Akhirnya aku bercerita tentang sosok ibu yang jauh dari kehidupanku.

“Kamu tahu, aku tidak pernah merindukan kehadiran seorang ibu. Bagiku ibu hanyalah perantara Tuhan untuk menghadirkan aku ke dunia ini. Dulu aku pernah menginginkan sosoknya, namun semua itu hilang seketika. Bagiku ibu bukan siapa-siapa, sekarang ataupun nanti aku tidak akan pernah bermimpi bertemu dengan orang bernama ibu.”

Kamu kaget mendengar penjelasanku. Tapi tidak berusaha menyadarkan aku. Dan terima kasih tidak membicarakan masalah itu lagi. Kamu cukup mengerti dengan keadaanku saat itu. Lalu pembicaraan kita beralih pada hal seputar kota lahirmu. Yang masih ramai saat tengah malam.

Seperti sekarang, saat di mana aku merasakan keriuhan malam dengan purnama yang hiasi angkasa. Kesendirianku saat ini melambungkan berbagai pikiran, bagaimana kehidupanku nanti setelah kepergian ayah. Aku terbiasa hidup berdua dengan ayah, tapi sekarang tidak ada lagi orang yang dapat melumerkan semua gelisahku. Malam larut menghempaskan kembali kerinduanku pada ayah dan Wuri.

Aku meninggalkan tempat yang masih ramai ini, berjalan menuju utara entah kemana. Jalanan lengang tidak menerbitkan takut di kota kelahiran Wuri. Setelah kepergian Wuri, aku begitu ingin mendatangi kota lahirnya. Mencari sisa-sisa kenangan dalam batin Wuri yang tertinggal di hatiku.

Semakin ke utara yang kutemui hanyalah deretan cemara. Purnama tak terlihat tertutup ranting-ranting yang saling bercengkrama. Deru angin menggigilkan kulit membuat aku lebih merapatkan jaket yang aku kenakan. Bayangan Wuri semakin lekat dan tak dapat aku lepaskan dalam ingatanku.

Akhirnya aku sampai pada sebuah gerbang kokoh. Setelah masuk aku jumpai deretan-deretan nisan putih bertahtakan salib. Aku tak dapat mengendalikan langkahku, ada sebuah kekuatan yang dapat menggerakkan kaki-kakiku. Langkah semakin cepat tak dapat aku kendalikan. Deretan cemara semakin merimbun, gemerisik angin mengantarkan aku pada blok-blok makam yang teratur.

Kegelapan yang menghampar seperti menuntunku pada sebuah pusara. Ada Mawar putih tertancap di sana. Tepat di tiang salib yang dapat oleng jika angin kencang datang. Aku terpaku membaca nama di hadapanku. RIP. Wuri Wulandari. 13 Mei 1981-13 Mei 2003. Kutemukan pusara kekasihku setelah setahun lebih aku mencarinya. Kegelapan begitu saja menghalangi pandanganku tapi aku dapat melihat dengan jelas makam yang tidak terawat namun selalu dikunjungi. Mawar putih itu buktinya.

Aku rasakan kerinduan yang membadai itu mereda. Mungkin ini tempat singgah terakhirku di kota lahir Wuri. Kota yang menenggelamkan aku pada kedukaan panjang untuk seorang perempuan yang aku cintai dan telah memberikan aku sebuah kebohongan yang manis.

“Datanglah ke kotaku dengan segenggam Sedap Malam.”
“Sedap Malam?”
“Ya, Sedap Malam. Kamu tahu aku menyukai bunga itu. Bunga yang selalu melumerkan kerinduanku pada kehadiran ibu. Kamu kangen pada ibumu?”
“Tidak. Eh, ya…”
“Aku tunggu kehadiranmu.”

Percakapan terputus begitu saja, menggantungkan pertanyaan dalam benakku. Mengapa harus Sedap Malam dan bukan bunga lain. Kini di hadapanku Mawar putih tertancap di pusara Wuri. Siapakah yang selalu datang kemari? Dan kebohongan apalagi yang ditinggalkan Wuri setelah satu tahun kematiannya.

Setelah menghaturkan serangkaian doa aku meninggalkan makam Wuri dan keluar dari kompleks pemakaman yang diliput kegelapan. Rasa gamang menyertai langkahku. Mungkinkah Wuri melihat kepergianku? Yang pasti kedatanganku ke kota ini telah mengukuhkan sebuah kecintaan terhadap seorang perempuan yang tidak dapat aku ungkap tabir misterinya.

Esoknya, sebelum kembali menuju kota asal, aku kembali ke pemakaman. Suasananya tak jauh berbeda dengan malam hari. Mawar putih itu telah layu tersengat matahari.

“Wuri aku datang memenuhi keinginanmu. Mendatangi kota lahir dan membawa segenggam Sedap Malam untukmu.” Aku letakkan buket Sedap Malam di pusara Wuri yang kering. Lalu bergegas meninggalkan tanah merah itu diiringi hembusan angin yang mengantarkan aroma Sedap Malam.

Kehidupanku dibangun oleh kebohongan yang dibentuk orang-orang sekitarku. Keluargaku, teman, sahabat, bahkan kekasihku sendiri. Hingga aku merasakan sulitnya bernapas menjalani kehidupan tanpa sesiapa. Semoga aku tidak menemukan kebohongan-kebohongan baru dalam kehidupanku selanjutnya. Semoga saja.

Dimuat di Tabloid Cempaka, Edisi 15-21 Februari 2007

Leave a Reply

Bahasa »