Divide et Impera

Dian Hartati*

Guncangan menggetarkan bumi yang kupijak. Dengan langkah bergegas aku kembali menatap jalanan yang gelap. Langit malam tak memberiku cahaya penerang, yang ada hanya gemuruh langkah-langkah bergegas menuju Selatan. Entah sudah berapa lama aku melangkah mengikuti kelok jalan dalam kelam malam. Gemerisik pepohonan mengantarkan kidung lengang tentang pertiwi yang disakiti.

“Buummm…!” Lagi-lagi suara ledakan entah yang keberapa, kali ini lebih dasyat. Mungkin letaknya berdekatan dengan tempat beradaku. Pijakanku semakin renggang saja menapaki bumi. Sebenarnya ingin sekali aku berada dengan para pengungsi secepatnya. Kerabat dan handai tolan, pertalian keluarga yang diikat oleh kecintaan pada bumi Pasundan. Aku kerahkan seluruh sisa tenaga, bungkusan di punggung kurekatkan sekencang mungkin. Secepatnya aku menggabungkan diri dengan mereka semua.

Setelah menemani ibuku yang mulai sakit-sakitan karena usia, aku menghibur diri bertandang ke rumah kawan yang tak begitu jauh. Hanya beberapa rumah jaraknya. Namun kawanku tak ada, dia sedang membantu ayahnya yang seorang azacho.

“Pak… Pak, kenapa sepi begini?” aku bertanya pada seorang lelaki tua di seberang jalan yang sedang sibuk sampai-sampai tak memperhatikan aku.
“Pergi, ada tugas dari atasan.”
“Atasan yang mana? Memangnya ada tugas apa?”
“Ujang tidak mendengar pengumuman di radio?”
“Pengumuman apa?”
“Kita semua disuruh ngungsi. Katanya mau dibakar apa gitu namanya, e… bumi hangus.”
“Bumi hangus?”
“Sekarang Ujang pulang saja, siap-siap ngungsi.”

Aku masih belum mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Aku memang pemuda yang tidak pernah mengetahui peristiwa apa pun. Yang aku tahu hanyalah negeraku telah merdeka dan masih juga belum berhenti berperang. Hari ini aku dibingungkan dengan perkataan bapak itu. Lelaki tua itu sepertinya tidak memperhatikan aku karena sibuknya. Akupun bergegas pulang ke rumah.

Aku pandangi ibu yang masih tertidur, tanpa membuat gaduh aku mengumpulkan barang-barang yang akan kubawa mengungsi. Hanya kata itu saja yang aku mengerti: mengungsi, entah kemana.

“Ujang mau kemana? Sibuk sekali?” aku melihat ibuku yang telah duduk di pembaringan. Badannya yang telah ringkih membuat aku khawatir mengutarakan keharusan mengungsi.
“Bu, kita harus mengungsi.” dengan ragu aku ucapkan kalimat itu
“Mengungsi?”
“Ya Bu, mengungsi.”
“Ibu tidak kuat, kamu tahu ibu sedang sakit. Kamu saja yang pergi. Ibu doakan kamu selamat. Pergilah, jalanmu masih panjang.”
“Tapi Bu, Ibu harus ikut, kita harus bersama-sama.”
“Pergilah sendiri, ibu akan baik-baik saja.”
Aku tak dapat memaksakan kehendak ibu. Aku tahu bagaimana tabiat ibu, kasih sayangnya, juga doanya. Akhirnya dengan berat hati aku pergi dengan membawa bungkusan kecil yang hanya berisi baju-baju. Tak ada makanan yang aku bawa. Tak ada apapun yang dapat aku ambil di rumah.

Begitulah, akhirnya aku meninggalkan rumah setelah ashar. Setelah berpamitan pada ibu yang dengan khusuk meniup ubun-ubunku dengan doa-doa. Tak ada air mata. Hanya ada keberanian yang tiba-tiba datang membumbung memenuhi hati.

Langkahku semakin mendekati mereka. Wajah-wajah gelisah tanpa tahu tujuan selanjutnya. Yang pasti mereka sama denganku, mengikuti arus pengungsian menuju Selatan. Berjalan membawa harapan kecil bagi kota lahir yang tak mau dikuasai penjajah. Ledakan demi ledakan menyusul, jalanan tak lagi gelap. Kobaran api menyala di mana-mana. Beberapa pemuda melemparkan bom molotov menciptakan percikkan api di sana-sini.

“Bakar! Bakar! Bakar!” seseorang berteriak sambil melemparkan granat dan bom molotov. Tentu saja aku hanya melihat tanpa bisa berbuat apapun. Tanpa aku duga seseorang memberikan benda yang tak pernah aku pegang sebelumnya.
“Lemparkan! Bakar! Bakar semua tanpa sisa!” Aku kaget dan menggeleng.
“Tidak!”
“Ayo, ledakkan! Pertahankan Pasundan!” orang itu bergegas sambil melemparkan beberapa bom dan meninggalkan aku yang bingung. Benda yang tadi dilemparkan orang itu menyisakan keberanian dalam kakagetanku. Aku tertinggal di belakang tidak lagi berada di arus pengungsian. Aku menyusul ketertinggalan, berusaha berlari dalam hangat udara. Berlari menuju Selatan, itu yang ada di pikiranku. Ragaku telah mati, lelah tak lagi kurasa. Tiba-tiba kekuatan hadir dalam diriku. Menggerakkan tangan yang kaku melemparkan granat dalam sekali upaya. Meledaklah sebuah rumah bata dan menyisakan guncangan.

Aku berlari, kali ini benda lain yang aku lemparkan. Nyala api membumbung membakar sebuah rumah lapuk. Aku tak lagi berpikiran tentang takut, yang ada hanya pembelaan terhadap lemah cai. Lari dan lari dalam keterengahan, aku melemparkan beberapa benda yang tersisa di tanganku. Semuanya menciptakan kobaran yang membumbung di langit kelam yang kini menjadi magenta.

Aku kira bukan aku saja yang melakukan hal serupa. Pembakaran dilakukan semua pemuda, semua pejuang, dan dengan apa saja. Yang pasti aku telah mengerti bumi hangus dan aku melakukannya. Setelah tak ada lagi yang harus kulemparkan aku menggabungkan diri dengan arus pengungsian. Langkah yang bergegas tanpa memerdulikan jerit tangis anak-anak yang ketakutan.

Malam semakin larut, dentuman, ledakan terjadi di mana-mana. Langit makin merah. Lewat tengah malam masih terdengar ledakan susulan. Wajah-wajah para pengungsi yang menyiratkan kemarahan, kesedihan, juga kebanggaan. Sesaat menatap langit Pasundan, asap mengepul menjadi tirai alam, tanah porak-poranda, harapan yang mati. Lebih dari dari lima jam Pasundan terpanggang. Tanah-tanah yang matang meninggalkan sebuah pertanyaan kecil, apa aku dapat kembali menemui Ibu.

“Ujang, sendiri saja? Tidak sama keluarga?”
“Tidak Pak. Saya sendiri, saya meninggalkan Ibu di Pasundan.”
“Kenapa ditinggalkan?”
“Ibu saya sakit, sewaktu mau mengungsi Ibu tidak mau turut serta. Jadinya saya pergi sendiri.”
“Bagaimana ya kondisi Pasundan saat ini, setelah pembakaran di mana-mana? Berdoa saja semoga ibumu dalam keadaan baik-baik saja.”
“Ya, saya hanya bisa berdoa, tak lebih.”

Aku lihat bapak itu berjalan menuju keluarganya. Syukurlah masih ada yang selamat setelah peristiwa pembakaran masal ini. Masih ada yang patut disyukuri, serupa kemerdekaan bagi daerah sendiri agar tak dikuasai penjajah. Sebuah kebanggaan mempertahankan harga diri. Sebuah identitas kewilayahan yang masih dimiliki walaupun harus ada yang berkorban. Gelimpangan raga berkalang tanah kutemui sesaat sebelum kobaran api membesar lalu padam secara diam-diam. Percikkan api bagai lelatu membawa ingatan masa kecil.

Aku yang selalu takut tak pernah menduga dapat membakar beberapa bangunan. Suasana yang tak pernah kubayangkan ini akan selalu melekat dalam benakku. Bahkan dalam perjalanan pulangku nanti menemui ibu yang kini tak kuketahui kabar beritanya.

Keterangan:
Azacho: sebutan ketua RW pada tahun 46-an
lemah cai: tanah air
*)Sumber,http://sudutbumi.wordpress.com/

Leave a Reply

Bahasa »