Fahrudin Nasrulloh
Suara Merdeka, 14 Mei 2006
Judith, adik Shakespeare itu, siapa yang kuasa menakar gairah dan bara hati perempuan yang terperangkap dalam tubuh penyair? Ia bunuh diri pada suatu malam kelam nan pucat di musim dingin dan dikubur di persimpangan jalan tempat bis-bis berhenti menurunkan penumpangnya. (Virginia Woolf, 1882-1941).
Demikian yang pernah dibayangkan Virginia Woolf andai Shakespeare punya adik perempuan yang memiliki bakat yang sama. Bisa saja Judith, sebagaimana yang Woolf bayangkan, tidak akan menciptakan apa pun yang berarti dalam hidupnya. Ia akan tinggal di rumah, belajar memasak dan menjahit, kawin, melahirkan dan mengasuh anak; tidak terpikirkan sama sekali bahwa ia akan mendapatkan pendidikan sebagaimana yang diperoleh Shakespeare, bahwa ia akan menjadi penulis handal(andal), ia tidak akan seperti kakaknya itu, tidak akan menjadi siapa pun.
Kegelisahan Woolf ini termaktub dalam risalahnya A Room of One’s Own (1929), menukil Simone de Beauvoir, dengan sebuah pertanyaan sederhana: Mengapa, di bidang sastra, karya perempuan Inggris begitu jarang, dan pada umumnya berkualitas rendah? Tak pelak, khayalan Woolf memang mewakili kondisi perempuan pengarang saat itu. Tapi, saat ini, bisa jadi Woolf keliru, setidaknya khayalannya terpecahkan, sebab sekarang telah banyak perempuan yang menekuni dunia kepengarangan. Memang, kadang ada yang tak sia-sia dari secebis khayalan. Dan Woolf, dalam hal ini, tak lebih sekadar membayangkannya.
Khayalan Woolf itu seolah mencecar lungsuran histeris ihwal perempuan sebagai pengarang, bak isyarat bahwa perempuan tidak mengadakan dirinya, ia mengada dalam kesadaran yang lain. Perempuan dan karyanya, bagai secawan anggur dan belati, yang bisa memabukkan, juga mematikan. Nyatanya, sejak dulukala hingga kini, perempuan selalu dianggap ketinggalan dalam segala hal di wilayah kehidupan nyata. Adakah sesuatu ihwal perempuan sekadar ditakdirkan Tuhan menjadi manusia biasa-biasa saja? Semacam pelipur dan pelengkap bagi laki-laki di saat apa saja. “Bagaimana aku menulis puisi, sementara aku harus menyusui bayi,” demikian lenguh Abidah El-Khaliqiy suatu hari. Dalam keadaan serupa itu, gairah menulis bagi perempuan, jika tidak dibilang mustahil, minimal merupakan jalan hidup yang teramat sulit. Dari kubur sunyi ini, seolah bangkit kabar buruk bahwa perempuan menulis untuk alasan yang sama dengan perempuan yang merajut pakaian, memasak atau mengasuh anak; semata demi membunuh waktu senggang. Lebih ironi lagi, ungkap Stendhal, seorang feminis besar, bahwa setiap genius yang dilahirkan sebagai perempuan, ia akan hilang demi umat manusia.
Perang
Dalam konteks yang sama, ketika Kafka dikelimun tanya soal perempuan pengarang, ia hanya bergumam, “Perang dengan perempuan hanya berakhir di atas ranjang.” Bagi Kafka, dalam riuh-senyap misteri batinnya, mungkin perempuan tak lebih dari seonggok daging dengan separuh akal. Demikian pula, secara sarkastis dan agak narsis, G.M. Hopkins berseloroh, “Pena sang penyair dalam arti tertentu adalah penis.” Ya, “penis metaforis,” imbuhnya; ibarat menetakkan bius takwil tak berbayang. Juga sumbar Auguste Renoir, “Aku… tidak bersyair… kalau bukan atas nama zakarku,” yang memaklumatkan estetika kepenyairan pada aras seksual laki-laki. Pun pekik lain (tentu dengan alasan beragam) yang tidak kalah genitnya semisal, “Hidup perempuan hanyalah dari ranjang ke ranjang” (Helen Cixous), “Perempuan adalah penidur, ia hidup dari mimpi ke mimpi” (Keirkegaard), “Adakah ‘benda’ semacam perempuan? Apakah mereka pernah ada? (Sandra M. Gilbert), “Seorang perempuan tidak dapat mengatakan apa yang diinginkannya”(Lacan), “Hai, apa yang dikehendaki kaum perempuan?”(Freud), “Apa yang dapat diinginkan perempuan yang tidak menginginkan apa-apa?” (Susan Gubar). Memang, sejarah sastra Barat, bagi Harold Bloom, adalah riwayat sastra patriarkal, kendati sebagian sejarawan sastra menyangkalnya. Namun, perempuan pengarang, dalam relung batin tersunyi, bisa saja balik berkoar, “Takdir karyaku adalah teluh klitoris yang menggasak birahi kehidupan.”
Sekarang apa yang tersisa dari gerundelan sengkarut tanya di atas? Barangkali saja, ada yang luput dari tangkapan nalar dan sejarah. Tapi kini, dalam konteks kepengarangan di Indonesia, telah muncul sebetik anggapan, dan konon jadi kontroversial, dari Prof Dr Sapardi Djoko Damono bahwa masa depan kepengarangan Indonesia saat ini berada di tangan perempuan. Gosip ini pun kian menjalar, mungkin mewabah, saat digelar seminar nasional Di Gedung Pascasarjana Undip tanggal 1 Maret 2006 lalu, berjudul “Heboh Sastra Perempuan; Laki-laki Pengarang telah Mati?” dengan mendatangkan pembicara seperti Tamara Geraldine, Saut Situmorang, Sitok Srengenge, Hendrarti juga Prof Dr Sapardi Djoko Damono (Baca wawancara Triyanto Triwikromo dengan Prof Dr Sapardi Djoko Damono di Suara Merdeka, 26 Februari 2006 dan 5 Maret 2006).
Ada sejumlah analisa hipotetik yang dikemukakan oleh Sapardi tentang masa depan sastra perempuan itu: (pertama), jumlah perempuan pengarang jauh lebih banyak daripada laki-laki pengarang. (Kedua), tidak ada novel yang ditulis oleh laki-laki yang dicetak ulang melebihi karya-karya para perempuan. (Ketiga), lebih banyak pembaca perempuan ketimbang laki-laki. (Keempat), perempuan pengarang telah menemukan kesadaran akan dunia keperempuanan mereka. (Kelima), perempuan pengarang di berbagai belahan dunia kini memang tampak menonjol.
Pembuktian
Tentu, hipotesa macam ini tidaklah cukup dan, membutuhkan penelitian yang lebih serius lagi. Meski di Indonesia memang, para perempuan pengarang kini telah menjamur, mulai dari Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Dewi Lestari, Herlinatiens, Reike Diah Pitaloka, Dina Oktaviani, dan lain-lain.
Jika dicermati secara umum, adakah sastrawan kita beranggapan bahwa daya hidup pengarang, dengan aneka proses kretifnya, semata cukup ditakrifkan dengan persepsi dan hipotesis temporal? Bukan pada otentisitas bakat dan kreatifitas itu sendiri. Apalagi jika benar bahwa, bakat hanya 1 %, dalih William Faulkner, dan 99 % sisanya adalah kerja keras. Lantas, bagaimana kita mengukur takdir perempuan pengarang di Indonesia? Perempuan pengarang, pasti bakal bertarung dengan dirinya sendiri, mengembara dalam teka-teki bayangannya, mencoba mengongkosi deraan batinnya, dihantui kabut kata dan makna di gurun dunia, sangsi di pedalaman imajinasi, melebur ke kehampaan waktu dan ruang, menembus jasad dan kecamuk pikiran, menumpasi diri dalam ceruk jiwa yang gelisah, bersabung dengan sengkarut ingatan dan keterlemparannya menafsiri tubuh dan dunia sosio-domestiknya.
Tampaknya, pertanyaan krusial yang layak diwedar adalah sejauh mana bakat dan proses kreatif seorang pengarang, dalam hal ini perempuan, menjadi ukuran untuk menentukan masa depan kepengarangan di Indonesia? Jika benar; hakikat kreatifitas adalah menanggulangi kecemasan, maka kecemasan dalam proses kretif, dengan sendirinya, akan selalu menghantui setiap pengarang. Pengarang yang sesungguhnya, bagi Rollo May, tidak membutuhkan ilham atau wangsit. Tindakan kreatif tidak pernah muncul sebagai keberuntungan belaka, atau deus ex machina; semacam berkah Tuhan. Jadi, pengarang, bukan melibatkan diri tanpa keraguan, melainkan tetap melibatkan diri walau dirubung keraguan. Tindakan kreatif adalah kehendak bebas untuk mematri diri pada sepercik tujuan yang belum pasti. Keputusan untuk tetap melangkah di dalam keraguan serupa itu tentu membutuhkan keberanian. Keberanian ini, bahkan jauh sebelum Cervantes (1547-1616), telah ditunjukkan oleh Murasaki Shikibu (978-1026), dalam sebuah novelnya Genji Monogatari (The Tale of Genji). Ialah perempuan Jepang yang dianggap sebagai pengarang novel pertama di dunia. Kendati Cervanteslah, yang diakui, di kemudian waktu, sebagai pengilham karya-karya besar dunia.
Lalu bagaimana dengan soal proses kreatif laki-laki pengarang? Sudah khatamkah dari pembicaraan kritikus sastra? Adakah yang lebih abadi dari gagasan ihwal tubuh laki-laki dan perempuan, selain ingatan yang rawan? Dan jangan bergelak tawa atawa marah, jika ada orang bilang; perempuan adalah manusia terakhir yang tertawa? Menelusuri dua jenis daging ini bagai menghitung butiran debu dalam labirin pikiran tak berujung.
Perempuan, siapa pun ia, yang mulai bahkan sedang menggeluti dunia kepengarangan, boleh jadi bakal merasakan imsomnia di sepanjang hidupnya, menyusuri padang tubuhnya yang terus menggila. Ah, mengapa kita terus berdebat kalut tentang tubuh, jenis kelamin, lekuk dada, emosi, dan kebisuan lain yang bangkit dari pikiran yang terus menguap. Lantas seharkat apakah tubuh?
Ungkapan Foucoult dan Arnauld di atas seperti mengisyaratkan bahwa gagasan tentang pengarang, sejatinya, tak relevan lagi bila dikaitkan dengan tubuh. Tapi pertanyaan yang mungkin tepat; adakah spirit berkarya yang senantiasa membara yang bersemayam dalam tubuh. Dan karya yang unggul tak memiliki tubuh, namun bisa membangkitkan tubuh. Keabadian sebuah karya, menurut Robert Frost, bukanlah karena ia menorehkan luka yang abadi, melainkan lantaran ia mempunyai sebuah kamar rahasia; tempat sumber tenaga dan segala inspirasi yang seakan tiada habisnya. Ah, perempuan pengarang saat ini memang lagi merayakan tubuh dan kata-kata. Akhirnya, bagi mereka yang masih hidup, perempuan atau laki-laki, kuucapkan: Selamat merayakan dunia kepengarangan!
***