NASSER

D. Zawawi Imron *
JawaPos, 31 Agus 2008

Orang Indonesia yang berkunjung ke Kairo, Mesir, konon dianggap belum sempurna kalau tidak makan burung dara goreng di tepian Sungai Nil. Bagi orang yang tidak suka burung dara seperti saya, memandang permukaan Sungai Nil yang berpendar-pendar oleh bayang-bayang lampu dari rumah-rumah dan jalan-jalan di seberang sungai pada malam hari, sudah merasa terhibur. Ada suasana tenteram yang menyelinap ke dalam kalbu. Inilah sungai yang membelah Kota Kairo, yang sudah punya sejarah dan peradaban sejak 600 tahun lalu, dengan piramid, lukisan-lukisan mitologi, serta mummi jasad Pharao yang bertahan ribuan tahun.

Sungai Nil terus mengalir sepanjang waktu menghidupi penduduk yang bermukim pada sepanjang kedua tepiannya. Di situlah gandum, anggur, kurma, dan sayur-sayuran bisa ditanam sampai sejauh 10 atau 20 kilometer dari Sungai Nil. Sehingga betul bila ada orang bilang, kalau Sungai Nil kering akan laparlah separo rakyat Mesir.

Memandang Sungai Nil saya jadi ingat mitos yang pernah saya dengar ketika masih anak-anak, bahwa hulu atau mata air Sungai Nil ada di surga. Yang lebih menarik tentu bukan mitosnya, tapi sosok seorang pemimpin Mesir zaman itu. Saya mengenal nama dan foto orang itu ketika saya masih kelas 3 Sekolah Rakyat (sekarang SD). Dia bernama Gamal Abdel Nasser. Dialah tokoh yang menggulingkan Raja Farouk pada 1952 dan membuat Mesir menjadi sebuah republik. Tahun 1954 ia menjadi perdana menteri, dan pada 1956 ia menjadi perdana menteri sekaligus presiden Mesir. Saat itu Mesir sering terlibat dalam kancah peperangan. Kepemimpinan Nasser sangat dihormati oleh mayoritas rakyat Mesir yang berhaluan progresif karena garis yang ditempuhnya dianggap memberi martabat dan harapan bagi masa depan kemajuan Mesir.

Tentang tokoh itu, sambil menyusuri tepian Sungai Nil, Gus Mus (KH Mustofa Bisri, Red) menceritakan kepada saya kecintaan rakyat Mesir kepada Nasser. Itu terjadi pada 1967. Perang Arab (termasuk Mesir) melawan Israel yang berlangsung selama 6 hari membuat pasukan Arab yang dipimpin Nasser menderita kekalahan. Nasser sadar akan jabatannya. Tapi pengunduran itu ditolak oleh Dewan Nasional Mesir. Bukan hanya itu, rakyat Mesir berbondong-bondong menuju istana dan memenuhi jalan-jalan di Kota Kairo menyatakan menolak pengunduran Nasser. Rakyat Mesir tetap ingin dipimpin oleh Nasser. Pada akhirnya, Nasser tidak bisa menolak permintaan rakyatnya, ia tetap memimpin Mesir dan menjadi presiden sampai serangan jantung mengakhiri hidupnya pada 1970.

Kisah yang cukup indah untuk dikenang. Saya jadi teringat pepatah Melayu yang berbunyi: ”Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.” Yang menarik di sini ialah rasa tanggung jawab Nasser yang mendalam sehingga secara jantan dia bersedia mengundurkan diri. Itu artinya, ia mengakui kesalahan dan kegagalannya sendiri. Sebuah sikap ksatria yang langka dimiliki para pemimpin. Hanya pemimpin yang punya kecerdasan emosional yang mendalam dan punya sikap introspektif yang jernih serta punya kejujuran yang mampu melakukannya.

Ajaibnya, orang yang telah mengaku bersalah itu diharapkan tetap memimpin. Hanya mayoritas rakyat Mesir saja yang tahu bahwa mereka masih memerlukan seorang Nasser selagi tokoh itu masih hidup, bukan yang lain.

Tentu tidak semua rakyat Mesir sehaluan dengan Nasser, dan itu sah. Pergumulan politik selalu akan melahirkan pro dan kontra. Itu urusan pengamat politik. Tapi, untuk kali ini yang saya catat tentang seorang tokoh dari sudut budaya, adanya perilaku dan kesadaran untuk mengakui kesalahan dan kegagalan diri sendiri secara jujur dari seorang pemimpin bangsa bernama Nasser. Perilaku politik yang bertumpu pada landasan budaya.

Setelah meningalkan negeri piramid itu saya sadar, bahwa saya tidak rugi datang ke Mesir meskipun tidak makan burung dara goreng di tepian Sungai Nil. Mendengar kisah ksatria Gamal Abdel Nasser hati saya bergetar, kagum akan kejujurannya.

Pemimpin yang berjiwa ksatria memang pantas untuk dikenang. Meskipun sudah mati, wajahnya pantas untuk dipancang. Bukan sebagai berhala yang dipuja, tapi sebagai tokoh yang pantas untuk dikaji sejarah kepemimpinannya sekaligus untuk dijadikan teladan.
***

*) D. Zawawi Imron, lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep. Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1982.

Leave a Reply

Bahasa ยป