Sampah

A. Rodhi Murtadho *

Sampah? Sudah melebihi jajaran pegunungan, bahkan sudah punya keinginnan untuk membentuk galaksi. Mengalahkan Bima Sakti. Entah mulai kapan keinginan itu mulai tercipta. Yang pasti sejak mereka mampu membentuk planet sampah lengkap dengan satelitnya.

Aku tak tahu bagaimana mereka berkomunikasi. Keakraban muncul. Berkembang biak tanpa perkawinan yang berarti. Yang aku tahu keinginan mereka, dalam kacamata mereka, baik dan tulus dari hati nurani. Menggalang persatuan demi mewujudkan cita-cita mereka.

“Bagaimana kita bisa berkembang biak cepat di bumi ya?” ucap salah satu sampah yang menyerupai botol, “padahal manusia sangat punya keinginan memusnahkan kita.”

“Itu gampang,” kata salah satu sampah yang hancur, tak berbentuk, tak menyerupai apapun, “kita bisikkan pada industri untuk membuat kemasan yang tidak bisa didaur ulang dan tidak mudah terurai oleh bakteri. Seperti diriku yang kian hari makin hancur oleh bakteri sialan ini. Bentukku sungguh menyedihkan.”

“Ya…ya. Boleh juga. Lantas bagaimana tentang rencana kita untuk menyingkirkan manusia dari bumi.”

“Tentu saja akan kita lakukan. Semua koloni seantero jagad juga sudah siap. Tinggal mengatur strategi saja.”

Aku bahkan tidak percaya, langkah mereka sudah sedemikian jauhnya. Bahkan manusia yang menciptakan mereka, ingin mereka singkirkan. Apalagi dengan rencana mereka yang ingin berkembang biak besar-besaran. Makin membuatku khawatir.

Manusia memang hanya mampu berpikir tanpa bisa mewujudkan pikiran itu. Sementara mereka, sampah, bisa mewujudkan keinginan mereka dengan setiap tidakan yang dilakukan manusia. Layaknya dapat dikatakan bahwa mereka sudah memiliki setiap diri mereka sendiri. Sedangkan manusia hanya memiliki sampah dari dirinya.

Bahkan pikiran yang seharusnya menjadi kelebihan dan kebanggan manusia, sekarang, menjadi sampah. Pikiran sampah. Tak pernah terdengar, tercampakkan yang pasti, kegemilangan dari kecerdasan pikiran. Semua hanya mampu menciptakan sampah baru.

Kuberanikan diriku menghadap pada jutaan sampah. Dalam keadaan sedang diskusi dan menyiapkan strategi. Dengan sedikit risih yang muncul. Kulihat di jajaran sampah pemandangan yang tak lulus sensor. Tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Tak juga kaget dengan kedatanganku.

Leleran cairan hasil hubungan mereka pun tercecer tak tertampung. Cairan yang seharusnya berada dalam rahim. Menjadi calon orok. Kupahami itu karena aku tahu kalau mereka hanya memiliki kelamin tanpa rahim. Sungguh pemandangan yang luar biasa biadabnya menurut orang-orang suci.

“Hai sampah! Jangan kau terlalu berani pada manusia. Manusia juga punya rencana menghancurkan kalian,” ucapku, “bukan hanya menyerahkan kalian pada bakteri saja, tapi lebih dari itu kalian tidak akan bisa berkembang biak karena akan kuciptakan sendiri kemasan atau benda yang bisa dipakai lagi dan tidak akan dibuang.”

“Bagaimana kau akan melakukan?” jawab salah satu sampah yang hampir tidak berbentuk, yang tadi bercakap dengan botol sampah, “kami tahu itu akan hanya ada dalam pikiranmu. Atau paling tidak, jika terwujud hanya akan ada padamu saja. Kami akan tetap berkembang biak melalui pikiran dari manusia lainnya bukan kau tentunya.”

“Kau akan kubakar!”

“Dengan apa kau akan membakarku? Kalau kau membakarku tentu dengan mudah aku menjadi sampah baru. Sampah udara. Dengan mudah aku dapat berkembang biak. Membuat sampah baru lagi. Sampah manusia.”

“Bagaimana caranya? Kau hanya sampah dan bagaimana kau bisa menjadikan manusia sebagai sampah. Bukankah sampah tetap menjadi sampah dan manusialah yang menghasilkanmu.”

“Aku hidup. Ya, karena aku hidup sekarang. Dengan bentukku sekarang, kusengat penciuman manusia. Dan kalau kau bakar aku, aku dengan mudah dapat masuk ke paru-paru manusia, aliran darah, jantung, otak, bahkan setiap lubuk hati manusia. Manusia akan lumpuh, tak punya perasaan lagi. Yang akan menjadi sampah kami berupa tubuh yang sudah ditinggalkan rohnya. Atau tubuh yang sudah ditinggalkan otak dan pemikiran tentang kami.”

Tumpukan-tumpukan sampah berloncatan di hadapanku. Memperlihatkan diri kalau mereka hidup. Sempat aku terheran. Bagaimana mereka hidup? Sementara mereka hanya barang mati tak berharga. Bentuk mereka pun tak pantas dikatakan sebagai makhluk hidup. Siapa yang memberi mereka nyawa? Atau mereka hidup dari baterai atau semacamnya tapi tak kulihat itu pada diri mereka.

“Hai sampah,bagaimana kau hidup?” tanyaku.

“Aku hidup dari pikiran manusia, nyawa kami dari hasil pemikiran yang dituangkan pada diri kami.”

“Lantas, semangatmu?”

“Kami dapat semangat juga dari pemikiran manusia. Selain dari perasaan senasib kami, sesama sampah, bertemu dengan saudara-saudara yang lain di tempat manusia mempertemukan kami.”

Semakin terperangah aku dibuatnya. Bagaimana mungkin sampah mempunyai perasaan. Punya semangat juang. Sementara manusia saja kadang-kadang tidak mempunyai perasaan. Tidak punya semangat juang untuk membasmi sampah-sampah ini.

Aku merasa semakin terpojok dengan sampah-sampah ini. Tak heran kalau mereka sudah bisa membentuk gunung. Planet dan satelitnya. Lantas bagaimana jika mereka menyerangku? Apa yang bisa kulakukan? Untuk lari pun tak mungkin. Karena setiap memandang hanya kutemukan sampah. Tanah yang kuinjak layaknya berubah menjadi lautan sampah.

“Ehmmm…,Tuan Sampah, bagaimana kalau manusia dan sampah saling berdamai? Hidup berdampingan, saling membantu, dan bertenggang rasa.”

“Tidak bisa. Manusia sudah memperlakukan kami tidak sewajarnya.”

“Maksud, Tuan?”

“Kau lihat sendiri, kami dibuang ke angkasa luar setelah bumi tak mampu lagi menampungnya. Untungnya kami bisa membentuk jajaran planet. Jadi kami bisa hidup. Enak saja mau damai! Kami akan menumpas habis manusia, mengusirnya dari bumi.”

“Ke mana Tuan akan mengirim kami?”

“Jelas ke angkasa luar. Sama seperti mereka mengirim saudara-saudara kami. Biar merasakan betapa tidak enaknya hidup di luar orbit.”

Gundukan-gundukan sampah mulai berdiri. Mengelilingiku. Nyalang mata mereka penuh emosi. Kepalan tangan mereka memaksaku memperbesar rasa takutku yang ada.

Aku mulai berpikir kalau mereka ada dan hidup seperti saat ini. Atau keinginan mereka untuk menyingkirkan manusia itu benar adanya. Barisan mereka yang kuat semata-mata disebabkan kelalaian kami. Menganggap remeh sampah. Aku teringat ketika koloni mereka tak begiu banyak. Mereka tak punya kekuatan. Tapi tata ruang tempat tinggal kami memberi peluang mereka berkembang pesat. Kebiasaan kami, membuang mereka sembarangan, sering dimanfaatkan mereka.

“Eh…, begini,” tubuhku mulai bergetar, “Tuan Sampah bagaimana kalau Tuan kami pergunakan lagi.”

“Manusia? Menggunakan sampah? Untuk apa? Dan mana mungkin? Kami tahu kebiadaban manusia. Penginkaran-pengingkaran yang mereka lakukan. Bahkan sesama manusia. Menciptakan lingkungan tanpa kami katanya. Mana buktinya? Semuanya hanya omong kosong. Apalagi janjimu seorang diri. Bagaimana kami bisa percaya?”

“Lantas mau Tuan apa?”

“Manusia harus menjadi budak kami!”

“Mana mungkin Tuan. Kami sebenarnya yang diciptakan Tuhan untuk lebih berakal. Bukan sampah. Itu tak mungkin terjadi karena derajat kami sebenarnya lebih tinggi dari sampah.”

Gundukan-gundukan sampah mulai menghantamku. Memegang erat tubuhku. Bahkan ada yang sempat masuk ke dalam tubuhku melalui rongga hidung, mulut, telinga, anus. Aku mersakan otakku diremas sampai pecah. Darahku pun mulai muncrat keluar. Jantungku mereka keluarkan. Bahkan seluruh isi perut sampai terburai keluar. Hatiku pun mereka sayat-sayat menjadi potongan kecil-kecil. Sampai kudapati diriku sudah menjadi sampah.

Gresik, 17 April 2006

*) A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008).

Leave a Reply

Bahasa »