“Kesenian Bukan Hal Angker”
Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com
USIA yang telah kepala enam tak menjadi halangan bagi Putu Wijaya untuk terus melahirkan karya seni. Sebagai bukti, pada monolog Merdeka yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu, Putu masih kuat jumpalitan di atas panggung.
Energi Putu untuk berkesenian seolah tak pernah habis. Bagi pria kelahiran Tabanan, 11 April 1944, ini kesenian merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas. Bisa dibayangkan, dalam semalam suami Dewi Pramunawati ini mampu mengarang 30 halaman cerita dan empat artikel. “Menulis seperti menggorok leher tanpa menyakiti,” kata Putu.
Berikut petikan perbincangan Jurnal Nasional dengan lelaki yang pernah menjadi dosen tamu untuk teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS, ini.
1. Untuk monolog kali ini berapa lama proses persiapan yang Anda lakukan?
Untuk kali ini tidak ada persiapan, hampir seluruhnya improvisasi. Monolog ini juga saya pentaskan tanpa naskah, hanya teman-teman saja menyiapkan set dan properti. Beberapa adegan terjadi begitu saja di atas panggung, seperti bendera yang lepas atau sangkar burung yang naik turun. Bagi saya isi monolog ini tidak begitu penting, yang penting adalah pesan yang ditangkap oleh penonton.
2. Monolog kali ini terlihat lebih ringan dibanding dengan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya, apa Anda menyesuailan dengan penonton yang hadir?
Saya ingin penonton melihat bahwa kesenian bukanlah sesuatu hal yang angker. Keseni-an merupakan sesuatu yang nyata dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Seperti apa yang saya ungkapkan tadi, apa yang saya mainkan tadi tidak penting, yang penting adalah apa yang mereka tangkap.
Saya pernah membaca sebuah tulisan dan setelah selesai kemudian kertas itu saya robek. Mengapa? Karena, apa yang ada dalam tulisan tersebut menjadi tidak penting, hal yang terpenting adalah pemahaman saya.
Menurut saya, tugas seorang penulis adalah memberikan pengalaman batin bagi pembaca-nya, begitu pula seorang pemain teater. Sehingga, fungsi sebuah karya bukan untuk dikagumi atau dihujani tepuk tangan, melainkan memberikan pengalaman batin.
3. Apa langkah Anda ini merupakan salah satu cara untuk memasyarakatkan teater?
Iya. Saya senang ketika anak-anak menonton pertunjukan teater. Sejauh mana pengertian mereka mengenai naskah yang dimainkan saya rasa itu menjadi nomor sekian. Mungkin makna yang ditangkap seorang anak dan orang dewasa akan berbeda, tetapi tak mengapa karena pemahaman sebuah pertunjukan memang multidimensional.
Mungkin anak-anak hanya memahami leluconnya saja, sementara orang dewasa dapat melihat wajah lain dari kemerdekaan, itu sah-sah saja. Saya senang ketika semuanya terhibur karena kesenian bukanlah sesuatu yang angker. Sebagai seorang pekerja seni peran yang saya mainkan juga sama dengan profesi lainnya, entah itu tukang bangunan atau tukang sayur.
4. Dalam pementasan teater mengapa Anda memilih menggunakan konsep visual?
Teater visual atapun teater gerak dapat menjembatani keterbatasan bahasa. Misalnya, untuk monolog ini, orang Indonesia dapat tertawa terpingkal-pingkal karena mereka mengerti apa yang saya katakan. Tetapi, hal berbeda akan terjadi ketika naskah tersebut saya pentaskan di Amerika, tentu mereka akan bingung dengan bahasa yang saya gunakan.
Untuk menjembatani hal itu, saya menggunakan konsep gerak. Karena bahasa tubuh biasanya berlaku lebih universal, orang sedih maupun senang di mana-mana ekspresinya sama.
Ketika kita bergerak mengekor teater Barat yang telah dilengkapi oleh teknologi tingkat tinggi sama saja seperti mengejar bayangan sendiri. Saya memilih untuk berangkat dari sesuatu yang hakiki dan saya kuasai secara utuh yaitu tubuh.
Saya juga menggunakan peralatan dan lighting system yang sederhana, serta tak asing digunakan sehari-hari. Benda-benda di sekitar yang secara fasih digunakan sebagaimana fungsinya serta difungsikan menjadi hal lainnya. Sebilah bambu bisa berubah menjadi bedil bila yang memainkan yakin akan hal itu. Sebaliknya, sebuah senapan menjadi tidak berguna di atas panggung karena yang memainkannya tidak total.
5. Bisa diceritakan sedikit pengalaman Anda melakukan pertunjukan di luar nege-ri?
Belum lama ini kami melakukan pementasan di Korea untuk mengikuti festival teater rakyat. Karena mengusung teater visual, penampilan kami sedikit berbeda dibanding peserta lainnya.
Dalam festival tersebut kami memainkan naskah Zero. Seperti biasanya, selain pada pemain, penampilan kami bertumpu pada pencahayaan. Di tengah pementasan tiba-tiba listrik mati kurang lebih lima belas menit. Untungnya para pemain sudah terbiasa, peristiwa mati lampu itu kami manfaatkan untuk membangun teror bagi diri kami. Pertunjukan kami pun terus berjalan, bahkan penonton tak sadar kalau tadi sempat mati lampu.
6. Mengapa Anda memilih untuk membawakan kembali naskah Zero?
Butuh biaya yang cukup besar untuk membuat sebuah garapan, sehingga saya memilih untuk mementaskan garapan yang sudah dipentaskan sebelumnya. Lagi pula tempat pementasannya juga berbeda, mungkin kalau tempatnya sama saya akan memainkan naskah lain.
Saya melihat Zero masih cukup aktual dengan kondisi dunia saat ini. Zero menawarkan sebuah kearifan lokal di mana kita kembali pada titik nol. Ketika kita tidak punya keinginan. Tidak ingin menang, tidak ingin kalah. Tidak ingin memengaruhi orang. Kosong saja. Mungkin dengan kosong itu kita bisa bertemu orang lain. Tidak ada nama. Hanya sama-sama melangkah.
7. Apa ada rencana pertunjukan ke luar negeri dalam waktu dekat ini?
Rencananya akhir tahun ini saya akan melakukan pentas di China. Kalau tidak ada hambatan musim panas ini saya juga akan melakukan pementasan di Hongaria.
8. Kapan waktu yang tepat untuk memperkenalkan kesenian pada anak?
Semenjak dia belum lahir ke dunia. Penelitian yang dilakukan oleh dunia kedokteran menyebutkan bahwa anak yang sejak dalam kandungan diajak menonton sebuah pertunjukan akan memiliki memori tersendiri pada otaknya.
9. Apa prinsip yang Anda terapkan ketika berkesenian?
Kesabaran. Saya adalah orang yang sangat percaya dengan proses. Terkadang proses itu saya jalani berbulan-bulan, tetapi tetap belum menemukan apa yang saya inginkan. Tetapi, bisa saja ide itu mengalir begitu saja sehingga saya bisa menyelesaikan sebuah cerita dalam waktu singkat. Semua itu merupakan rahasia kerja galaksi otak kita.
***