Imamuddin SA
Dan, mungkin saat ini aku harus berbicara, Bapak! Membuka pintu gejolak batinku yang berteriak. Memberontak dalam kerangkeng jasadku. Aku ingin mengutarakannya secepatnya. Mungkin dengan jalan ini aku sedikit bisa merasakan kebahagiaan. Merasakan kebebasan. Menikmati kelegaan. Sakit rasanya.
Tapi aku masih ragu dengan keputusanku. Aku kalah dengan ketakutanku. Aku lemah. Ternyata, aku masih saja seperti kemarin. Diam. Memendam luka begitu dalam. Tidak, aku harus bangkit. Membangun keberanian untuk mengungkapkannya. Membuat jejak perubahan. Mengukir kebermaknahan. Paling tidak perubahan untuk batinku. Perubahan bagi diriku.
Seketika itu aku tersentak. Dan beranjak dari tempat dudukku. Berlari membawa segenap keberanian yang sempat lunglai. Menghampiri sesosok tubuh yang melintas di lensa mataku. Menelusuri remang malam berselimutkan kesunyian.
Saat itu, persis di antara kampungku dan kampung sebelah, aku menghadangnya. Menghentikan langkah kaki sesosok tubuh yang telah kukenali itu. Ya, sosok itu adalah guru kelasku. Tanpa basa-basi, aku langsung menghujamkan kepalanku di bagian rusuk kirinya. Ia terjungkal. Mengerang kesakitan. Ia bangkit. Dan mencoba melakukan perlawanan kepadaku. Namun, sebelum ia sempurnakan berdirinya, lagi-lagi kudaratkan kepalanku di rusuknya. Kali ini di rusuk sebelah kanannya.
Setelah beberapa kali aku lancarkan pukulan, aku merasa sedikit puas. Waktu itu aku sengaja menghajarnya di bagian rusuknya. Hal itu aku lakukan bukannya tanpa tujuan. Aku bermaksud agar tidak terlihat bekasnya pas di sekolah besok. Ini puncak amarahku. Ini hanya sebatas peringatan kepadanya. Aku harap ia jera. Dan tidak semena-mena terhadapku sewaktu berada di kelas. Juga terhadap teman-temanku yang lain.
Dalam ketidak berdayaannya, hanya tinggal mulut besarnya yang masih bisa nerocos. Ia masih berkelit menanyakan kesalahannya. Ia seolah tidak mengerti duduk permasalahannya. Ia bertanya dan bertanya terus kepadaku. Sesekali mengiba kepadaku dengan memegang kakiku. Aku hanya diam. Berdiri gagah seolah menikmati kemenanganku. Dengan kediamanku, aku harap dia bisa mengintrospeksi diri. Dan menyadari pribadinya yang sedikit kurang tepat saat melakukan proses kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas.
Dasar orang tak berperasaan. Keras kepala. Tak bisa megoreksi pribadinya. Melihat suasana semacam itu, aku pun tak bisa membungkam diri. Aku terpaksa melontarkan kata-kata pedas. Dan sedikit kasar kepadanya.
“Apa? Kau masih mengelak! Pura-pura tak mengerti?” ujarku penuh emosi. Tak ada unggah-ungguh bahasa nan mengenakkan hati.
“Sungguh aku tak tahu duduk permasalahannya. Yang kutahu, kau tanpa sebab telah melakukan penganiayaan kepadaku. Gurumu sendiri. Kau murid durhaka.”
“Masih saja kau bersilat lidah. Bersikap masa bodoh. Seolah tak mengerti apa-apa. Bukankah ini juga hasil pola pembelajaranmu di sekolah tempo hari? Bukankah ini yang kau harapkan dari setiap muridmu?”
“Apa maksudmu? Omonganmu ngelantur. Kau jelas-jelas mendurhakaiku. Tapi kau malah melempar kesalahan kepadaku. Kau tidak sepantasnya melawan gurumu. Apalagi menganiayanya. Dasar tak berakhlak.” ujarnya geram, sambil melaghujamkan tinjunya ke mukaku. Seraya berkelit untuk melarikan diri.
Kepalaku sedikit kuelakkan. Dan tangan kananku menangkisnya. Tanganku yang lain kembali mendarat persis di perutnya. Dia terhuyung. Jatuh!
“Perlakuan ini memang pantas untukmu. Biar kau jera. Dan aku tidak mendurhakai siapa pun di sini. Aku hanya memberi sedikit peringatan kepada bandit.”
“Jera…..? Bandit……?”
“Ya, benar. Aku dan teman-teman yang lain bukanlah binatang yang bisa seenaknya diperlakukan melampaui batas. Main hina. Main pukul. Dan……”
“Kau bilang tindakanku melampaui batas! Ini sebuah sarana pembelajaran. Semuanya demi masa depanmu.”
“Masa depan katamu! Aku manusia. Bukan hewan. Pembelajaran pun harus dilakukan dengan etika yang manusiawi pula. Berbeda denganmu.”
“Kau yang tidak mengerti. Ini kulakukan agar kau bisa secepatnya menguasai materi yang kusampaikan. Tapi, apa hasilnya? Kau tetap saja tak bisa-bisa. Apalagi tanpa kekerasan. Kau bebal.”
“Kalau tidak bebal, aku tidak akan sekolah. Dan menjadi muridmu. Kalau tidak bebal, aku sudah pasti yang menjadi gurumu. Coba kau pikir. Orang menerima pengetahuan itu tidak sertamerta langsung bisa. Tapi sedikit demi sedikit. Kadang pula pemahaman yang sampai juga sedikit. Ini butuh kesabaran dalam menerima dan menyampaikanya. Apalagi setelah mata pelajaran yang satu usai, ada lagi mata pelajaran lain yang fokus dan konsepnya berbeda. Coba renungkan. Jika pada mata pelajaran yang pertama ada kekurang pahaman, sementara sudah ditumpuki mata pelajaran lain, apa yang akan terjadi. Jika kau benar-benar manusiawi, kau pasti mengerti akan hal ini. Itu sekedar contoh dari dua mata pelajaran. Belum yang lain. Berapa banyak mata pelajaran di sekolah! Hitung saja. Jika semua guru menuntut hal yang sama. Dan menerapkan strategi yang sama pula, maka apa yang terjadi?”
“Kau tidak mengerti sulitnya berposisi sebagai guru. Ketuntasan belajar menjadi tuntutan utama seorang guru. Ini sudah aturan dari pusat. Jika tidak ada ketuntasan, ini pengaruhnya terhadap dirimu juga ketika ujian akhir nasional. Nilaimu buruk. Dan tidak lulus. Jadi aku harus melakukan penekanan keras agar tujuan itu tercapai. Meski dengan sedikit dengan kekerasan.”
“Sedikit kekerasan katamu? Aku kira tidak! Yang kau prioritaskan sementara ini hanya sisi intelektualnya saja. Sementara tujuan orang bersekeloh tidak hanya itu-itu saja. Seharusnya yang menjadi prioritas utama adalah mental, emosional dan perilaku. Ini bekal utama dalam melakukan pengabdian di masyarakan kelak. Dan ini hasil pendidikan kekerasan yang kau terapkan. Rasakan!” Sambil kuhujamkan kepalanku di perut guru itu. Lagi-lagi ia terhuyung jatuh.
“Tidak. Kau masih awam akan hal ini. Kau tidak tahu betapa sulitnya memahamkan seseorang.”
“Aku tahu semua itu. Oleh sebab itu, di sini kuterapkan caramu dalam memahamkan pribadiku saat berada di kelas. Ini kulakukan agar kau paham. Agar kau memahami bagaimana posisiku sewaktu di kelas. Agar kau merasakan perihnya hati dan daging ini oleh goresan luka. Biar esok kau tak semena-mena lagi. Tidak ada penghinaan. Dan kebrutalan lagi dalam proses belajar dan pembelajaran. Entah terhadapku atau pada teman-teman yang lain.”
“Kau tetap tidak mengerti.” sedikit erangnya.
“Ketidakmengertianku di sini disebabkan ketidakmengertianmu pula saat kau berada di kelas. Tentunya kau telah banyak makan bangku di sekolah. Kau pasti tahu bagaimana rasanya menjadi murid sepertiku. Sebel. Jengkel. Benci. Bahkan marah, bukan? Saat kau mendapati guru yang berkarakter sama sepertimu.”
“Benar. Tapi aku tidak brutal sepertimu. Toh nyatanya aku juga bisa berhasil seperti ini.”
“Tapi kau sungguh keterlaluan. Melampaui batas kewajaran. Tidak ada jenjang keberkalaan. Salah sedikit langsung main hina. Main pukul. Tidak hafal sedikit, kerasnya penggaris mendarat di tubuhku. Tidak ada himbauan. Tidak ada pengarahan sebelumnya. Pendidikan macam apa ini? Gunakan rasa kemanusiaanmu. Dan perlu kau camkan. Keberhasilanmu hingga kau bisa mengajar seperti ini disebabkan pelajaran yang telah kau tekuni telah menjurus. Telah berfokus pada satu bidang pelajaran. Dan itu jadi fakmu. Sementara aku saat ini……? Berapa macam pelajaran di sekolah yang harus aku telan. Semua pelajaran itu berbeda-beda, bukan? Coba pikir!”
Guru itu terdiam. Sedikit bangkit dari tempat jatuhnya. Lantas ia menyeruduk aku laksana banteng yang menembus kain merah matadornya. Kini giliran aku yang terhuyung. Aku terjatuh. Serudukkannya begitu keras. Tepat di bagian perutku. Kali ini aku lengah. Dan tak dapat mengelaknya.
Guru itu lari sipat kuping. Sementara itu aku mengerang. Berdiri sedikit gontai. Aku berusaha mengejarnya. Namun ia sudah terlalu jauh untuk kukejar. Aku urungkan niatku. Dan membalikkan langkah kakiku. Aku kembali ke kampungku. Berjalan pelan seraya mengatur irama jantungku.
Sebenarnya aku kesal dengan diriku sendiri. Sebab aku telah membiarkannya pergi. Masih cukup banyak ungkapan yang harus aku nyatakan kepadanya. Emosiku masih meledak-ledak. Ibarat bom atom yang yang jatuh di Nagasaki dan Hirosima waktu perang dunia kedua. Namun apa yang telah kulakukan, rasanya sudah lebih dari cukup. Aku merasa lega sebab telah berhasil menuangkan gejolak batinku yang selama bertahun-tahun meringkuk terkurung waktu. Ya, bagiku inilah kebahagian terbesar dalam hidupku. Kebahagiaan sebab aku telah berhasil keluar dari tekanan batinku. Lega rasanya. Beban berat di pundakku terrasa hilang sudah.
***