BALADA BUNGA TERATAI

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=105

(I) Ketika genta mengalun ke lembah-lembah jiwa;
pohon akasia, trembesi, mahoni dan jati,
menyatukan irama seuntaian sembahyang.
Gegaslah kekasih, sebelum prahara menumbangkan seluruh.

(II) Rambutmu menjuntai semilir angin petikan embun,
ke dada ranum telaga, dan petani kebun anggur
memeras buahnya di musim bunga,
ketika mentari menyemaikan rumputan padi;
petak-petak sawah segarkan aliran sungai
yang menanti-nanti pesta sedekah bumi.

(III) Kau gubahan kidung berabad terangkum buku,
bulu-bulu sayap mengepak, menggugah nafas besarmu;
darah tercecer memandikan kampung halaman,
dan bayangan mendung membawa angin pergi gerimis.
Keajaiban pagi bagi letih, dan bumi-langit terasa dekat,
serasa jasad lapar, telinga tuli, mata berkunang-kunang;
meninggalkan jauh ruh hitam menuju alam temaram.

(IV) Reranting kering terlunta di sungai,
berkilo gelisah burung mengapung di angkasa;
mengurangi daya tarik bumi menyekutui badai,
memasuki pandangan cahaya.
Tinta memuncak dedaun mengerudungi pelajar,
dan celah dahan mengabarkannya;
kecupan tipis pada udara ketinggian,
tidur tenang di atas dahan, lainnya menyertakan laguan senja,
dan tubuh berkilau jingga, berpandangan Keilahian pertama.

(V) Getar-getir perubahan, lama memunguti tenaga bumi;
tuntunan kisah ini di aliran sungai berkelok jiwa pertiwi.
Manusia melintasi batu perbukitan melaju arus deras,
sukmanya berserah, jurang ikhlas menanti maut;
datang senyum mengenang tangisan hujan,
mengungkit rindu pada semerbak bunga-bunga pantai.
Menyeret lembut lidah gelombang sedari kaktus-kaktus liar;
hamba tenggelam, larut dalam senandung lamunan.
Harum pusaran itu melintasi kubur hitungan,
nafas terangkat mata air kehendak,
hayat bercerita Bunga Teratai.

(VI) Dorongan lahir tergerak atas batin kegaiban,
alis celuritmu seanggun kembang turi,
pada jubah malam menaburkan bintang-gemintang.
Kau menghuni langit telaga berlayar; awan dilipat malaikat
menyungkup di awang-uwung gerbang kota.
Menanti-nanti pembuka abad, dunia baru tersesap ruh kodrat,
lalu hikayat rakyat melekat.

(VII) Ombak menggoyang selat lepas,
bayu menggerakkan tiap kalimah cakrawala;
berjumpa berita kekal mencapai pantai-pantai doa ibunda,
dan selalu menghempas karang, tanjung redam pasir perasaan.
Anak-anak pesisir menemukan garam hakikat,
sedang alunan ini kau terima sebagaimana filsafat.

(VIII) Nada menelusup ceruk jauh ke telinga dunia;
kalimah nan senyum pasrah menyanyikan rasa.
Ini syairan pujangga sebelum lanjut usia;
kelana muda seharum tirakatnya, berlimpah-ruah rahmat-Nya.
Sebutir embun diperebutkan,
nurani menapaki sedenyut nadi, para utusan menggubah hati.

(IX) Bergetarlah, ingatannya mengucurkan getah segar,
jika kapal kandas di tepian karang nyata;
mulanya asing menuju rindu menggali makna,
kehausan kerontang merambah surga batin, kalbu bermekaran.

(X) Kupanggil mahkota teratai di tepian telaga jiwa,
kembara miskin bercermin berucap kata; “Teratai,
biar kupungut pagut seteguk airmu
pengusir dahagaku pengganjal lapar,
sudah lama hamba merasakan merana kehilangan.”
Lalu kau berbalas;
“Ambillah bagi penyembuh dahaga pengisi lapar,
ini sesembahan suciku, kala kau benar membutuhkan.”
Lewat cawan kedua tangannya, ia meminum kejernihan,
lantas kuncup-kuncup merenggangkan pelukan malam.

(XI) Tiada cerita sempurna,
ia melanjutkan menyusuri tepian;
telah menghanyutkan sepucuk surat
di telaga merawat ketenangan jiwa,
kasih martabat utama,
mengangkat peradaban di mata abad hampir sirna.
Wajah berseri, angin tropis mengibaskan rambutmu
sebening bayi menatap, senantiasa kepada Yang Kuasa.

(XII) Selembar surat kesaksian, tersingkap kitab embun pagi
yang pecah di padang gersang, kan terlupa gelak tawa ringan;
terlaksana benar sebuah rasa tajam mengena,
awan menampakkan pisau-pisau putih berkilatan,
di sanalah kepemudaan segar menderai berkah;
ketika kunang-kunang menyembunyikan cahayanya,
dingin membatu ke dakian puncak,
dan sayap kekupu patah di jendela.

(XIII) Mendung tiada penjara angin merunduk,
semulia orang utama mengayomi umatnya;
sekali rintik gerimis menciptakan kuncup-kuncup kembali,
ingatannya waspada, semerbak masa-masa pergantian.
Pada jeruji, panasnya sukma jilatan nyata,
kering waktu membatu di kening sujud.
Potongan tulang muda bergerak,
nuraninya tersambung ke puncak;
petapa lupa raga melampaui tempat-waktu,
mengunci diri dalam sunyi,
bermuwajjaha kepada Ilahi.

(XIV) Seluruh daya terkuras, abad kini tahta damai sejati,
seunting padi yang sembahyang di batu pualam,
nyawa bebijian dipertaruhkan beterbangan;
bunga nan sayu, degup jantung tinggal satu,
bagimu gerbang bersemi,
mengisahkan panggung seringan senyuman,
bagi yang berhenti di telaga “wengi”-mu sejati.
Burung hijau menghiasi pagi, dedaun lentur bergoyangan
seirama kabar tangga pesawahan lembah, hadir tiada akhir
selalu dipunggah di negeri-negeri persinggahan.
Ruhmu setingkat bunga relief di bebatuan candi,
alam hijau melingkari karya agung di kedalaman hati.

(XV) Tiada kata mewakili, mimpi mengalir ke sungai pertiwi,
menikmati kenakalan bebatuan cadas
merayapi kemarau memaksa
memasuki belahan sunyi, sukma para kembara.
Hanya batu selain kata beku,
pengap lumut membungkam dinding rindu,
sedang aksara menguap habis dilupa,
lalu kabut bersinggah ke dataran baru;
sudah cukupkah menerima, sebagai hawa selamanya?

(XVI) Memegang tangkai, bunga layu keemasan,
buah kuberi kini mengering, keranjangnya senantiasa harum,
tangisan tulus perak warnanya,
bertemu guru dalam tidur panjang;
”Inikah ‘kakang kawah adi ari-ari,’ yang menjagamu di setiap waktu?”
Fajar mengingatkan perjalanan mencari akan ujung bumi sejati;
”Bagaimana keadaanmu di sana,
kala mencari keindahan semesta?”

(XVII) Bunga padma mekar malam hari,
bersembunyi di gelap sunyi,
rembulan menguntit sang ayu dari balik celah-celah waktu,
cahaya bergejolak dalam badai lewat.
Bila suka biarkan pergi, tugasmu hanya menjaganya,
dan jangan dicegah jikalau berjumpa
akan surat-surat dihanyutkan di telaga,
sebab takdir berpisah serupa bayangan setia mengikuti raga;
kenanglah itu lesung pipit si wajah mawar,
hingga habis cemburu, sebab luka-duka bersarang di hati insan.

(XVIII) Salamku; “Anak-anak gembala bermandi di sendang,
memetik tangkaimu, menciumi kelopak ikhlas dikau hadirkan.”
Inilah kisah berkembang di pedusunan;
suatu kali bunga itu terkulai,
karena di antara anak itu ada yang lalai, tiada membawamu
beserta rumput semanggi bagi ternak-ternaknya.
Aku pungut-peluk sedekap jiwa sang bocah,
dan kau merelakan walau aku bukan pengembala;
bunga keindahan menjanjikan bahagia, demi jiwa-jiwa kesepian.

(XIX) Malam itu aku menjelma penyair;
secangkir wedang kopi berbatang rokok terhisap,
asap membumbung melampaui logika-mimpi,
melaju pena berlayar;
kesadaran ketakjuban kepadamu, pelita hidup di kamar sempit.
Gairah terdalam dari bawah sadar penciptaan,
masa menjelma keabadian;
ini kegilaan malam ganjil,
ketika aku dalam pusaran bau kembang.

(XX) Kemarin diri hanya kembara yang tumpul tulis-menulis,
sedang waktu kini berlembar-lembar kertas menderita tinta,
sepanjang rambut ikal sungai malam membentang.
Di ujungnya ditaruh senyuman, memberi kekuatan gaib bagiku;
Siapakah kau sebenarnya? Apa hanya sekuntum padma?
Atau jelmaan kehalusan semesta?
Kuasapi ruangan bercendana, hingga lupa alamat kelahiran.

(XXI) Di tengah ketinggian nyala api,
rantai kuat mengikat diri,
sepi kacau, pagar tak bertuan;
”Keluarkah ia dari sisi kepujanggaan?
Lihatlah kembara gila tiada tahu tujuan,
berjalan memanggul kehancuran, memakan kebusukan.
Hujan basah terik menyengat, pucat kabur pandangan;
jika besi berkarat, debu-debu sekarat.

(XXII) Purnama memuncakkan keagungan,
memberi cungkup di renung ganjil nan sepi;
lihatlah lidah gelombang menjilati dinding kalbu,
bias pecah di kanvas langit, terampas haknya tinta.
Nyalakan obor sewaktu hatinya padam,
berkobar menerangi sudut-sudut wangi senyuman
yang tak jelas datangnya dalam sarung bimbang.
Di ruang suwung, rumah laba-laba ditarik benang merah,
cahaya enggan menyembul, memendam cerlang lentera;
bagimu hadiah, menolong kesadaran menjauh.

(XXIII) Walau pelitamu membakar sayap-sayapku,
tiada kubawa marah; luka bakar menyimpan kenangan,
kan terbebas rindu terucap sayang.
Wangi suci bau teratai, beterbangan hati mungil semesta,
kembang sakral kini dianggap biasa;
Apakah ini rengkuhan masa-masa berganti keremajaan?
Padma di sampingmu menemani gamelan hening telaga,
dan malam-malam penuh berkah petikan kalbu
yang tiada dimiliki kembang lain.

(XXIV) Senandung persetubuhan kelopak-kelopak fajar
mengulum bibir kabut menyampaikan waktu hangat;
tangga awan mengendap menuju kerajaan seribu bulan,
bersaksi sebagaimana gerhana menyepuh purnama.
Di taman ganjil Welirang, kehangatan hadir,
bebatuan kerikil mengancam tanya;
”Adakah perkawinan tiada tamat di lubuk manusia?”
Lupa beraroma sepi, gelisah sembuh dalam mimpi;
Apakah patut dikata selain kisah sejati,
setia menyertaimu sampai upacara kasih,
tentang kepulangan abadi serumpun teratai.

(XXV) Karmamu akhir-awal dimulai,
seluruh partikal udara jelmaan kasih,
selimut berpeluk hangat sahabat,
kata-kata melepaskan keindahan tropis;
mengunyah rindu sembuhkan hati,
serumput hijau berangin hikayat jati.
Sekar teratai purnama, rangkaian kelopaknya bersatu tangkai;
inilah lorong-lorong nafasmu denyutan semesta,
daun-daunnya mengambang bagaikan tlatah,
dan para penjaring ikan menambah hasil renungan,
dikenangnya langgam surut tenggelam
lalu meninggi ke puncak persembahan.

(XXVI) Ucapan seekor katak jantan; “Ini penyambung nyawa,
jaman mendatang tinggal kenangan,
sedih menggenang, menenggelam;
sebutir air telaga di tangan,
teratai mekar berbiak sebebas deraian hujan bersusulan,
memuji-memuja keagungan penciptaan,
menaikkan derajat air rawa di belahan besar legenda
atas taburan bintang biru rupawan,
senyanyian angin berkabut ke pintu-pintu rumah,
laksana sentuhan halus kidungan nenek moyang
bagi mata rantai abad menyulami malam bestari.”

(XXVII) Malam letih membekukan serpihan kabut,
berenangan di sungai dingin memetik kesucian purbawi,
atas kelembutan merajut kisah sejati;
panggung penuh pagelaran, siang diperjual-belikan,
penghuni bumi mata rantai, menghilang kala leburkan laku.
Pengkisah rasa, nafasnya sebatang nyala lilin memberi cahaya,
tiada nyawanya kekal walau tersambung sumbu;
timur-barat meleleh pemahamanmu,
dan jasad cepat-lambat berlalu, nyala api padam pula.

(XXVIII) Angin segar menaikkan tarian;
kabarnya gairah muntahan darah semangat luka diserah,
menyenandungkan kasihmu lekas menghabiskan nyawa.
Bergerak maju lebih tinggi dari menunggu dinginnya mati;
tuangan guci lagu busa, dentingan beling gelas pesta,
senyuman renyah tertikam syahwat, mabuk perasaan.

(XXIX) Angin berbisik tak padam di tengah kehendak,
biji api mengupas kulit daging membuka cermin kebaharuan;
”Aku nyala lilin dari kobaranmu selalu.”
Tubuh meleleh jiwa manis, maksud mengisi kosong malam,
tumpukan batu penjaga sunyi berkisah stupa bagi candi,
purnanya pengertian suci darimu telah terjawab;
karena gugup meragu dalam kepenuhan rindu,
jangan sampai punah, hingga hilang cemburu.

(XXX) Sepyuran rintik gerimis di tengah malam
menjaga jiwa sepi di abad gemerlap,
semula niat melangkah lalu mengekang pahit lidah;
seteguk air pengusir keluh, berlari-berseri
gemerincing nyanyian kereta kencana menjemputmu,
ditarik enam ekor ‘turangga’ bersayap putih keemasan,
menjelajahi alam tanpa tlatah ke seluruh jagad rahasia.

(XXXI) Begitulah kasih, bukan tidur dalam kecemasan,
tidak tenang dalam kekosongan; memikul beban lelah,
tercabik bila lena oleh tarian sebilah pedang di udara.
Nantinya raga berlalu lepas, hawa dingin meliuk,
para malaikat mencabut kehendak.
Sebelum merunduk mengintai, daun hijaumu berharga
ketika ujung timur melelapkan sang surya;
rombongan gagak terbang, tiap hari pergolakan,
perang meminta-minta tumbal anak-anak jaman.

(XXXII) Negeri teratai berkembang damai,
tapi kini tiada penghuni, raut-raut pucat dingin rasa,
masih ada permintaan nyawa, tumbal tergambar samar,
pemimpin lupa diri loba daratan; lautan darah, anggur suci
tumpah di meja peradilan.
Mereka mengikuti hukum sendiri-sendiri, pesta kematian;
matahari menggurit bencana, para perempuan tersungkur
demi impian purnama luka.
Tetesan darah terjatuh di kelopak retak,
mengusap bunga mawar berairmata duka;
teratai dalam senyap resah.

(XXXIII) Lukisan mega senja di telaga jingga,
minuman segar;
zaman edan, kiamat dipercepat maunya.
Kapal-kapal tiada berlayar,
dinding-dinding karang pecah atas angin menumpahkan gelora.
Kabarnya telah dekat, digulung peta waktu dunia ke akhirat,
kitab-kitab suci tak lagi mengusik kalbu,
sapu lidi mematung di sudut ruangan tamu.
Mereka lebih tertarik roman picisan novel mimpi, kan
tiada sampai, belenggu menenggelamkan di arus kemabukan;
burung bangkai lebih awal terbang memporandakan negeri kutu.

(XXXIV) Masa itu mengunyah empedu puluhan waktu,
punah orang suci jiwa; yang baik pamer kebaikannya,
yang jahat semakin beringas tiada malu.
Para cendekia lebih gila dari orang-orang tak waras,
mata sejajar sulit membedakan saat kejadiannya muncul;
matahari-bulan bertenggelam, satu di utara, lainnya di selatan.
Yang ikhlas merawat alam selalu diberi kemudahan bimbingan;
antara petaka dan pesta, antara darah juga telaga,
matahari sirna ketika malam memberi pengajaran kembara.

(XXXV) Sudah menjadi kodrat tiada dapat terelak,
mungkin hanya bisa dikurangi, seperti kata pujangga;
kan kembali teratai memekarkan kelopak ‘wengi,’
ibarat bocah di tepian telaga Mbalong Sari,
tanah lempung dijadikannya dunia sendiri, atau
menerbangkan layang-layang benangnya ‘nyantol’ di ‘barongan,’
kesedihan mendentang, biarkan teratai penyembuh prahara;
tanah sunyi, bau rumput mewangi, hening purna sadar diri,
bukan meninggi ke puncak berahi, namun
kehendaknya manunggaling kawula-Gusti.

September 2000. Gunung Kidul, Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *