BALADA TAKDIR TERLALU DINI

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=99

(I) Pada ketinggian uap di bawah naungan cahaya,
ruang penuh butiran embun berjatuhan ke muka samudera;
sebelum ombak renung melambai ke tlatah akhir jamannya.

(II) Datang waktunya, ia bersila di pusaran air mata air,
tiada kecipak, hanya bayu pemilik waktu menyisir permukaan.

(III) Asap dupa-kemenyan menyuling udara ketinggian,
atmosfer menjelma ramuan serupa kidungan di telinga petapa;
seekor merpati putih mengepak pulang ke sarang damainya jiwa.

(IV) Takdir digarisnya, keluh tercurah ingatan tertiup,
dari genting-genting cakrawala memuara di tanah kemarau
bagi segenggam kehampaan dalam dada, dan makna
terus menggali hangus, sebelum sampai masanya.

(V) Tanggalkan pakaianmu menyetubuhi ruangan,
putaran takdir secepat atom detik;
pecah atau beku, misteri suara-suara menggema,
memukul dinding air memercik ke wajah dunia.

(VI) Melewati tarian jemari mensucikan jiwa bimbang,
ruh gentayangan sukma penasaran, menetaplah di sini
bersama seringaian bintang menanti purnama;
mega-mega ditarik kehendak langitan
menyebar ke sudut-sudut cakrawala.
Singgasana malam terlukis di sana.

(VII) Gemerincing gelang tangan, binggel kaki penari,
sesyairan bathin ke lembah-lembah bersahut-sahutan
di kutub masa, tertulis sebelum juga sesudahnya;
inilah peristiwa pergumulan pasir pesisir,
lupa angin terik mentari atas petikan dawai cahaya
yang terkelupas kulitnya oleh pendakian pertama.

(VIII) Bunga-bunga berguguran
menyisakan harum di tanah kelahiran,
menuju purna, kering keemasan menjelma keabadian;
aku di kedalaman sana kekasih, bersama dirimu juga.

(IX) Tangan-tangan doa mencipta daya,
wewarna racikan suaranya terangkat kabut semesta,
memantul cahaya ke batu mencipta relief di Magoa;
benarkah ia pada letak semedinya?

(X) Usap rambutmu menikmati daun hijau bergoyangan,
warna-warni telaga tercecap mentari singgah;
ia duduk memandangi batu-batu pengetahuan,
melempar kerikil mengukur kerinduan gelisah,
menimbang kebaikan curiga, sebelum beranjak
menuju alam keabadian pujangga.

(XI) Melipat waktu longgar, helaian tangan kelembutan,
kelegaan nafas-nafas sebelumnya dituntun tetap menghirup;
nyawa terpenggal dipersatukan lapar merindu sebenarnya.

(XII) Di sinilah hisapan diatur,
ruang sempit menjelma magnit,
awan taman bunganya kata-kata,
rintik berjatuhan mengalir ke ujung ‘kayungyung,’
samudera ibarat alun-alun tempat anak-anak
sungai berjumpa, dewa-dewi menyatukan nasib.

(XIII) Seekor semut menyeret bayangannya
merayap merambat mendekati cahaya
dan kekupu menggelepar lelah ditelan ketiadaan;
memancar kunang-kunang pada kekhusyukan sujud.

(XIV) Asing baginya; seluruh penglihatan terhitung ganjil,
menggelantung benang-benang antara ada dan tiada,
sewaktu sadar, serentak tergerak sayang.

(XV) Suatu pagi selembar kertas berembun tersapu pedut,
bulan mengigau di kalender masa
dan bayangan pohon bergetar oleh kepemudaan segar.

(XVI) Teringat kembali tentangmu bebijian pasir huruf suci,
menggenangi malam bermakna di relung hidup berdegup
dan awan merapat pada dinding-dinding langit purba;
manusia menapaki tangga ke hadirat-Nya.

(XVII) Takdir tertulis segoresan tinta dilipat ganda;
pahatan niatan di ujung kalimat Ilahi.

(XVIII) Menyerahkan seluruh tubuh nyawa,
tiada terfahami ulang menghirup udara,
selain menghisap pepucuk daun cemara;
di sanalah tulang belulang digaris-kumpul,
laku perjalanan sedenyut gerak kasih sayang.

(XIX) Niat batuan magnit menarik bebijian besi,
menggetarkan lempeng hati fibrasinya dimengerti;
merubah subyek-obyek dalam ruangan. Dia kuasa
menggugah penggalian dari sumur tua bagi hamba,
akan terangnya cahaya menjernihkan mata bathin.

(XX) Tiada mampu merekam,
yang dengar tak lagi hafal atau sakit lupa tiada obatnya.
Hanya fajar mengembalikan rindu atas panggilan lalu;
baju putih, angkasa putih, lautan putih, dan segalanya
bagi terbimbing tertikam hati.
Selanjutnya ia bermunajad dalam ruangan semesta;

(XXI) “Kasih, kau tahu kerahasiaanku di rumahmu,
seluruh baju ke-duniawi-ku lepas dan rela menceraikan
pasangan-pasanganku; kau selimuti aku seberat kantuk
mesra, pesakitan itu perbaiki jalanku menuju kerajaanmu.
Dan hinaku lebih dari debu di halamanmu
yang engkau pagari dengan kepastian.”

(XXII) “Kekasih, aku bahagia sebagai pengemis
di perempatan jalan tengah kota demi menghapus
hidupku gila berharap oleh emosionalku tersesat.”

(XXIII) “Ku ikuti takdir sepi bercampur gelisah,
kematian mengingatkanku kepadamu;
mengembalikan rindu tumbuh tiada layu,
kemenanganku ialah duduk di sisimu sayang,
ketika semua melihat kita di tengah keramaian.”

(XXIV) “Kemauanmu hidupku lebur,
maka hempaskanlah lebih kencang;
kedahsyatannya ke pantai penyadaran.
Karang keangkuhanku teramat lemah,
bergulung-gulung ombak memecah
itu nasibku pukulan yang kau mau.”

(XXV) “Kadang aku membenci kecantikan alam,
kala bulan-gemintang tak menghibur kesedihan,
hanya embun kehadiranmu aku merasa tentram;
sahabat, sebenarnya kunikmat sendiri sunyi
namun kodrat mendorongku tak sepi,
kerahasiaanku penuh ada padamu.”

(XXVI) Ini sering terasa dingin-ngeri sepi-ngilu,
pandangan ‘klawu’ sampai cemburu pada mereka,
tetapi engkau menarik aku sambil berucap kata;
“jangan kau cemburu, sebab aku pun bisa begitu,
bila masa mudamu kau habiskan tak bersamaku,”
lalu aku tertimpa bimbang selalu;
“mana kecintaanmu bagi kepemudaanku?”…

(XXVII) Kadang kusangsi apa aku di pihakmu,
atau pada persekutuan musuhmu? “kau muda bersabarlah”
Suara itu datangnya dari sahabat yang menegur kepiluanku.
“Aku tak kuat sahabat, aku pernah jauh darimu. Karena itu,
apa kini kuulang kembali, menciptakan cemburu untukmu?”

(XXVIII) Ya Robby, berikan ia ketegaran,
kelembutan arif kebijakan kefahaman, dan lapangkan kerelaan
atas pintu-pintumu sebagaimana kau janjikan; kemudahan bagi
jiwa-jiwa kesabaran, menanti lagi mengharap kasih tersayang.

(XXIX) Ya pujaan terdalam, bukan ia tak terima kebaikanmu;
ia hanya mengeluh-mengadu, seluruh hatinya kau mengerti.
Bukankah kau tak rela, bila ia bersandar diselain pundakmu?

(XXX) Kabar kegundahan airmata kemenangan darimu,
ia cahayamu, bukan baginya kemuliaan;
setiap lempengan terpahat, kesedihan memberat,
jika dicukupkan sampai di sini, bagaimana bermesraan?
Ia sempalanmu yang merindu sayang bersamamu.

(XXXI) Mata klawu, kaki dan tangan kotor berdebu;
“akankah aku bahagia seperti mereka di bawah lingkup
kasih sayangmu? Membersihkan lumpur kaki di telagamu
dalam kepompong keikhlasan, yang kau curahkan.”

(XXXII) “Puaskan menguliti perasaan dan kuterima
kau marah sungguh kepadaku, sebab khilaf mengumbar
kesenangan semu; kau tertawa bercampur benci merindu
disaat-saat menyaksikan kemunafikanku kepadamu.

(XXXIII) Ku dengar satu bintang di langit
berkata padaku; “Bukankah aku lebih bangkrut?
Manusia bebas berkeliaran, sedang nasibku menunggu?
Energi yang diberikan habis, aku tak dapat berbuat lebih
sebagaimana orang-orang impikan. Maka ikhlaslah terima
selagi dirimu masih bernafas.” Setelahnya, bintang itu redup
dan tiada pernah terlihat kembali pada malam-malam serupa.

30 September 2000, Gedong Kuning, Yogyakarta.

Leave a Reply

Bahasa »