Nurel Javissyarqi
https://pustakapujangga.com/2009/09/for-j-w-v-goethe-ii/
(I) Faust, aku mendengarmu dalam keriuh-rendahan
tebing sukmaku; bukit-bukit berbaris menguji dakian ini,
raut yang jauh di atas pegunungan salju adalah milikku.
Kau dinginkan tubuh hujan, kapas randu menerpa
jubahmu, yang kumal bagiku ketuaan wajahmu;
memandang purbawi dunia dari segala yang ada.
(II) Kau terdiam serupa patung es,
tapi panas gemuruh sukmamu memanggil mereka,
kepadaku hendak persembahkan tarian di panggung,
ketika semua tenggelam dalam penilaian-penilaianmu.
Ku tebarkan bunga-bunga harum di pelataran kesucian,
air menyetubuhi mawar memercik pada kerajaan cahaya;
kebahagiaan hidup memberi, teruntuk tuntunan tebusan.
(III) Aku rela mengunjungi kepahitan,
yang hianat biarkan senang dalam sekejap;
kemenangan di kuburan atau berharap, inilah
jantung keabadian, tengah meneguhkan niatan.
(IV) Panggilan ruh ketinggian kerinduan langit,
yang digubah sebelum kita memaknai peribadatan.
(V) Api gentayangan menghancurkan timur-barat
demi kepuasan tanda, kegilaan terus mencari kebodohan,
sampai tua belum menemukan, menyulami waktu keluh;
keterasingan dalam penjara, jiwanya luruh bertalu-talu.
Terbebas terali besi, burung-burung tidak patah arang,
sebab Margarete menebusnya dengan cinta mematikan;
racunnya nikmat ditelan keutuhan.
(VI) Di sinikah tempatnya, mati berkeadaan penasaran,
burung elang mencincang seluruh tubuh, tak luput otakku;
aku terbang bersamanya, tanpa kau sadari kekenyanganmu.
(VII) Dari Faust kukejar bayang sukma memburu hantu,
menelusupi urat-urat nadiku, darah segar mengucur; siapa
bermandi di telaga darah? Pembantaian di jalan sungsang?
(VIII) Akulah bumi abadi yang kau hujamkan bibit padi;
pohon-pohon jati, kembang-kembang mewangi,
angin memberi nafas mengeja awan di pantai.
Aku sendiri tertikam sunyi mencekam,
dalam kebekuan masa meleleh kesadaran;
tangisan penyesalan dalam liang pekuburan.
(IX) Jalan terduga matinya pendapat
atas kesepakatan singkat; patahnya mawar,
durinya menggores kulit padamkan cahaya.
(X) Ini getaran jiwa perubahan;
arah kapal berlayar mengarungi harapan,
membelah gelombang atas daya kesungguhan.
Burung-burung bangkai mengepak ke tepian pantai,
pada tanjung karang, bintang berkerlip di ujung malam.
(XI) Ayunan tangkai teratai mengembangkan kelopak,
di tengah telaga bersama ganggang dan ikan-ikan,
sedang lampu-lampu pejala menerangi sejauh lemparan.
Pagi, tetesan embun ketinggian daun mendenting petikan dawai,
lagu damai mulanya hasrat,
lalu pertemuan menggugah semangat.
(XII) Segelas kohwa mulai dingin, sewarna mega terangnya
bulan, terselip pada malam-malam mengusir kantukmu,
meninggalkan yang terlewati, berjalan pada yang dicari,
kepada lereng pebukitan kasih, kebebasan daun-daun
mengenal akrab gelap dan cahaya mentari.
(XIII) Di sini letaknya, semua gentayangan terjawab;
menghantui bangun bertingkat, terbuka pintu berharap.
Itulah burung hantu menyampaikan salam kelelawar,
memanggil degup jantung, tertancap di selangkang
jemari, menangkap kabut berharap butiran kasih.
(XIV) Ada datang tiba-tiba, menggedor pintu dada,
rumah suwung dihuni laba-laba, debu-debu menua;
pada keningnya tergaris penyesalan matahari,
tak sanggup menyokong tulang, gejolak api jiwa.
(XV) Meniti hawa tidak kunjung lengkap,
menata bebatuan setingkat awan melayang;
itulah senjakala belum membentuk stupa.
Di mana tempat ini? Pada ketinggian bukit,
atau terlepas sekapuk randu menuwai mesiu;
terbang berangin kencang tiada berat tetap bersinggah,
walau setipis gravitasi cemburu menambatkan tali kuda.
‘Turangga’ sihir ajaib itu, sang tuannya datangkan badai,
ribuan hujan peluru menancap tak sempat melihat bekas
kejadiannya, namun pujangga tahu sebelum dan setibanya.
(XVI) Di mana asalmu? Di balik endapan awan ungu,
atau bersemayam di dadaku; seiman tak lepas bara batu,
wajah-wajah tidak khianat di atas tungku para Mephisto,
hanya tarian keikhlasan, anggur dzikir membumbung
meninggalkan tahta pertemuan, melebihi kasih sayang.
(XVII) Batu legam terbelah cahaya keyakinan;
perang di batas kulit nurani setipis nafas ari-ari,
serupa penciptaan batu para pembangkang, atau
menurunkan salju, meleleh di ketinggian lautan.
Dan naik menenggelamkan kepulauan,
sebesar lorong jarum, mengucur deras ke segenap
penjuru; kesadaran iman batasnya di tenggorokan,
maka bertakbirlah sebelum berperang.
(XVIII) Faust, kau sesekali melebihi malaikat
pun hina serupa keledai kudisan;
persekutuan sesat bersama kucing hitam,
kau celupkan tinta lalu melukisnya,
hingga seluruh jagad gelap.
Awan hitam arang berarak pekat
oleh desakan angin timur-barat,
merangkum tanpa cahaya bulan,
hanya kilatan-kilatan petir kau anggap ilham.
(XIX) Di mana ruh lama bangkit menggugat,
nyawa kembali menemui bumi tambah menuai,
mengantarkan tulang keropos ke tempat istirah.
(XX) Tangkaplah sendiri, ruh gentayangan,
terserah berjala, atau dengan jaring laba-laba,
adalah lebih baik merasai hembusan musim;
angin dan air kau terima, terangkum ke tubuh.
Meleburkan pori-pori udara waktu diterbangkan
sejauh kaki-kaki mengapit punggung ‘turangga,’
sekuat aura tidak melepaskan paras nan ayu.
Kau melesat, setombak ditali bendera semangat
tarian perang berdentuman,
membujuk awan menabur bayu menuwai hening,
kepada tahta perawan, asal nurani menjelma niatan.
(XXI) Yang tak ingin tua memburulah sebau kopi jantan;
peperangan, gelombang menerjang tanjung karang jaman,
seperti buah apel hampir matang pada pohon matahari,
senantiasa memberi energi, tak luput tentunya terasa,
daunnya gugur bersama pengertian masa dipaksa.
7 September 2000.