KEGILAAN VINCENT VAN GOGH

Nurel Javissyarqi
https://pustakapujangga.com/2009/09/the-craziness-of-vincent-van-gogh/

“Dengan keluguannya, wanita juga bisa indah” (Van Gogh).

I. Sejarah Cat

(I) Dunia berwarna-warni
malam-siang, senja dan fajar
menoreh menghampar memeluk langit;
kelelawar, burung gagak, menjelma sejarah.

(II) Tari-tarian tajamnya cat menghunus
serupa kematangan tubuh-gemulai bidadari;
matahari itu disergap bala tentara mendung
berderap kaki-kaki pada hari-hari kematian.

(III) Cat melukai tubuh kanvas, cair kental amarah
itu darah mengucur, dari dalam jasad bergolak keras.

(IV) Di sini tempat kesintingan diatur
wewarna dunia, tak lagi memuaskan mata
kata-kata, tak satu pun kenyangkan telinga;
dipotong jaman tiada mengagungkan karya
lantas keindahan tersungkur di kubangan purba.

(V) Palet mengingkari cat, khianat merobek kanvas;
hati penuh luka, tanpa asam cuka tiada warna perasaan.

(VI) Seperti tuak sanggup memabukkan galaksi;
menjungkir-balikkan planet, susah-payah gila
tak memberi kesegaran.

(VII) Kala nenek moyang, belum mengenal warna
pahatan di dinding gua, dalam nan dangkal cahayanya;
mengalir melewati sungai legenda, dan banjir air mata
mencipta keheningan, menambah puncak semedinya.

(VIII) Cahaya-warna penghiasi dunia
unsur-unsurnya menemui jagad sunyi.
Segala aliran ke muara; “Mereka saling bercerita,
bertemu luapan laut, padat berkeringat garam.”

(IX) Pada ruangan sempit
berseliweran udara mencipta warna
aromanya tak terpaku masa-masa.

(X) Pandangan dijauhkan, coraknya tersembunyi
menyetubuhi kebebasan menerka
dengan partikel galaksi cahaya rasa.

(XI) Serupa panggilan;
warna kematian diawal musim kerinduan
menapaki tanah lempung, pasir berbencah
alunan lagu menggapai mimpi-mimpi rindu.

(XII) Van Gogh; “Musim anak-anak
membentuk lempung mencipta boneka.”
Gundukan pasir menjadikan bangunan
dan dunia tercipta atas orang-orang setia.

(XIII) Malam-siang berkumpul
memberi paras lain bagi kembara sejarah;
menguliti kanvas hati, kuas takdir tergerak lincah.
Hanya sang gila, yang sanggup mengaduk perasaan
tubuh berjumpa maya pada alamat bersila
lalu malam purnama menerangi rawa-rawa
teratai bermekaran di kedalaman dada.

(XIV) Siapa menghabiskan warna menjadi yang utama
sepadan kata pujangga; “Derita pena pada hitamnya tinta.
Kertas-kertas persembahan, serpihan kabut bersayap
bau-bau dupa ciumlah, sebelum kau kehabisan usia.”

(XV) Wewaktu menjelajah sewarna pemberani
serupa debu-debu halus terbang pada kelopak mata;
atau sepyuran air mata, atas kupasan bawang merah.

(XVI) Kali memandang karya bergetarlah tanda
sempurna gila pada warna komposisi keblinger
menyesatkan penikmat, yang tak mereka reka.

(XVII) Ia dahaga menceburkan diri
bermandian cat menyetubuhi musim kemarau
melukis kesakitan dunia subyek, bergentayangan
momok rindu pujangga, bagi anak-anak jamannya.

(XVIII) Sesak berjubel warna menghentikan permainan
berbaring antara karya, terpejam bermimpi cat seluruh;
tubuh-tubuh dicabik palet, kuas dilempar pada kanvas
tersempal menggelantung, mencari selubung tulang.

II. Pernikahan Van Gogh

(I) Keluguanmu mempelanting hingga setuju
tak menjadikan obyek seluruh;
lukisan tak sempurna memberi kematangan
kau keganjilan sungsang, pemotong harapan.

(II) Hati berdebar tiada pernah usai menunggu
kau cemas merindu, sewarna langit senja menderu.

(III) Petang menyeretku tenggelam pada malam-malam
di keranjang bunga busuk, wanita luka terobati kuluman
bibir mawar hitam; selembut salep borok masa kan datang.

(IV) Hari-hari kesakitan juga bahagia;
memandangi karya menikmati dengan mata gelisah
mendung bergerimis lalu, pada ruh-ruh kegilaan biru.

(V) Ia campakkan jubah pengganggu, tubuh petapa
menjelma kuas di kanvas menyatu; campur-aduk di
dada, tumpah aroma derita, sedari budi pekerti semu.

(VI) Kepada bukit -matahari, menunggu tubuh terbakar
malam-malam merangkum dingin mengambili kembang;
ini lukisan masa-masa sebelum puas melerai
meninggalkan kering waktu penghakiman.

(VII) Sendiri jiwa beku, sebatang lilin tak diciumi nyala api;
derita telinga menjelma lukisan, lalu mereka gila perhatikan.

(VIII) Hawa panas berenangan di kedalaman
daya sempit angin timur-barat menampar muka;
aku telanjang kekasih, demi hidup memuaskanmu
lantas nafas-nafas nyawa nikmat atas perhatianmu.

(IX) Perkawinan menyakitkan, takkan mudah terlepaskan
kekasih lukisan-lukisannya habis, dan penipuan lebih seronok
awan-gemawan bercerita kucuran darah padat masa mendatang.

(X) Derita panjang membayar penuh sayang;
ia sedang berkubang, menggedor retakan tanah
demi kecintaan kepada mereka, rindu kegilaan.

(XI) Pasir pesisir berserakan di wajah senja
campakkan dirinya pada tepian samudera rasa;
begitu ia membangun dunia, hampir akhir di gubuk reot
dan debu-debu jatuh ke lantai, dari langit semakin rapuh.

III. Potret Diri Van Gogh

(I) Di kanvas sakit
cat sejarah nenek moyang menderapkan kematian
mendekat-lekat masa-masa muda di akhir hayatmu;
ialah laki-laki sekarat, antara bahagia warna gemerlap.

(II) Ia terseret dalam alunan pusaran kesadaran
rasa tegak lurus menghidupi beku terpotong nahas;
Siapakah ia yang berani menerima dengan tegas?

(III) Melukis terus berharap bayangannya jauh
di belakang kematian, sayap-sayapnya menuju impian;
ia bangun bertahun-tahun, langit tak menentu lapisannya.
Kata Van Gogh; “Kupampang wajah, kugantung berpaku
dengan jendela bulan, dan genting kaca sebagai matahari.”

(IV) Siang menguras keringat, sadar gila berkarya
seperti masa keremajaan bodoh dalam jeruji kecewa;
waktu-waktu berbingkai lukisan bagi cakrawala jiwa
dan kelak, para pelajar menjenguk kamar bersejarah.

(V) Dengan mantap, aku gambar wajah paling tampan
di antara potret diri; “Akulah Van Gogh menghantuimu.
Mimpi, itulah alamku sesudah kematian, dan tulisan ini
membimbing tuan-tuan mencapai ke kerajaan jiwaku.”

(VI) Degup jantung bergetaran; “Lihatlah gambarku
wewarna kugunakan mengikutinya, dan anak-anakkannya
mendukungku dalam setiap jaman. Lukisanku terpampang
pada dinding-dinding kesaksian.”

(VII) Aku bergoyangan sakit dalam permainan warna;
“Ketololan, itulah kecerdasanku laksana pedang berkarat
kebahagiaan tiada tara, melingkar-dempul sakit berabad
persekutuan wewarna catku, di kanvas-kanvas mereka.”

(VIII) “Oh, pernah kulempar potret diri itu tersenyum
lantas kuambil, kutempel pada dinding langit kamarku.
Setiap tamu datang ke rumah, pulang membawa tawa
pun sama dendam rindu menghunus, pada lukisan itu
yang tetap bergolak, bersama kawan-kawan mudaku.”

IV. Kematian Van Gogh

(I) Gerbang langit terbuka, tanah retak menganga;
tak menghindari masuk keranda
tak dibawa apa yang dicinta
tak ditemani apa yang dibenci.

(II) Tidur bersama kidungan serangga, harum kering
kemboja; tangisan sesal tertinggal melubangi tubuh-jiwa.

(III) Di atas langit nan resah
jangan-jangan diseret demi menuruni jalan hidup kembali.

(IV) Usungan keranda yang lalu, ia tersenyum;
para malaikat mencubit lesung pipit, katanya
bidadari menjemput cium, persoalannya.

(V) Kematian tak menentu, sepi dari keramaian spekulan.

(VI) Dirasakan tentram, dalam lingkup ‘lemah’ kelahiran
kesegaran dari sesuatu, setelah sakit menuwai purnama.

(VII) Beginilah, bidadari mengelilingi perjamuan tak
butuhkan waktu, semua berjalan penuh warna biru;
tidak dihirau malam-siang seluruh tampak murni.
Lukisan abad silam nan mendatang terpampang
dalam istirahku -kata mereka, aku telah terpejam.

(VIII) Di sini bayu berwarna, menelusup di dedahan awan
dan warna bunga-bunga tak sama, ini jelas lebih punya nafas.

(IX) Van Gogh menandaskan kalimat;
“Kegilaan tak seharusnya penuh, andaipun perasaan meluber
pada warna berbeda. Sedang kepurnaan hayat dalam kematian.
Bersamaan ini,
kutinggalkan sketsa-sketsa kasar yang terpenggal.”

5 Oktober 2000,
Teater Eska dekat Gajah Wong Studio, Museum Affandi.

Leave a Reply

Bahasa »