Kritik Cerdas Gaya Gandrik

Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com

Setelah menapaki perjalanan kreatif seperempat abad, kini siap bergerak dengan generasi baru.

Atas nama moral, Susila Parna, seorang penjual mainan anak-anak diringkus oleh aparat. Lelaki bertubuh gendut ini dituding telah melakukan tindakan asusila dengan mempertontonkan aurat di muka umum. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, Susila kegerahan karena terlalu bersemangat menari tayub. Tak terbersit sama sekali niat di kepalanya untuk memamerkan tubuhnya yang tambun, lengkap dengan perut buncit serta susu yang kimplah-kimplah.

Tetapi aparat tetap menganggap tindakan Susila sebagai sebuah kejahatan yang membahayakan. Apalagi di negeri tersebut baru saja disahkan Undang-undang Pornografi. Tentu saja, atas nama peraturan segala pembelaan Susila hanya dianggap sebagai angin lalu. Bahkan sejumlah barang dagangannya disita untuk dijadikan barang bukti.

Lakon di atas merupakan penggalan cerita Sidang Susila yang dipentaskan oleh Teater Gandrik beberapa waktu lalu. Dikemas dengan gaya komedi yang kental, Butet Kertaredjasa dan kawan-kawan mencoba mengkritisi keberadaan Undang-undang Pornografi di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.

Ketika Bengkel Teater yang dikomandani WS Rendra membabat kepincangan sosial dengan gagah perkasa, Teater Gandrik memilih melangkah dengan rendah hati. Sindiran menggigit yang mereka lontarkan bersih dari segala caci maki, tetapi dengan tepat berhasil mengenai sasaran.

Meski kerap menampilkan sindiran halus berupa guyonan parikena tetapi Teater Gandrik tidak memburu komedi sebagai tujuan utama. Komedi mereka tempatkan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral. “Tujuan kami adalah menyampaikan kritik, kalau ada penonton yang tertawa itu hak mereka,” kata salah satu pendiri Teater Gandrik, Heru Kesawa Murti kepada Jurnal Nasional, Selasa (18/11).

Pria yang pernah memperoleh Penghargaan Seni dari Pemda DIY ini mengatakan, latar belakang budaya Jawa yang kental memengaruhi gaya Teater Gandrik dalam menyampaikan kritik. Bagaimana mereka menyampaikan kritik bukan dengan acungan tinju, melainkan dengan gocekan atau olok-olok yang menghibur.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh dramawan Putu Wijaya. Ia mengaku terpingkal-pingkal ketika pertama kali menyaksikan penampilan Teater Gandrik saat memainkan lakon Orde Tabung. Bahkan menurut Putu, aksi kelompok asal Yogyakarta ini lebih mengocok perut ketimbang pertunjukan Teater Koma yang sama-sama menggunakan tawa sebagai amunisi.

Pendiri Teater Mandiri ini memaparkan, Teater Gandrik mampu menghadirkan lelucon yang lugu tetapi cerdas. “Seandainya saja mereka memacu keluguan tersebut dengan tandas, saya yakin pementasan akan padat dan berbobot,” kata Putu.

Kesenian Rakyat

Teater Gandrik berdiri pada 12 September 1983, di sebuah kecamatan yang terletak sepelemparan batu dari keraton. Pada mulanya, Teater Gandrik didirikan oleh Heru Kesawa Murti, Susilo Nugroho, Alm Saptaria Handayaningsih serta Jujuk Prabowo untuk mengikuti festival kesenian rakyat yang diadakan oleh Departemen Penerangan.

Usai festival tersebut, para punggawa Teater Gandrik kemudian bermusyawarah untuk menentukan langkah selanjutnya. Merasa memiliki visi dan misi yang sama, mereka pun sepakat untuk membentuk kelompok teater yang berpijak pada kesenian rakyat. Dua tahun kemudian armada Teater Gandrik pun semakin kokoh karena diperkuat oleh Butet Kertaredjasa, Djaduk Ferianto serta Whani Darmawan.

Kesenian rakyat yang diusung Teater Gandrik sebagai basis untuk berkarya dipegang teguh hingga 25 tahun. Bahkan kini mereka tak hanya menjelajahi kesenian rakyat Jawa, tetapi juga merambah pada kesenian rakyat daerah lain seperti Padang dan Bali.

Pengaruh teater rakyat sangat terasa pada sikap nyleneh yang mereka tampilkan dalam dialog serta pembelokan yang tiba-tiba dari adegan-adegan serius kepada kenyataan panggung.

Lihat saja pertunjukan Ode Kampung. Ketika salah satu dari ketiga pelarian dari rumah jompo berteriak memanggil kawannya, mula-mula yang dipanggil menyahut dengan suara sedemikian rupa sehingga terasa mereka terpisah jauh, padahal hanya beberapa meter dalam kenyataan panggung. Tapi ketika diteriaki sekali lagi, ia langsung menjawab dengan suara rendah: “Di sini…” dan imajinasi yang sudah dibangun penonton pun langsung ambyar.

Selain itu, pergerakan akting yang cepat di panggung juga menjadi salah satu ciri teater rakyat yang diadopsi oleh Teater Gandrik. “Tidak ada batas antara mereka memerankan tokoh, opini sosial atau situasi, semuanya mereka lepaskan dari kerangka sehingga lebih mudah dicerna penonton,” kata Afrizal Malna.

Sebagaimana galibnya dalam pementasan yang sudah-sudah, Teater Gandrik percaya pada kekuatan gaya sampakan yang meniadakan batas antara “aktor sebagai pemain” dengan “watak yang dimainkannya”.

Model permainan seperti ini juga sangat membuka peluang bagi para pemain melakukan improvisasi dan bahkan kadang-kadang melibatkan penonton. Pola sampakan ini diadaptasi oleh Gandrik dari banyak kecenderungan di teater tradisional Tanah Air. Misalnya saja, lenong Betawi atau ludruk Jawa Timuran.

Heru mengatakan, Teater Gandrik tidak pernah mematok gaya tertentu dalam berkarya. Menurut dia, berhenti bereksplorasi dan terpatok pada satu gaya merupakan ciri kematian sebuah kelompok teater. “Itu persepsi penonton, kami sendiri tidak pernah memproklamirkan kalau mengusung gaya tertentu,” ujar Heru.

Teater Gandrik memang sudah tidak mengalami masalah di tingkat keaktoran maupun penyutradaraan. Para personelnya merupakan para pemain watak yang masing-masing memiliki kemampuan di atas rata-rata.

Untuk penyutradaraan, Teater Gandrik menganut prinsip terbuka, tidak ada yang dominan ataupun otoriter. Masing-masing berhak menuangkan idenya ke dalam sebuah garapan. “Biasanya sebuah pertunjukan dikoordinatori oleh satu orang, dia yang mengatur lalu lintas ide supaya tidak semrawut,” ujar Heru.

Bakdi Soemanto mengatakan bahwa nuansa kesenian rakyat pada Teater Gandrik terasa semakin kental dengan iringan musik yang selalu merespons setiap aksen yang menarik perhatian. “Misalnya kalau orang marah dikasih gamelan, kalau di teater modern biasanya musik hanya berupa ilustrasi,” ujar Bakdi.

Meski berbasis pada kesenian rakyat, Teater Gandrik tak menelannya bulat-bulat. Mereka sadar mereka tak dapat menahan putaran waktu, maka jalan tengah yang diambil adalah mengawinkannya dengan konsep modern. Bahkan mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang paling berhasil mengawinkan konsep teater modern dengan teater rakyat.

Naskah merupakan salah satu konsep modern yang mereka terapkan. Meski tak baku karena akan banyak improvisasi di sana-sini, Teater Gandrik tetap berlakon berdasarkan naskah.

Bakdi melihat, prinsip teater modern bisa dilihat pada blocking yang teratur, timing yang tepat, dan light system. “Mereka mengeksplorasi teater rakyat dan kemudian mengawinkannya dengan teater modern, sehingga mereka bisa disebut teater postmodern,” ujar Bakdi.

Pendapat Bakdi diamini oleh Heru. Ia mengatakan bahwa dari segi artistik dan musik Teater Gandrik telah mengalami perubahan dari konsep awal. Sentuhan kesenian rakyat yang pekat, kini diwakili oleh simbol-simbol saja.

Demikian pula pada musik pendukung, sebagai perbandingan coba tengok dua pementasan Teater Gandrik berikut. Pada pementasan Mas Tom musik yang digarap Purwanto hanya memanfaatkan dominasi gendang, alu untuk memukul lesung, serta koor pemain untuk mengiringi pementasan.

Sementara pada pementasan Departemen Borok, ide cerita futuristik membuat Djaduk Ferianto sebagai penata musik menggunakan instrumen musik Barat seperti satu set drum, keyboard, bass, dan gitar elektrik, konga, flute, serta ukulele.

Regenerasi

Bertahan selama 25 tahun di dunia teater tentu bukan hal yang mudah bagi Teater Gandrik. Apalagi usia para punggawanya kini tak lagi muda. “Kami sudah tua, sudah saatnya melakukan regenerasi,” kata Heru.

Usia yang beranjak senja pasti menciptakan sebuah keterbatasan fisik bagi pesonel Teater Gandrik. Tubuh yang dulu lentur perlahan menjadi sedikit kaku, namun tentu saja hal itu tidak dijadikan hambatan oleh mereka untuk berkarya.

Dua tahun lalu Teater Gandrik merekrut sejumlah anak muda, namun yang bertahan hingga kini jumlahnya hanya sepuluh orang. Belum lama ini Gandrik Muda mementaskan pertunjukan Pasar Seret 3. Meski masih diperkuat oleh para personel lama, tapi para Gandrik Muda ini mulai menunjukan eksistensinya.

Bagi Butet Kertaredjasa, diwujudkan atau dipercayakan pada Gandrik Muda merupakan napas baru yang memberikan semburat semangat bagi kelangsungan komunitas Gandrik. “Bergabungnya generasi baru menambah kekayaan kreativitas di Teater Gandrik,” kata Butet.

Datangnya generasi baru ini juga diharapkan dapat berfungsi sebagai obat penyubur di tengah keringnya produktivitas Teater Gandrik. Sepanjang tahun 2000 hingga 2008 kelompok ini hanya menghasilkan dua judul pertunjukan. “Padahal idealnya kami ingin menghasilkan satu judul setiap tahun,” ujar Heru.

Para punggawa Teater Gandrik yang memiliki kesibukan sendiri-sendiri disinyalir menjadi penyebab mandulnya proses kreatif mereka sepanjang tahun 2000-an. Hal tersebut diakui oleh Butet. “Persoalan manajemen waktu, mengingat sekarang ini ritme hidup para pendukung Gandrik sudah sangat berbeda dengan tahun 80-an,” kata Butet.

Dengan konsep manajemen modern dan profesional, Teater Gandrik siap meretas masa depan berkesenian. Menurut Afrizal, hal itu akan semakin matang apabila Teater Gandrik bisa menyerap perubahan-perubahan yang terjadi disekitarnya. “Bisa dengan mengadaptasi musik hiphop atau video art,” ujar Afrizal.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป