Sajak-Sajak Mardi Luhung

korantempo.com

LORONG

Aku hadir ketika minyak tanah digelapkan dari neraca warung. Orang-orang dipaksa menggendong tabung gas. Dan si tuan mengawini perempuan dari gurun. Dengan mahar: bintang munting, kuburan para jagal dan sebuah mesin pengintai yang kerap memasuki kamar-kamar yang ada. Yang saling sengkarut. Mesin pengintai yang akan mengajari aku agar berkilah semacam ini: “Karena harapan tak jelas, aku mau jadi dukun saja. Jadi dukun yang punya mata menerawang,” Dan sebagai dukun, aku nanti akan punya nomer panggil sendiri. Siapa yang memanggilnya, tentu aku akan membantunya. Menandakan setiap kerusuhan yang akan menimpanya. Menyimakkan setiap nasib-kasip yang mengancamnya. Seperti pengabaran dengan janji-janjinya. Dan juga seperti para comblang yang selalu mengantarkan pengabaran janji-janji itu. Pengabaran yang sureal. Pengabaran yang membuat orang-orang yang ada akan melambaikan tangannya padaku. Sambil merona kelam. Atau sambil menghisapi tabung gas yang digendongnya tadi. Dan akh, lihat, lihatlah, tabung gas itu pun meledak. Meledakkan setiap yang melekatinya. Jadi apa orang-orang itu kini? Barangkali jadi seonggok daging yang tercacah. Ditanam di dalam pot. Lalu dikipasi. Dan tumbuhlah seratus atau lebih makhluk yang gentayangan.

Makhluk yang punya indra yang ganjil dan takabur. Yang setiap saat akan memasuki aortaku dan berlayaran di sana. Seperti pengembara lautan yang menantangi setiap yang tiba. Dengan kilat, petir atau api yang diseret-seret. Api yang begitu mencagak di sebelah mercusuar yang telah lama padam. Dan ketika ulang tahunku tiba (ulang tahun keempat-puluh), ternyata memang tak ada lagi yang dapat aku genggam. Sebab, setiap saat dan setiap waktu, aku hanya mengambang di lelangitan. Dan setiap itu pula, si tuan yang mengawini perempuan dari gurun tadi pun mendatangi aku. Perutnya tampak memelar. Kepalanya menebal. Menebal dengan silangan-silangan yang ruwet. Sedangkan, dua bola matanya yang melepuh itu pun dipertontonkannya pelan-pelan. Dengusnya: “Pergilah ke kedalaman dua bola mataku ini. Dan carilah sebuah lorong yang berduri di dalamnya. Sebab, di lorong itulah kau akan menemukan jawaban: mengapa kini semua mesti merangkak di kegelapan. Dan mengapa pula di dalam aortamu, ada pengembara lautan yang pikirannya begitu tak lagi bisa diobati!”

(Gresik, 2008)

SANGKURIANG

Karena aku tak percaya dia adalah ibuku, maka aku tetap jatuh cinta padanya. Lalu ingin memburunya. Memikatnya. Dan mengajaknya ke pantai. Melihat rembulan. Yang jika malam tiba selalu turun dan mencuci kulitnya di lengkung ombak. Dan gunung yang ada di belakang sana seperti menggeliat. Kata kabar, gunung itu dulunya adalah kucing yang dikutuk. Kucing dengan bulu yang meremang. Kucing yang pernah menjadi milik siapa saja, yang percaya, jika isi hatinya dapat dibuka-ditutup. Atau sesekali diiris kecil. Dalam bentuk terukur atau sembarangan. Seperti potongan dendeng kering. Dengan aroma anyir yang wangi. Aroma yang selalu meruap saat pulau yang tenggelam itu menghilang. Dan yang mati menjelma sinar. Sedang yang selamat, melambaikan harapannya dari atas bahtera. Di sebelah si orang suci yang bergumam: “Mengapa ada cinta terlarang yang begitu berani. Dan mengapa pula justru dari keturunan kalian yang merasainya? Ya, mengapa?”

“Tapi, ahai, apa jatuh cintaku ini salah?” Akh, karena aku tetap tak percaya dia adalah ibuku, maka aku tetap saja jatuh cinta padanya. Dan tetap ingin memburunya. Meski tak pernah sampai. Meski dari matanya, air mata terus berjatuhan. Air mata yang memercik ke setiap batu. Sampai batu itu berlubang. Lubang yang mengingatkan aku pada perut para serdadu yang kalah. Yang pulang dari medan perang dengan anggota tubuh yang berkurang. Anggota tubuh yang nanti akan berderak. Seperti deraknya batang-batang bambu yang runcing. Yang tepat di ujungnya, ada gandulan yang bertuliskan namaku. Dan ada pula, kiasan-kiasan yang memedihkan. Yang akan membuat aku menjelma seperti kucing itu. Untuk kemudian, segera dikutuk juga, jadi gunung yang lain di pulau yang lain. Pulau yang selalu berjalan di dalam tidur-tidurmu yang tak jenak. Dengarkan: mengapa si orang suci itu terus saja tak bosan bergumam?

(Gresik, 2008)

BAGAIMANA AKU BISA TAK PERCAYA

Kadangkala aku memang tak percaya pada hal yang musykil. Tapi, untuk saat ini, bagaimana aku bisa tak percaya. Ketika, tiba-tiba sepedaku berulah. Tak mau diajak jalan. Tak mau didorong. Apalagi dikayuh dan dikebut dengan kebat. Dan seperti seekor kuda yang berulah, sepedaku pun berulah dengan seenaknya. Lari sendiri ke bukit. Turun ke sungai. Dan sesekali menggaruk-garukkan tubuh-besinya ke pepohonan. Menabraki pepagaran yang menghadang. “Kembali, kembali, kembalilah kau sepedaku!” teriakku berulang sambil mengejarnya. Tapi sepedaku seperti tak mau peduli. Terus saja berlari. Dan terus saja menghindari kejaranku. Rasanya ada arah yang dituju. Dan lenyap.

Dan malamnya (setelah gagal mengejar), aku tertidur dengan gelisah. Di dalam tidur itu, aku melihat sepedaku berlompatan, dari satu genting ke genting yang lain. Lompatan yang indah. Yang mengingatkan lompatan bianglala. Ternyata, dari balkon gedung sebelah timur, ada sepeda lain yang tak berkedip melihatnya. Sepeda lain itu berwarna merah muda. Dengan garis putih terang. Dan setiap sepedaku melompat, sepeda lain itu menyalakan lampunya. Apa mereka berdua sedang bercinta? Dan apa benar sepedaku bisa bercinta? Sedang, jauh di langit sana, bulan pun sudah tak lagi bundar. Tapi, sedikit berubah. Seperti sekepal jantung yang segar. Jantung yang menggemaskan.

Lalu, paginya, ternyata sepedaku masih ada di tempatnya. Tetap bersandar di tembok. Bersebelahan dengan kulkas. Aku tak tahu, apa yang mesti aku lakukan. Menyentuhnya. Atau tetap melihatnya. Seperti melihatnya orang-orang padaku. Ketika aku menghitung, berapa jumlah kerikil yang ada di celana dalamku. Dan berapa pula, jumlah kelinci yang telah aku masukkan ke otakku. Kelinci yang mungil seperti bunga mungil: “Bagaimana aku bisa tak percaya pada hal yang musykil?”

(Gresik, 2008)

BELAJAR BERSEPEDA

Aku belajar bersepeda. Belajar di lembah. Dekat rumput, bunga dan kupu-kupu. Kupu-kupu yang jika malam tiba, selalu melepaskan rama-ramanya. Dan pulang telanjang ke dalam kerimbunan yang jauh ada di kenangan. Kenangan tentang sepasang kekasih yang selalu berjanji di pintu belakang. Aku tahu, aku harus menaiki sadelnya. Menyiapkan kaki di pedalnya. Lalu hup! Sepeda pun akan meluncur. Menembusi jarak dan angan. Dan saat itu, aku merasakan kenikmatan untuk pertama kali. Seperti kenikmatan pesakitan yang luput dari bidikan. Kenikmatan yang begitu terbuka. Seperti ingin merengkuhi keleluasaan.

“Ayo, terus, terus, terus!” Ada suara yang memantul dari pepohonan. Suara yang akrab. Tapi telah begitu lama aku lupa. Dan seperti rambatan, suara itu pun merambat ke mana disuka. Lalu jatuh pada sebuah tempat. Pada sebuah bekas. Yang kata hikayat: “Di sini dulu si penemu sepeda dihukum. Karena disangka bekerja dengan dukun!” Dan sampai pada sebuah belokan, sepeda pun tak terkendali. Terperosok di pusat lubang. Aku melayang dengan pelan. Jatuh dengan pelan juga. Dan aku melihat sebilah pedang terhunus. Kenapa mesti diarahkan ke leherku? Akh, apakah begini, ketika leher yang mesti menegak, dipaksa mesti tak berjejak?”

Tiga bidadari pun turun ke dekatku. Tiga bidadari yang warna-warni. Tiga bidadari yang seperti serupa. Dan seperti menempelkan getah mur ke keningku: “Kekasih, mengapa selalu saja kau ingat, ketika kau mesti menegak, ketika kau mesti menjejak?” Dan aku merasa, ada tangan gaib yang mengangkatku tinggi. Tinggi sekali. Jauh melampaui lembah. Jauh rumput, bunga dan kupu-kupu. Ya, di ketinggian itu, sepedalah yang justru belajar tentang aku. Menaiki aku.

Dan dunia kami, terbalik sepenuhnya bagimu….

(Gresik, 2008)

*) Mardi Luhung: penyair tinggal di Gresik. Bukunya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Pendiri komunitas De Nagari Gresik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *