korantempo.com
MERJAN
Seperti peragu aku selalu meragui langkahku. Sebab petak ini cuma mengarah ke samping kiri. Sedang kau berada di mana saja. Seperti keberadaan serbuk yang menyerbuki angkasa. Sampai bunga-bunganya cepat bermekaran. Bermekaran di lekuk-punggung-pelangi. Yang semalam menurunkan warna. Menurunkan rona bagi pipimu yang aku rindukan meluas. Aku ingin menari di pipimu? Tapi apa mungkin bisa? Inginku memang menggantang asap. Seperti inginnya para penujum. Yang tergesa membaca riwayat hari-harimu. Riwayat hari-hari yang gasal. Hari-hari tempat aku menyerahkan kerahasianku padamu. Juga dengan keutuhan yang barangkali tak sempurna. Barangkali malah juga tak sepenuhnya. Aku ini bidak sekaligus budakmu. Juga hasrat dan nafsumu yang malu-malu. Maka beginilah jika telah melepaskan segenap selubungnya. Hanya segumpil gugusan yang hadir. Gugusan yang berlesatan seperti busur lencir. Busur yang selalu mendekati keterakhiranmu yang akan terbidik. Seperti keterbidikan si martir yang terhuyung di lelipatan barzakh. Lalu menekuk dirinya, secemerlang butir merjan di pertukaran yang tak jamak.
(Gresik, 2008)
KAU TIBA DENGAN PERAHUMU
Kau tiba dengan perahumu. Menghilir di sela petak. Petak yang tak berdepa. Dan meluas seperti langit yang terlepas. Mana yang membawa pesan. Juga yang mencatat amal dan khianat? Atau lubang mataku yang telah meletus. Terkungkung oleh luncuran perahumu yang berat. Seperti luncuran gunung yang mengambang. Luncuran di pasir kuning dengan keong-renik yang coklat.
Oh, punggungmu memenuhi perahumu. Sedang rambutmu berjuntai seperti tali yang ruwet. Yang barangkali jika dicabut satu akan jadi titian. Seperti titian yang pernah aku pasang. Ketika kau berkata: “Kehati-hatian mestilah teruji!” Tapi, apa perahumu juga penuh kehati-hatian? Lewat asap yang muncul dari muara, kau tambatkan perahumu. Kau lambatkan geraimu.
Dan setelah segalanya berhadapan, tahulah aku, ada rengat di keningmu, gumpil di dadamu, lubang di perutmu. Dan dari semuanya, seberkas kilat memancar dari apa yang bertumbuhan di bayanganmu. Seberkas kilat yang pernah berkabar: “Di depan sana, semuanya bergerak. Dan yang paling depan, segera menciumkan keningnya. Sebelum menerjunkan dirinya ke rahasia amal dan khianat tadi!”
(Gresik, 2008)
PUNGGUNG IKAN RAKSASA
Di punggung ikan raksasa yang gempal tubuhmu terusung. Mengambang di lautan-garis yang selang-seling. Dan sekian bangkai anyir yang gembung menyembul dan mengembang. Seperti teratai yang bermekaran di pinggir-pinggir.
Jika begini, kau ingin membaca apa? Gurindam dendam ataukah syair berisik yang ditulis si nabi zindik?
Ataukah juga darah yang memercik di tiang yang jauh? Yang jika dilihat seperti prasasti yang asing. Yang pernah membuat pelaut bersalin rupa pelayat. Lalu menari ketika yang terusir itu diturunkan. Dan sebilah pisau disentuhkan.
Ke mulut-mulut yang tak bisa untuk terbuka. Mulut-mulut yang selalu ingin menyimpani langgam kedatangan dan kemenangan yang begitu meriah. Yang begitu sanggup membuat seorang-putri-rampasan maju ke depan.
Membugil, menegak dan meracau sambil memecuti diri sendiri.
Sebelum akhirnya, menciumkan bibirnya ke bibirmu. Bibir yang telah dicelupi madu dan racun. Semacam cairan yang nikmat tapi begitu cepat menyumbat jantung. Menyumbat seluruh hasrat yang ingin menggerakkan setiap langkahmu.
Lihat, punggung ikan raksasa yang gempal menyelam! Menyelam juga tubuhmu. Dan waktu itu, ada yang menangis sambil sesekali mencekik tawa.
(Gresik, 2008)
MATINYA BIDAK
Ketika kau mati, tak ada yang menangis, tak ada yang tertawa. Apalagi bertanya: “Mengapa kau mati? Apa karena ada anjing yang ngelindur. Atau karena ada dukun yang salah ramal?” Kau mati seperti biasanya orang mati. Sedikit tersentak. Sedikit terguncang. Dan sedikit ingin melihat bintang pulang.
Dan merasa, jika sewaktu-waktu atau pada permainan yang lain, kau akan dapat menepi dan menikmati semua yang terjadi dengan pikiran yang datar. Sedatar lapangan utama. Tempat para wanita menguncikan anak kunci ke lubang gembok yang ada di selubung debarnya.
Seperti debar si gaib yang memanggul salib runcing. Yang melewati kelok gang demi gang. Sambil tak bosan-bosan untuk menerima kilahan semacam ini: “Katakan tentang belahan-jiwamu yang selalu menguik. Yang mencari jarum di tumpukan jerami. Jerami yang tajam dan gatal!”
Segatal ukuran liang lahat. Yang dindingnya terukir semua peta. Yang menunjuk sebuah kisah, tentang ketika kau lari dari perbukitan. Menginginkan wajah dari seperangkat perkelahian yang bukan milikmu. Tapi selalu bersiul, ketika mencari setiap irisan tubuhmu yang kelak menjelma berudu!
(Gresik, 2008)
SAMPEK-ENGTAY
Aku ingin bercinta denganmu. Menekukmu dan mengirismu. Terus memakanmu seutuhnya. Biar dagingmu merabuk ke dagingku. Nyawamu mengurap ke nyawaku. Dan kita akan berkubur berdua. Seperti berduanya pasangan kekasih dari negeri tersembunyi. Pasangan kekasih yang jika malam tiba menjelma kupu-kupu kembar. Kupu-kupu kembar yang benderang. Yang keluar dari lubang kubur. Terbang. Dan hinggap pada mulut yang mengisahkan si yang terpukul. Hanya karena punya keyakinan berbeda. Keyakinan yang lebih berbulu dan bergerai. Keyakinan ksatria kuno. Yang selalu melawani kincir yang disangka cakar. Cakar garang yang selalu mengarah ke kita. Ke serbuk sayap kita. Dan ke gerak terbang kita. Dan sebagai kupu-kupu kembar yang benderang, apa kita mesti menyerah? Menyerah di ujung cakar garang itu? Tidak, tidak, kita mesti percaya, jika penyatuan tubuh dan cinta kita tak terkalahkan. Jadinya mari kita terus saja terbang. Dan terbang! Seperti terbangnya bianglala saat akan dijebak. Bianglala yang gemulai dan panjang. Bianglala yang selalu memasuki angan. Seperti memasuki dunia baru. Dunia yang tak pernah tersentuh oleh para pemukul. Dan oleh para perayap. Yang seumur-umurnya cuma bisa memandang sayap kita. Sayap kupu-kupu kembar yang benderang. Dengan mata yang penuh amarah. Dan kecemburuan yang demikian mengejutkan. Tanpa ampunan. Memang, aku ingin bercinta denganmu!
(Gresik, 2008)
*) Mardi Luhung: penyair tinggal di Gresik. Bukunya Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Pendiri komunitas De Nagari Gresik.