Sketsa, Syrup, Syahwat

S.Jai

PAGI hari di halaman belakang sebuah rumah kontrakan. Separuh matahari mengintip di balik salah sebuah bangunan. Tertahan tiang-tiang jemuran. Lantas cahayanya lepas.
Terdengar kokok ayam jantan. Suara kecipak air dari bak di bibir sumur. Perempuan Kunti membilas pakaian. Siaran radio. Berita aksi demo menolak kenaikan BBM.
Suara perempuan Kunti menggergaji ranti kayu, memecahkan siaran berita radio. Tubuh Kunti melintas lalu bersimpuh menyalakan api di tungku. Api membara. Gelomban siaran berita radio digeser musik hiburan. Mengalun sepotong lagu dangdut.
Kunti bersijingkat.
“Jangan diganti, Kunyuk!”
***

DI UJUNG gang tersembunyi. Bocah lelaki Alif Lam girang. Dia melompat cepat lalu ndoprok di tanah. Digaulinya semut-semut berbaris yang keluar masuk lorong hingga dinding bangunan tua. Didekatinya moncong mulut semut, didengarkanya bisik dan sungut-sungut yang bertubrukan. Dia mendengar hiruk pikuk dan kegelisahan. Dia merasa bisa mendengar berontak kemarahan, kegaduhan sekawanan semut.
Sorot mata tajam Alif Lam mencari kawan baru angkrang, kecoa, tikus atau anjing atau apa saja. Giliran Alif Lam mendobrak. Ia merogoh sebentuk cangkir bekas yang disimpannya di balik rerimbunan kembang.
Bocah itu berdiri dan cepat membuka resleting celana pendeknya. Lalu mengencingi setiap baris binatang-binatang malang itu. Sebagian dari sisa kencingnya, ia tampung di cangkir bekas itu. Sebelum akhirnya, ia lempar untuk mengusir anjing kudisan milik tetangga.
Alif Lam makin jalang. Ia mengerang iba. Seekor bebek kecil di dekatnya diatangkap. Diseretnya kemudian kepalanya ia pisahkan dari badannya dengan tangannya.
“Uhh!!!! Kapok!!!” Wajahnya nanar.
***

PULANG sekolah, sepatu bocah Alif Lam belepotan lumpur tanah. Persis di depan pintu, ia ragu-ragu. Sebentar duduk di muka daun pintu yang sedikit ngangga itu. Rasa lapar menyergap, membuat Alif Lam hilang sabar. Cepat dia ingin menyantap makanan di meja.
Di sisi nganga lubang pintu ia mengintip. Terus mengintip hingga terbuka lebar daun pintu rumahnya dan muncul keberanian Alif Lam mencuri waktu melihat ibunya di kamar.
Dibukanya pintu kamarnya yang tanpa daun. Jemari Alif menarik korden kain tipis. Maksud hati begitu hati-hati.
Betapa terhenyak bercampur takut, ketika Alif melihat sesuatu yang sama sekali belum pernah disaksikannya. Dia melihat dua tubuh, ibunya dan seorang lainnya lelakibukan bapaknya sehabis bersetubuh.
Dipan yang membelakangi korden, menjadikan sorot mata tajam ibunya jatuh persis mengarah lubang nganga korden, lalu melesat lepas.
Di tangan kanan ibunya, masih nikmat menggenggam benda sebentuk gergaji. Gergaji dan raut wajah Kunti.
***

DI BENAK Alif Lam, tubuh lelaki bukan bapaknya itu hendak dibenamkan ke dalam rongga-rongga tubuh ibunya.
“Ahh!!! Ampun!!! Brrrr!!!” Lelaki itu berteriak sampai suaranya tertekan sendiri.
Sebentuk benda keras baru saja dibenamkan di leher laki-laki bukan bapaknya itu.
Kamar gelap, tidak ada sinar matahari. Karena itu tidak jelas betul ada genangan darah mengalir. Sebagian mengering di atas kain sprei.
Cepat Alif Lam menutup korden dan menahan nafas, mata merah Alif Lam. Alif Lam bergegas melompat. Tubuh mungilnya menghantam daun pintu. Keringatnya yang sebesar biji-biji kacang mendadak muncul dan berserakan di lantar.
Bocah itu berlari kuat sepanjang gang, melempar sepatu dan tasnya. Menyusul kemudian seragamnya. Dia tak sadarkan diri begitu melempar seragamnya, ternyata didapatnya dirinya sudah jauh di luar rumah.
Sepasang seragam satu-satunya itu terbang melayang sebelum akhirnya jatuh terjerembab di sungai basah berbau sengak sampah dan kotoran manusia di seberang jalan.
Air kali yang hitam cepat melumat seragamnya. Bercampur plastik-plastik bungkus shampo, kaleng bekas, kawat gawat, dedaunan membusuk, gelas pecah dan karet-karet bau menyumbat selokan.
“Huh!! Hukkk!!! Alif Lam memegangi kerongkongannya yang sedang kumat.
***

ISAK tangis Alif Lam.
Di kamar perempuan Kunti, tak setespun darah menetes. Sprei dan tempat tidur masih teratur rapi dengan bantal guling di tempatnya.
Laki-laki masih segar dengan nafsu liar.
Silhuet lampu. Muncul bayang-bayang tubuh Alif Lam ditendang hingga terjengkang. Sepotong tempe goreng kering semula untuk membujuk bocah itu terjatuh di tanah berpasir.
Giliran laki-laki itu yang acuh. Di luar dugaan dengan wajah berapi, jari telunjuknya tajam diarahkan persis di depan hidung Alif Lam.
“Kowe boch cilik, jangan sekali-kali ganggu saja!”
Dia tidak mengangguk. Tidak pula menggeleng.
“Ini urusan laki-laki. Kamu masih kecil tahu apa. Ngerti?”
Alif Lam menangis sejadi-jadinya.
Lama tangisnya tidak berhenti.
Laki-laki bukan bapaknya kian berang. Alif ditendangnya sampai bibirnya mencium dinding berjurang.
Untuk kali pertama anak itu melihat darah keluar dari lubang hidungnya, setelah bekas-bekas luka menghitam di kulit tubuhnya.
***

DI TEPI kali menjelang petang. Seorang penyair berkhayal dan memperkenalkan keseharian jiwanya tentang Kunti.
“Kunti, akulah kemerdekaan bagimu. Seperti laut semua suara. Karena akulah laki-laki jalang yang sepakat bersetubuh dengan alam. Selamanya. Bukan dengan perempuan.”
Tiba-tiba penyair itu bertanya pada dirinya sendiri.
“Ah, apa aku sudah mabuk? Hei, aku cuma mabuk oleh kata. Bukan mabuk minuman.”
Lantas ia kembali membacakan syair-syairnya.
“Tak satu pun gang di daerah pinggiran yang miskin ini tak kukenal. Semenjak syair-syair tajam kubacakan semenjak itu pula aku berjalan menyusuri kemiskinan karena inilah jalan hidupku. Tubuhku akrab dengan alam, sorot mataku seperti sebilah pedang dan syair-syairku anak panahnya.”
Sebotol sisa bir masih di tangannya. Penyair mempertontonkan gairah hidup dan semangat jiwa bersahabat dengan imajinasi anak-anak.
“Satu dari bapakmu yang mengecewakan ibumu. Bapakmu tumbuh jadi manusia yang menahan diri dan puncaknya ia jadi penidur saban hari-harinya,” ungkap penyair itu.
“Menahan diri?”
“Ya. Bukankah bila Tuhan sebentar saja menahan diri, pasti dunia berhenti berputar dan semesta kacau dibuatnya? Karena itu Tuhan tak pernah menahan diri untuk bertindak, menciptakan, menjaga, mengatur dan membunuh sepanjang masa. Betul-betul Tuhan tak pernah kehilangan momen.”
“Jadi ibu tak suka orang yang menahan diri?”
“Lebih dari itu. Seorang ibu, ibumu yang benci setiap manusia yang mengumbar nalar tanpa menajamkan hati. Kamu tahu apa yang terjadi bila ini dibiarkan terus hidup? Bila bumi dipimpin orang-orang yang curang, kecurangan akan menjadi penduduknya.”
“Ibu tidak pernah terlalu jauh bicara seperti itu.”
“Itu hanya karena kamu tak pernah mendengarnya, bukan?” tandas penyair itu.
Alif Lam diam dengan mata yang tajam, penuh sesak pertanyaan.
“Tapi kamu mulai biasa dengan bicara ibumu, Nak. Tentang bapakmu, atau agar jangan seorang pun boleh mengganggu keluargamu.”
Laki-laki bermata tajam setajam syair itu mengisahkan tentang pribadi Kunti.
Sementara Alif Lam memainkan jari-jari tangannya dengan botol sisa minuman sang penyair.
”Kunti, perempuan ibumu itu berbicara bukan lagi sebagai ibu atau sepotong manusia, tetapi seorang ksatria. Laiknya seorang ksatria, setiap orang bakal dibuat percaya. Apa yang terjadi padanya bila semakin tumbuh rambutnya yang putih, semakin pula Kunti berbicara dan bertindak sebagai seorang ksatria. Ksatria bagi keluarga dan anak-anaknya.
Mendadak penyair itu cekikikan, barangkali bermaksud hendak meledek sebelum melanjutkan penuturannya.
“Lucunya, Kunti bukanlah ksatria yang memilih pedang samurai, keris, golok, panah atau tombak untuk dijadikan nyawa keduanya. Melainkan sepotong gergaji karatan yang dipilih mendampingi bagian dari sisa-sisa lakon hidupnya yang nyaris putus asa.
“Akan tetapi,” kali ini mata penyair itu menerawang lebih jauh. “Lebih dari sekali Kunti menyelamatkan nyawa bapakmu. Dasar bapakmu tak tahu diri untuk terimakasih! Bagi Kunti, terimakasih cukup dengan membuka mata saja.
“Ya,” kenang penyair itu. “Ketika asyik duduk di bantaran rel kereta, bapakmu pernah tertidur beberapa waktu lamanya sampai badan kereta yang seperti ular raksasa itu. Mulutnya terbuka nyaris menyambar daging dan tulangnya.
“Pernah pula,” lanjutnya. “Waktu itu di emperan rumahnya, tidur suaminya dibuyarkan Kunti beberapa saat sebelum truk besar bermuatan besi beton mampir dan nyaris meremukkannya. Pada saat seperti itu Kunti seringkali tampil melebihi seorang manusia, melebihi seorang ksatria yang menjaga keluarganya.”
Lalu apa? Siapa dia?
Moncong mulutnya menenggelamkan bibir botol. Sayang isinya telah terkuras habis.
***

LAGI, malam itu ranjang kamar rumah kontrakan Kunti kusut. Dua tubuh laki perempuan tergolek diam. Nafasnya kacau, badannya meringkuk seperti mengendusi bau busuk. Tinggal kaki-kaki yang bergerak mencari kain-kain pembungkus badan yang semula terlempar. Kebingungan seperti kehilangan celana dalam dan juga kutang.
“Dulunya suamiku seorang yang penuh gairah,” kenang Kunti.
“Gairah?” desah lelaki tak peduli.
“Ya.”
“Kenapa sampai Alif sebegini besar, belum juga ada adik baru di rahimmu?”
“Ah, kamu polos sekali pertanyaanmu. Adik baru. Rahim.” Diam-diam hati perempuan Kunti amat terpukul. “Mustinya, ini juga yang harus aku sampaikan pada suamiku. Terus terang sama sepertimu.”
“Aku tahu ada masalah besar pada diri kamu dan suamimu sampai seperti sekarang, Kunti.”
“Tidak sepenuhnya kamu tahu. Ini akibat suamiku banyak menahan diri.”
“Menyiksa diri, maksudmu?”
“Nggak ada bedanya memang.”
“Terus?”
“Perasaanku ada yang hilang.”
“Perasaan?”
“Sudahlah, berkali-kali aku katakan padamu. Kamu tidak akan mengerti perasaan perempuan, ibu, istri dari suami seperti itu.”
“Ayolah. Jangan kamu sembunyikan sesuatu.”
“Seperti penyair, suamiku seorang yang luar biasa menghidupkan kata. Setiap kali merayu sebelum tidur, perasaanku tak bisa digambarkan karena bila hendak senggama dibisikkannya sesuatu ke telingaku. Kamu tahu apa itu?”
Seperti ada yang menghentikan hidup lelaki itu, otaknya serasa tak berfungsi dan jaringan syarafnya yang asing berdenyut di bawah perutnya. Pelan-pelan dia menggeleng.
“Gergaji!! Seperti ini,” tandas Kunti mempertontonkan benda yang dimaksud dengan menarik barang itu dari balik kain di atas bufet.
Laki-laki itu cepat melompat. Lalu tertawa ngakak. Kunti pun bangkit cekikikan. Tak peduli bila segalanya tak berarti.
“Sungguh,” imbuhnya. “Dia sebut beberapa kali. Kadang-kadang dia juga minta aku duduk di atas kompor.”
Keduanya masih cekikikan. Tanpa baju tanpa celana.
“Untuk apa?” lelaki itu memburu tahu.
“Seperti juga aku, dia ternyata suka sesuatu yang panas.”
Kunti dan lelaki itu makin hebat tertawa. Tidak peduli tetangga. Seperti halnya lelaki itu, sama sekali perempuan Kunti tak menahan diri. Sebelum akhirnya sama-sama membeku. Serasa syaraf otaknya dihantui sebentuk benda penuh gerigi karatan. Persis gergaji.
“Sekarang…” Kunti meledakkan dendam, gairah, nafsu, obsesi dan pelbagai perasaan. “Kamu bisakah bayangkan bila sejak sepuluh tahun lalu bisikan itu tak lagi ada. Bila sejak lebih sepuluh tahun lalu, setiap kali melakukannya, hanya dalam hitungan menit suamiku lalu tertidur mendengkur, telungkup di atas tubuhku.”
Kunti menghunjamkan perasaannya.
Di kepala laki-laki itu, seperti ada bagian tubuh suami Kunti yang hendak di benamkan habis ke dalam rongga tubuh Kunti. Bersamaan itu seperti baru saja ada sebentuk benda tajam bergerigi habis ditanam di leher dia sendiri. Pembunuhan adalah kosa kata yang berdiam di benak lelaki itu.
Kamar gelap, tidak ada sinar matahari sore. Karena itu tidak jelas adakah gerangan darah mengalir atau mengering di sprei.
***

PINTU rumah kontrakan Kunti meledak. Petang itu berbarengan dengan tubuhnya yang terbang tak terkendali, membelah daun pintu. Dengan rambutnya yang tergerai bebas, mengenakan selendang berkeliaran, tubuh Kunti tenggelam dalam sukmanya yang liar. Tubuhnya nyaris lupa bila sedang menggenggam sebilah gergaji.
Di pekarangan itu berkumpul penduduk kampung. Tanpa suara. Mematung dengan sorot mata berkaca-kaca namun nyaris tanpa makna.
“Aku peringatkan kalian, jangan coba ganggu keluargaku! Segala yang terjadi di keluargaku tak seorang pun boleh ikut campur—sekalipun itu tentara. Jangankan untuk menghadapi kalian, mulutku ini bisa pula melebihi kilatan petir. Kalau kalian punya nyali menyebutku perempuan jalang, aku nggak ragu-ragu memperlakukan dagingmu seperti daging anjing. Jangan remehkan aku. Aku katai seperti ini karena aku hanya ingin membalas cara kalian yang melihat keluargaku lebih rendah dari anjing. Apa kamu kira keluargaku makan daging anjing? Aku peringatkan kepada kamu, sayangilah nyawamu. Kamu lihat apa yang kubawa? Kalian mau kurebus daging kalian dengan bumbu kaldu lalu kuhidangkan pada anjing, hueeh? Jawab!”
Kunti mempertontonkan gigi-gigi gergaji setajam taring macan. Demikian akrab tangannya menggenggam. Dia meringis bermaksud memperkenalkan senyum dan gerakan seorang pembunuh berdarah dingin.
“Kalian perlu tahu, sekali saja sorot mataku tak pernah tergelincir dari ujung tiap gigi gergaji yang tajam karatan ini. Itu karena mata-mata jemari tanganku ini tak pernah ada yang menandingi biarpun oleh mata buta seekor kelelawar. Ya, mata jemari ini telah bertahun-tahun terlatih ketangkasannya, tak silau oleh mentari, tak rabun oleh kabut malam dan tak lekang dimakan zaman. Biarpun mata jemari yang telah menumbangkan ratusan pohon di ujung gigi-gigi gergaji tetapi tak pernah sejenak saja lupa mana anyir getah pohon dan amis darah manusia.”
Sepenggal calon korban nyata-nyata lari tunggang langgang membayangkan kengerian. Persis seekor nyamuk sial berhadapan muka dengan pemburu mengokang sebilah tebah.
“Kalau aku mau, jangan dikira aku tidak bisa menghapus matahari. Dengan tanganku ini aku bisa,” perempuan Kunti makin sulit mengendalikan diri.
“Apalagi cuma mengganti tubuh suami yang tamat riwayat. Apalagi cuma mengambil alih peran kepala rumah tangga dari tangan pria yang hitam kulitnya oleh bekas koreng. Enteng!! Kalian tahu jelek-jelek perempuan seperti Kunti ini oleh yang maha hidup dibekali hati dan perasaan tajam. Aku bisa menangis seperti perermpuan lain, tapi tangisku ini seperti jarum-jarum hujan dihempaskan dari langit dan yang ditaburkan ke tengah laut. Jangankan sebatang tubuh manusia atau binatang. Sepercik bayangan hitam atau suara saja, yang terbukti mengganggu, aku tak segan cepat membunuhnya. Kalian bisa pilih, sekali lagi ada yang mengusik manusia Kunti dari kehidupannya di bumi, gergaji ini akan kubenamkan di batang leher kalian. Sebelum kemudian tanganku yang giras ini memotong satu persatu daging tubuh dan mengumpulkan penis kalian untuk campuran sayur rawon dan pelengkap rempeyek kering.
“Ah, tentu kalian mengira perempuan Kunti ini kesurupan. Terserah kalian karena aku sendiri juga tidak pernah mengerti mengapa terjadi seperti ini bahkan setiap hari hingga bertahun-tahun. Seperti kalian juga yang sama-sama punya anak, aku sedikit beruntung bisa bercermin pada diri putraku. Aku selami jiwanya dan aku rasuki otaknya. Aku bisa melihat bagaimana perempuan ibunya ini masuk tak terkendali dalam bagian tubuh Alif Lam, putraku. Entah sadar atau tidak dia kagumi ibunya—kekaguman sorang anak tentu tanpa ucapan terimakasih. Aku terus bercermin dari hari ke hari, dari pagi, siang, petang maupun malam hari. Bahwa bagi Alif Lam, putraku, seperti juga kemauanku sejak melahirkannya, lebih dari sekadar tahu, ibunya adalah sorang ibu yang dinamis, perempuan yang ruang gerakknya demikian leluasa, sekaligus istri yang tak pernah tidur. Begitu dinamisnya, seolah-olah tak ada yang berhenti dalam tubuhku ini seperti halnya semesta dengan ruh hidupku yang tak pernah mati. Inilha ruh hidup dari seorang ksatria yang setia, seonggok daging manusia pembela kebenaran dan keadilan yang dipilih Tuhan untuk mewakili dunia. Dia Berdiri dalam keheningan keluarga dan yang dikirimkan untuk Alif Lam agar mengasihi anak-anak dengan mulut dan dada terbuka.
“Apakah ada yang masih meragukan perempuan Kunti ini kesurupan atau tidak? Di luar rumah saja, orang seperti kalian boleh kesulitan menentukan kebenaran dan keadilan. Di luar sana masih banyak perempuan atau lelaki yang kebingungan mencari arti bagaimana ksatria itu bekerja, hidup dan menghidupi dirinya. Tapi itu semua tidak terjadi dalam rumahku ini. Di tempat ini segalanya itu jadi gamblang, tak perlu diperdebatkan. Kedatangan kalian kemari memang mengganggu aku, tapi aku juga harus berterimakasih kepada kalian karena sudi membuka pagar rumahku meskipun tanpa permisi. Sekarang pulanglah. Hari sudah malam. Malam adalah waktu yang tepat untuk kesempatan mencari jawab siapa sebenarnya di antara kalian semua yang kesurupan. Wajar kalau terjadi ada ayam-ayam kalian yang sulit mencari pintu masuk untuk pulang ke kandang, karena itu perlu diselamatkan. Tapi kalau ini terjadi pada manusia macam kita dan kesulitan mencari jalan pulang untuk bis selamat sampai di rumah, itu berarti malapetaka. Pulanglah! Kalau kalian tetap ngotot mau mencampuri kehidupan pribadi dan keluargaku, apa boleh buat. Kalau kalian memaksaku untuk memberi tahu pintu keluar masuk kehidupanku, datanglah bila aku punya waktu senggang dan akan kutunjukkan, di sini!”
Kunti memegangi kuat-kuat vulva vaginanya. Musik dangdut dari tape recorder di pasang keras-keras.
***

MALAM. Di sebuah ruangan rumah Kunti. Alif Lam mengusik ibunda Kunti.
“Ibu masih muda. Gergaji di tangan itu membuat ibu dianggap bukan lagi manusia. Mengapa ibu nggak buang gergaji itu. Untuk apa ini semua?” pintanya.
“Kamu nggak ngerti bagaimana jadi seorang perempuan seperti ibu. Kamu nggak akan pernah mengerti perasaan seorang istri sampai lebih percaya kepada gergaji daripada kepada suaminya sendiri,” Kunti berkata dengan kelembutan seorang ibu.
“Kalau ibu diam, terang saja nggak akan pernah aku mengerti.”
“Apa mau kamu sekarang, Nak?”
“Ceritakan kepadaku, tentang gergaji itu.”
Kunti mulai menceritakan pada Alif Lam asal muasal gergaji itu.
“Gergaji itu membuat ibu sulit bisa tidur.”
“Kok bisa begitu, Bu?”
“Karena ibu nggak bisa tinggalkan gergaji ini nganggur di tempatnya. Ibu harus kerja. Kerja dan terus kerja. Ibu percaya gergaji ini sahabat ibu yang sanggup ibu pergunakan untuk apa saja, memotong apa saja.”
“Ibu tidak tersiksa?”
“Hanya orang sehat yang tidak punya siksaan. Sepanjang hidup ibu. Ini penyakit yang amat menyiksa.”
“Jujurlah ibu, ada apa sebenarnya?”
“Tanyakan itu pada bapakmu. Sebelum tumbuh dewasa, kamu harus tahu ini. Rahasia apapun telah ibu buka di luar rumah, tapi ibu nggak ingin anaknya sendiri telat mengetahui isi rumahnya,” Kunti tak bisa sembunyikan mata tajamnya.
“Ibu tahu bukan, bapak tidak pernah buka matanya, seperti mata ibu. Bagaimana bisa aku dapat jawaban dari bapak, Bu?”
“Begitulah bapakmu. Bukan bapakmu, jika tidak begitu. Dia selalu tidur sepanjang waktu. Satu-satunya alasan bagi dia untuk bisa bangun cuma menyantap makanan.”
“Kalau cuma makan saja, bapak nggak perlu buka mata, ibu. Mulutnya mengunyah nasi seperti sapi tapi jiwa raganya tidur mendengkur persis babi.”
Kunti terus bercerita. Bahkan lebih menyayat.
“Bapakmu yang tertidur tak pernah bangun sampai usianya di ujung senja, bila parak pagi tiba…
Laki-laki suami Kunti menunggui tungku. Setiap Kunti usai memasaik, laki suaminya itu sebentar bangun menyantap hidangan. Lalu kembali mendengkur. Bangun di siang hari mengisi perut yang kosong, lantas berak terus molor lagi. Bangun lagi di sore hari, makan, kemudian tewas lagi.
Kejengkelan perempuan Kunti menghebat di saat kelakuan lelaki suaminya masih dengan mata tertutup melempar komentar-komentar tak bermutu sampai berbusa di moncong mulutnya. Betapa sakit hati Kunti mendengarnya.
“Itulah sebabnya, mustahil ibu mengurus dapur keluarga tetangga, seperti halnya ketika ibu bicara setiap yang bertamu ke rumahnya selalu dia ingatkan agar tak coba-coba mencampuri bahtera rumah tangga kita. Di rumah ibu percaya gergaji. Siapa tahu di luar banyak cerita tentang istri-istri yang bersahabat dengan kapak, parang, cangkul atau pistol.”
“Maafkan Alif, ibu. Alif belum mengerti maksud ibu.”
“Ibu tidak akan menyalahkan kamu, Nak.”
Pagi selanjutnya, di dapur rumah Kunti.
“Hebatnya, apa yang dialakukan dalam tidur? Sungguh tidur atau bersandiwara? Apa dia mampu terus bermain untuk masa bertahun lamanya semenjak sepuluh tahun silam? Mungkinkah dalam tidur, dia mengeja masa silamnya? Ataukah tidur adalah semacam pil penyembuh sakitnya dalam hidup di dunia yang sebentar ini? Bukankah sesuatu yang mungkin, tidur baginya ibarat perahu yang membuang jangkar ke pinggir pantai, dengan tidur dirinya ingin melucuti pakaiannya yang bernama tanggungjawab itu? Mati surikah?”
“Mana yang betul, Ibu?”
“Semuanya bisa betul. Kamu tahu, tidak ada yang salah dalam hidupnya. Satu-satunya kesalahannya, dia punya mata. Kesalahan kedua, dia punya nyawa. Nyawanya sendiri. Itulah sebabnya, kenapa setiap kali ibu bermaksud membunuh bapakmu selalu gagal. Ibu tak punya hak…”
“Apa maunya ibu?”
“Ibu biarkan bapakmu agar mati sendiri di kasur.”
“Ngak berhasil?”
“Nggak.”
“Kenapa ibu?”
“Justru itu yang membuat ibu sedih.”
“Ibu yakin bapak itu manusia? Bagaimana kalau hantu?”
“Di kampung ini memang banyak hantu. Tapi bapakmu bukan hantu. Buang jauh pikiran kamu itu!”
***

MALAM itu terjadi keributan di pekarangan rumah orangtua Rukbi. Jerit setengah tangis bocah perempuan sahabat Alif Lam itu bertubrukan dengan teriakan bapaknya. Bunyi sepatu sandal yang dilempar persis mengenai daun pintu.
Kegaduhan isak dan jerit tangis berebut nyaring lengking suara adzan isyak di masjid ujung gang.
Rukbi cepat berhamburan keluar. Tanpa sandal. Sebentuk tabungan ia genggam ke luar pintu. Berlari sepanjang gang untuk bertemu di suatu tempat dia membuat janji dengan sahabatnya—Alif Lam.
Sepanjang jalan tak ada suara kecuali suara malam dan sisa tangis perempuan kecil Rukbi. Sesampai di tempat yang dituju, pelang-pelan nyaris berbisik memanggil sahabatnya Alif Lam. Menyusul kemudian bocah itu muncul dari balik tembok bangunan tua.
Disodorkannya sebentuk tabungan itu pada sahabatnya.
“Kenapa menangis?” Alif Lam ragu-ragu buka suara.
“Belilah seragam sekolah dengan ini,” bujuk Rukbi.
“Dimarahi ibumu, ya?”
“Bukan. Bapak,” jawab Rukbi.
“Soal ini?”
“Ya. Tapi ini duitku. Bukan duit bapak.”
“Kamu kerja?”
Rukbi mengangguk. Entah benar atau tidak.
“Kamu seperti ibuku. Bekerja. Tapi ibuku tidak pernah menangis.”
“Apa kerja ibumu?” Rukbi tak kalah polos.
“Ibu tak pernah cerita kamu?”
Gadis cilik itu diam. Lalu tersenyum.
“Bantu ibumu jualan, ya?”
Gadis itu mengangguk. Diusapnya wajah dan airmukanya. Lalu dirangkulnya Alif untuk beranjak pergi.
“Besok cepatlah beli seragam, agar tak dimarahi ibumu.
***

“AKU bisa sekolah lagi. Bisa belajar mengarang lagi di sana. Jangan menangis lagi, ya?”
“Ya. Aku janji,” tandas Rukbi.
“Main ke rumah sebentar mau?”
“Biar kamu nggak dimarahi, ya?”
***

SUATU pagi lelaki menyelinap ke dapur Kunti. Derit engsel pintu kayu dan derak papan terinjak mengagetkan perempuan Kunti yang sedang mengoreng ikan asin.
Dari arah belakang, memunggungi daun pintu laki-laki itu langsung membekap kasar perempuan Kunti.
“Suamimu?”
“Ngorok! Mau apa lagi kemari, ha?”
“Ssstt…Nggraji!”
“Utang kemarin belum kamu bayar. Jangan macam-macam.” Sesuatu membuat Kunti bertindak lebih kasar.
“He, aku kemari juga mau melunasi utang, sialan!”
Sejenak Kunti biarkan tubuhnya diperlakukan bukan seperti perempuan biasa. Utang membuat nyali keperempuanannya cuma setengah badan. Sedikit ia mendongak ke arah bambu, nampak tangannya merogoh syrup jeruk segar dalam bungkus plastik, gelas dan kemudian sedotan bekas. Dibukanya plastik itu dan diseduhnya syrup biarpun dengan air dingin.
Laki-laki itu kian ganas menyerang sekalipun berdiri dekat api panggang.
Kunti pelan-pelan menyedot minuman rasa syrup jeruk segar. Tangan kanannya riang memegang segelas air dingin dan segar. Sebelah kirinya, melumat sebentuk batangan yang hangat, menggenggam kuat dan terjepit sumpek mencari lubang sempit yang terhimpit.
Dua pasang mata mengintip dari balik sisa pintu yang terbuka. Bocah. Dua pasang mata milik Alif Lam dan Rukbi yang mencari jawab pekerjaan Kunti. Di benaknya sama-sama tumbuh perintah Tuhan untuk tidak boleh menyaksikan persetubuhan. Sesuatu telah memaksa keduanya. Dari punggung kedua pasang persetubuhan tak ada pilihan lain kedua bocah menunggu untuk sama-sama melihat dada.
Dengan sesak nafas yang tertahan, kedua bocah yang terbiasa mendengar mulut mendesah atau mengintip dua tubuh yang menumpuk itu sabar menanti.
Kunti dan laki-laki itu saling berputar menukar tempat. Mendadak Rukbi terhenyak. Cepat dia balik badan dan ambil langkah seribu. Disusul kemudian Alif Lam.
“Siapa itu?” lelaki berbisik berat.
“Anakku.”
“Ah, persetan!”
Cuilan ikan asin sisa kucing mengerin di penggorengan.
***

DI UJUNG gang, pagi itu dalam pelarian. Kembali Alif Lam kehilangan. Sebentuk tabungan yang dia genggam jatuh tergelincir dan berguling-guling sebelum akhirnya terjun ke rahang sungai. Dilahap sampah-sampah basah.
Alif Lam kalap. Bocah itu tak peduli. Dia terus mengejar sahabatnya, Rukbi yang melupakan janjinya untuk tidak lagi menangis.
Kian mendekat, persis di punggungnya ditariknya kuat-kuat kemeja gadis cilik itu. Dia terjatuh. Demikian pula dengan Alif Lam. Berguling-guling di tanah. Bertubrukan masih dengan sedu sedan tangis yang liar.
Keduanya duduk berpelukan kasar laiknya tidak seperti anak-anak, untuk beberapa saat. Kekejian terjadi antara dua tubuh bocah itu.
Selama itu Alif Lam memandangi teliti seonggok tubuh tua tidak jauh dari tempatnya. Matanya, rambut putinya. Keriput kulit mukanya, tangannya, dadanya. Ia menikmati sebagai benda yang rusak tak berguna.
Entahlah, lantas bocah lelaki itu mencari sesuatu yang sama sekali tak ia temukan. Jalan. Sekolah. Gedung tinggi. Langit. Bulan. Bintang.
“Kamu masih temanku Alif?”
Alif Lam mengangguk.
“Janji?” desak Rukbi.
“Janji.”
Rukbi menahan bicaranya. Dia sadar pertanyaan ini jadi tidak penting. Dia sadar dirinya juga tak penuhi janji untuk tak lagi menangis.
“Kamu yang ingkar janji,” tandas Alif Lam.
“Maaf. Memang sebaiknya anak kecil seperti kita dilarang berjanji.”
“Apakah kita masih perlu merasa seperti anak-anak, Rukbi?”
Lagi Rukbi dibuat tertegun. Diam-diam suatu keberanian telah tumbuh dalam diri bocah perempuan iu. Barangkali ia kemudian merasa jadi laki-laki.
“Ya. Tumbuh dewasa saat ini atau nanti sama saja.”
“Mungkin kita dicap nakal. Tapi kita merasa jadi pintar.”
“Kalau aku laki-laki, tentu aku berani kasaar pada ibumu. Seperti bapakku memperlakukan ibumu tadi.”
“Itu bapakmu?” Alif Lam tersentak.
Dia jawab pertanyaan Alif Lam itu bersamaan tangisnya yang datang kembali. Tangis itu makin menghebat saat Alif Lam melempar Rukbi dan mendorongnya kuat.
Mendadak emosi Alif Lam menghebat bukan lantaran tangis itu, tapi karena mulai tumbuh benih dendam.
Rupanya, dia betul-betul seperti bukan lagi nak-anak.
Begitu gadis cilik itu roboh, bocah lelaki itu langsung berani memiting, membekap. Rukbi tak berdaya. Sampai diam tak ada perasaan mengiba. Diam-diam pula dia berlajar sesuatu yang sudah biasa.
Bocah laki-laki itu berani menusukkan jari tangannya ke bagian tubuh gadis cilik itu. Tidak ada perasaan apa-apa. Juga iba.
Tak selayaknya keduanya untuk membuat janji.
***

GEMA adzan subuh bergemuruh. Bocah lelaki itu mengendap-endap untuk keluar. Diintipnya tubuh bapaknya yang lelap tertidur. Dia tak peduli, mati dengan darah atau nanah di tanah. Sekalipun mengering campur sisa taiyeng.
Di luar pintu, adzan subuh tertumbuk musik dangdut dari tape recorder murahan.
Alif Lam berjalan cepat ke arah sungai mencari tempat seragam darn celengan yang lama tergelincir di lahap sampah.
Di tepian bibir kali, dilihatnya di tempat jauh langit menguning keemasan. Cahayanya jatuh di permukaan sungai. Di matanya, sinar itu hidup di sana. Berbiak dan pemandangan yang luar biasa kaya bumi ini.
Didengarnya bunyi kencing laki-laki. Ibu-ibu membuang sampah.
Dijumpainya perempuan setengah tua berak di gigir kali, menginjak kayu-kayu menyerupai tangga. Dia intip sebentar. Merasa percuma.
“Sudah apa belum?” teriak Alif Lam.
“Kamu anak kecil, mau berak? Di sini saja di samping saya.”
Alif Lam, bocah itu merasa tidak lagi anak-anak. Girang . Dia merasa berdekatan rapat dengan daging perempuan keemasan.
Sebentar kemudian, Alif Lam menuruni tangga kali. Perasaannya tidak berubah. Menginjak tisu kusut, bungkus kardus, kondom bekas dan plastik-plastik berisi sisa darah janda pengangguran.
Di pinggir kali, tangannya menari, merogoh, mencari seragam dan celengan. Alif Lam tak pedulikan emas-emas yang mengambang di permukaan kali.
Di belahan sisi yang lain, Rukbi menatap sedih wajah langit yang kemerahan. Di balik tempat lainnya, penyair lamat-lamat menyuarakan syair-syair tajamnya.

kepada matahari subuh yang akan menerangi dunia.

lebih lima miliar nyawa manusia telah huni bumi yang menua.
kencing dengan rupa-rupa warna, bau dan mungkin rasa.
bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa, kakek nenek, laki perempuan, presiden, menteri, hakim, jaksa, tentara, politikus, profesional, buruh, petani, mahasiswa, domonstran.

Tanpa keluh rela dirinya menampung ribuan kubik liter air kencing menjadi ponten umum bagi mereka. Binatang lain cerita bila bicara. Manusia penghuni ruang angkasa. Seperti halnya, lain pula bila politikus jadi berita.

bagaimana ia kencing
melompat pintu pagar dan melirik jalan
satu-satunya pelajaran terpenting selama kencing di jalan
jadi tahu bagaimana orang miskin

menjadi politikus sebetulnya adalah berjuang melawan kencing.

sayang, betapa politik bagi tuan
ruang meja makan di restoran,
segala menu tersedia tanpa beranjak
pesan demokrasi? Kekerasan? Jalan ke surga? Wanita?
atau mayat?

Surabaya, 2005 – 2007

Leave a Reply

Bahasa »