AS. Sumbawi
Hujan jatuh di luar jendela. Angin dingin menyelusup lewat sela-sela pintu dan jendela kamar. Waktu menunjukkan pukul 22.21 di jam dinding.
Maria masuk sembari mengeringkan rambutnya dengan selembar handuk merah. Ia baru saja mandi setelah hujan mengguyur tubuhnya dalam perjalanan pulang dari rapat sebuah LSM tadi. Seperti biasa, ia langsung mandi. Kalau tidak, tubuhnya akan terserang demam. Dan ia tidak mengizinkan hal itu terjadi.
Sebenarnya, ia bisa menghindari hujan. Akan tetapi, setelah beberapa waktu menunggu hujan tak kunjung reda, akhirnya ia memutuskan pulang. Tak peduli meskipun basah kuyup. Ia ingin cepat-cepat tiba di rumah. Rapat yang ia ikuti sejak pagi sungguh menyerap banyak tenaga dari tubuhnya .
Maria melangkah mendekati jendela. Dilihatnya hujan menggerimis. Jalanan cukup sepi. Angin dingin terasa segar di tubuhnya. Setelah menggeraikan tirai, ia berjalan menuju meja rias.
Di atas kursi plastik merah, Maria menyisir rambutnya yang setengah basah sembari menatap wajahnya di permukaan cermin. Meskipun ia tak pernah memoles wajahnya dengan aneka macam kosmetik, beberapa temannya mengakui kecantikannya. Alamiah. Cukup bedak tipis di wajahnya. Namun begitu, banyak laki-laki yang terus mendekatinya. Mencoba mengerami cinta di dadanya, meskipun ia sudah me-wanti-wanti mereka agar buru-buru berjalan ke belakang.
Maria berjalan ke luar dan sebentar kembali dengan menutup pintu. Ia Kemudian menghampiri rak buku. Seperti biasa, meskipun tubuhnya begitu lelah, ia tak bisa tidur sebelum membaca. Dan ketika membaca itulah ia kerap tertidur tanpa sengaja.
Tiba-tiba ekor matanya menangkap sesuatu di meja komputer. Sebuah amplop putih tergeletak di sana. Ya, pagi tadi sebelum berangkat rapat, seorang lelaki menemuinya. Memberikan amplop putih itu kepadanya. Maria mengambil isi amplop putih itu. Ada 2 buah tiket dan sepucuk surat.
Untuk Maria Shofia
Kalau Maria ada waktu, aku punya 2 tiket nonton pementasan teater “Mega-mega” karya Arifin C. Noor. Kalau tidak ada teman untuk nonton bersama, ini nomor teleponku: 081332077543.
Alang
Maria tersentak ketika tiba-tiba terdengar suara menyapa. Sesosok makhluk bersayap dan berpakaian putih-putih dengan mahkota di atas rambutnya yang tergerai telah berdiri di hadapannya.
“Siapa kau?”
“Venus!”
“Venus siapa? Aku tak kenal kau!”
“Ingat-ingatlah….”
Maria berpikir. Akan tetapi, sebelum sempat menggerakkan bibirnya, Venus mendahului.
“Kau tak ingat padaku?”
Maria menatap tajam, mencoba menyelidiki siapa sebenarnya sesosok yang mengaku sebagai Venus itu. Sementara Venus menebarkan senyum manisnya.
“Akulah Dewi Cinta itu dan aku kecewa padamu!”
“Kecewa?! Aku tak kenal kau. Dan aku tak pernah berurusan denganmu.”
“Uuh, cantik. Tapi, kepala batu,” Venus diam sejenak.
“Dengarlah, cantik! Aku kecewa sebab kau menyia-nyiakan kecantikan yang ada pada dirimu.”
“Menyia-nyiakan?! Apa maksudmu?”
“Coba kau tengok masa lalumu! Kau begitu keras berusaha membunuh cinta. Hanya karena rasa kecewa pada cinta yang pernah kautemui.”
“Dan sekarang, aku akan merias kecantikanmu dengan cinta,” lanjut Venus.
“Aku tak butuh cintamu. Dan perlu kautahu, aku sudah bahagia.”
“Ehm, bahagia?! Yang benar saja?! Buktinya, kau berusaha begitu keras membunuh sesuatu dalam dirimu. Kebahagian hanya ada dengan cinta. Begitu juga dengan perjuangan yang kaulakukan bersama teman-temanmu untuk membela nasib orang-orang yang tertindas. Tanpa cinta semuanya adalah omong kosong.”
Maria masih menatap tajam. Sementara Venus terus menebarkan senyum manisnya.
“Siapa kau sebenarnya?!”
“Sudah kukatakan bahwa aku adalah …”
“Pergi!” bentak Maria. Venus tak bergeming.
Cepat pergi! Aku tak ada waktu untuk melayanimu,” kata Maria kemudian berjalan menuju ranjang.
“Aku kasihan padamu. Sungguh kasihan. Tentang hidupmu yang tak lebih seperti kertas dan tulisan yang biasa kauhadapi itu”, kata Venus.
“Pergiiiiiiiii….!!” bentaknya sembari melemparkan buku dari tangannya. Maria tersentak. Buku itu, buku itu menerobos tubuh Venus lantas menghantam dinding kamar. Venus tetap dengan senyum manisnya seakan-akan tak terjadi apa-apa.
Maria merapatkan tubuhnya ke dinding sambil mengusap airmata yang berlelehan di pipinya. Perlahan-lahan Venus mendekatinya. Duduk di tepi ranjang.
“Jangan menangis, sayang. Aku tak pernah bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kau merenungkan segalanya dengan jujur,” kata Venus.
Malam dingin dan sepi. Hanya derak jarum jam dinding yang memenggal waktu di tiap detik yang paling jelas terdengar.
“Ehm, siapa namamu?” kata Venus.
“Maria…….., Maria Shofia.”
“Nama yang cantik. Seperti orangnya”, Venus diam.
“Maria, siapa pemuda itu?” lanjutnya.
“Alang.”
“Ya, Aku tahu itu. Tapi, bukan itu. Maksudku….”
“Aku tak begitu mengenalnya.”
“Ya, memang begitu. Tapi, bagaimana pemuda itu menurutmu?”
“Bukankah menurutmu dia pemuda yang baik?” tambahnya.
“Pasti ada udang di balik batu.”
“Tepat. Kalau tak ada udang di balik batu, ia tak akan melakukan segala yang berkaitan dengan dirimu.”
Maria teringat dengan Alang. Salah seorang mahasiswa yang sering dilihatnya di kampus, di tahun terakhir kuliahnya satu tahun yang lalu. Tiba-tiba saja sekitar satu bulan yang lalu, Alang meneleponnya. Ingin berkenalan dengannya. Dan tadi pagi ia datang menemuinya dengan membawa amplop putih.
“Dia mencintaimu. Dan aku tahu bahwa kau juga mencintainya,” kata Venus.
“Aku tidak memikirkannya.”
“O, sayang. Cinta tak perlu dipikirkan. Tapi, dirasakan. Apakah kau mau hidupmu sepi tanpa cinta?”
Maria termenung. Sementara Venus berjalan menuju meja seperangkat komputer, mengambil amplop putih beserta isinya.
“Besok pergilah nonton teater bersamanya. Apalagi, naskah “Mega-mega” karya Arifin C. Noor merupakan salah satu karya yang bagus.”
“Ehm,…bukankah sudah selesai malam ini?” kata Maria setelah terdiam sesaat.
“Coba kaubaca tiket itu!” kata Venus setelah menyerahkan amplop beserta isinya. Maria mengambil selembar tiket, kemudian membacanya. Memang besok malam masih ada pementasan.
Maria tersentak ketika Venus sudah tak ada di sampingnya. Ia mencari ke sana ke mari. Namun, ia tak menemukannya. Sementara di dinding, jari-jari waktu menunjukkan pukul 23.04.
*
Maria rebah di atas punggung kasur. Wajahnya tersenyum terkenang peristiwa beberapa saat yang lalu. Ia baru saja pulang dari nonton teater bersama Alang.
Ternyata, mengasyikkan juga. Benar kata Venus, naskah “Mega-mega” merupakan salah satu karya yang bagus. Tentang masalah sosial, cinta, kehidupan, dan sebagainya. Kemasan pementasannya juga bagus. Apalagi ketika adegan Tukijan dan Retno, pikir Maria. O, sungguh mereka saling mencintai. Dan Alang….
Maria mengalihkan pandangannya ketika dengan tiba-tiba ekor matanya menangkap sesosok bayangan duduk di kursi di depan kaca rias.
“Kau Venus?” katanya. Venus tersenyum.
“Apakah kaurasakan hidupmu lebih berwarna. Indah seperti pelangi?” katanya. Maria diam. Benarkah hidupku lebih berwarna? Indah seperti pelangi?, pikir Maria.
Maria menoleh ke arah Venus. Akan tetapi, ia telah pergi.
***