Agama, Sastra, dan Pluralitas

Heru Kurniawan
lampungpost.com

KALAU saya menganalogikan alam semesta dan sastra sebagai dunia yang sama, itu karena di antara keduanya mempunyai paradigma yang seide, yaitu alam semesta dan sastra merupakan dunia manifestasi dari penciptanya.

Alam semesta adalah manifestasi dari “perbendaharaan Tuhan”. Sedangkan sastra adalah manifestasi “pikiran pengarang”. Dalam tradisi filosofis, alam semesta dan sastra sama merepresentasikan kejeniusan penciptanya.

Karena alam semesta dan sastra sebagai perwujudan Tuhan dan pengarang selamanya tidak mampu merepresentasikan “kemahaan” penciptanya. Alam semesta adalah bahasa Tuhan dalam mewujudkan diri-Nya, tapi kesempurnaan alam semesta tidaklah sesempurna Tuhan.

Tuhan jauh lebih sempurna lagi. Hal ini juga terjadi pada sastra, seluas apa pun pemikiran dalam sastra tetaplah tidak bisa sama dengan keluasan pikiran pengarangnya karena menulis sastra hakikatnya mengambil keputusan untuk menghentikan pengembaraan ide dan memilih salah satu ide yang dianggap menarik untuk dituliskan. Jadi, masih ada berjuta ide yang terdapat dalam diri penulis yang tidak dituliskan.

Dengan dasar melihat kegeniusan mutlak yang dimiliki pencipta ini maka tradisi romantik lahir. Tradisi romantik muncul sebagai gerakan yang menyuarakan kiblat mengembalikan alam semesta dan sastra pada penciptanya.

Cara pandangnya pun berujung pada pencipta, maka alam semesta dan sastra menjadi dunia yang “diabaikan” karena dialog yang dibangun adalah komunikasi dengan yang “mahagenius”, yaitu penciptanya. Dalam tradisi sastra, pembaca akan mengabaikan karya sastra.

Karya sastra dianggap tidak penting, yang paling penting adalah pengarangnya. Sedangkan dalam tradisi keagamaan, manusia akan menyempurnakan hubungan transendental dengan mengesampingkan alam semesta. Yang terpenting adalah kebaktian yang transendental.

Jika hal ini terjadi, saya membayangkan efek terbesarnya adalah dunia akan terbengkalai. Di sini terlihat bahwa tradisi romantik adalah paradigma yang membuat hubungan “manusia dengan alam semesta” dan “pembaca dengan karya sastra” menjadi terdegradasi.

Dalam hal ini, saya menganggap alam semesta dan sastra sama seperti “teks” sebagai fenomena yang diciptakan Tuhan dan pengarang. Oleh sebab itu, dalam alam semesta dan sastra itu terdapat esensi suara “Aku Berada” yang keberadaannya hanya dapat diungkap dengan dialog yang intens antara “manusia dan alam semesta” atau “pembaca dan karya sastra”. Hubungan dialogis ini yang menciptakan peluang manusia dan pembaca untuk mengembangkan diri.

Dalam dimensi agama, manusia sebagai khalifah mempunyai kewajiban menjaga hubungan yang harmoni dengan alam semesta. Dengan paradigma harmoni ini, manusia dapat menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sedangkan dalam sastra, pembaca diberikan otoritas untuk membuka pemahaman (understanding) terhadap karya sastra dengan melakukan pendakuan terhadap karya sastra. Pembaca mempunyai otoritas memaknai karya sastra dari perspektifnya.

Dengan menekankan dialog antara “pembaca dengan karya sastra” dan “manusia dengan alam semesta”, pembaca dan manusia menjadi objek sentralnya. Di sinilah terlihat semangat humanisme yang kuat dalam paradigma ini.

Dialog ‘Aku Berada’ dengan ‘Mengada Saya’
Dengan kesadaran bahwa dalam alam semesta dan sastra adalah manifestasi “Aku Berada”, dialog dan penaklukan yang terjadi “manusia dengan alam semesta” dan “pembaca dengan karya sastra” tetap dalam semangat nilai transendensi dan humanisasi. Manusia memaknai alam semesta dalam rangka untuk mengungkap kebesaran Tuhan.

Oleh sebab itu, saat manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya meneliti nyamuk, misalnya, ujung penelitiannya adalah untuk kemanfaatan umat dan mengungkap kesadaran pada kebesaran Tuhan. Misalnya, kesadaran betapa Tuhan Yang Mahasempurna menciptakan makhluk sekecil nyamuk yang ternyata mempunyai struktur rumit yang tidak bisa diciptakan manusia.

Inilah yang saya sebut dengan kesadaran transendensi yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi). Lewat eksistensi nyamuk kemudian manusia berpikir dan meningkatkan dirinya.

Pada wilayah sastra, pembaca memaknai karya sastra dalam rangka mengapresiasi diri dan pengarangnya. Pembaca mengungkap “Aku Berada” pengarang dengan berdasar pada otoritas persepsinya. Tidak ada objektifikasi di sini karena karya sastra dipandang sebagai dunia yang akan hidup jika bersentuhan dengan pembacanya. Tanpa pembaca, karya sastra menjadi dunia yang mati (artefak).

Maka menurut Paul Ricoeur, pada komunikasi seperti ini karya sastra menjadi dunia yang merepresentasikan dua kemungkinan, yaitu “mengacu pada dirinya sendiri” (sense) dan “mengacu pada dunia luarnya” (reference). Sense muncul sebagai penjelasan yang menerangkan karya sastra pada lingkup otonom. Sedangkan reference sebagai penjelasan yang menerangkan keterkaitan karya sastra dengan dunia luar yang diacu.

Pembukaan sekat penjelasan makna ini yang akhirnya mengarahkan pembaca untuk menemukan dirinya sampai pada titik pemahaman, yaitu pembiaran karya sastra dan dunianya memperluas cakrawala pemahaman tentang diri sendiri.

Di sinilah terlihat bahwa pemaknaan karya sastra, selain untuk memaknai “Aku Berada” penulis juga untuk memaknai “Mengada Saya” pembaca. Komunikasi di antara keduanya ini yang menjadikan paradigma ini menjunjung tinggi semangat humanisasi. Pengarang dan pembaca ditempatkan pada posisi yang proporsional, yaitu diapresiasi sebagai individu yang memiliki pemikiran dan ditempatkan sebagai kodrat yang mencipta dan memberi makna.

Apa yang saya pahami dengan paradigma ini bahwa agama dan sastra telah memberikan pemahaman tentang hakikat “Aku Berada” dalam alam semesta dan sastra yang harus dieksplorasi berdasar “Mengada Saya” manusia dan pembaca. Oleh sebab itu, menurut saya, “Aku Berada” mewakili dunia transendensi; Tuhan dan pengarang, sedangkan “Mengada Saya” mewakili dunia yang humanis; pembaca sebagai manusia.

Perkawinan yang harmoni antara dimensi transendensi dan humanisme ini yang melahirkan pembebasan (liberasi), yaitu semangat manusia membebaskan diri dari sekat keprimitifannya yang dapat menciptakan disharmoni. Kuntowijoyo dalam konsep profetiknya memaknai liberasi sebagai semangat mencegah kemungkaran (nahi mungkar), suatu sikap ketika manusia menyadari keberadaannya untuk saling berbuat baik demi kelangsungan hidupnya.

Oleh sebab itu, pembaca sebagai manusia harus mempunyai pemahaman tentang eksistensinya sebagai individu yang harus terus belajar terhadap semua teks di alam semesta demi peningkatan taraf hidupnya yang diukur perilakunya yang transenden dan humanis. Dalam tradisi agama, konsep ini disebut sebagai hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Keberadaan ini bisa tercapai jika manusia terus melakukan eksplorasi terhadap alam semesta dan ilmu.

Semangat Pluralisme
Dengan penekanan pemahaman (understanding) alam semesta dan sastra pada dialog antara “Aku Berada” pencipta dan “Mengada Saya” pembaca sebagai manusia, efek terbesar yang tidak bisa dihindari tradisi ini adalah keanekaragaman (pluralitas). Ini terjadi karena kehakikatan pembaca sebagai manusia yang tidak seragam.

Fitrah yang telah terkodifikasi dalam sejarah pembentukan pengalaman menjadikan antara manusia yang satu dan lainnya berbeda. Oleh sebab itu, “Mengada Saya” lahir dengan wajah yang berbeda antara satu dan yang lain.

Tidak bisa dihindari kalau hasil pemahaman terhadap alam semesta dan teks pun menjadi beragam. Inilah kekayaan yang luar biasa. Pluralitas dunia, menurut saya, adalah kodrat yang indah, harus dihargai dalam semangat pluralisme.

Inilah paradigma semangat gerakan postmodern yang kembali mengkritik keseragaman dan kemapanan dari suatu narasi besar. Peletakan paradigma pada kekuatan pembaca sebagai manusia yang harus dihargai menjadikan semangat humanisasi sesungguhnya yang diletakkan atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang transenden.

Tidak mengherankan bila konsep kekuatan suatu negara kini bergeser pada pluralitas. Pluralitas yang pada awalnya menjadi “persoalan” kini telah menjadi “kekuatan”. Tidak mengherankan bila keseragaman yang selalu diperjuangkan pemerintahan orde baru pada akhirnya menjadi bumerang karena pada kenyataannya masyarakat yang plural tentu tidak bisa diseragamkan.

Harus disadari bahwa pluralitas adalah kenyataan alamiah yang tak terhindarkan, demikian paradigma alam semesta dan sastra menempatkan pemahamannya pada manusia dan pembaca. Oleh sebab itu, keberbedaan yang menghiasi seluruh lingkup kehidupan haruslah dimaknai sebagai apresiasi atas nilai humanisme-transendental yang akan berujung pada pembebasan (liberasi).

*) Pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Leave a Reply

Bahasa ยป