Dari Tubuh Menuju Teks

Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com

Seorang perempuan menelungkupkan kepala di atas meja. Dari mulutnya terlontar igauan-igauan keras mengenai grafik pemeliharaan, grafik penghancuran, rencana regional, rencana tata ruang, konstruksi pembangunan negara-negara miskin.

Perempuan bernama Fitri itu seolah menjadi potret kegilaan kehidupan kota besar. Tekanan hidup membuat dia dan sebagian besar manusia urban lainnya merasa teralienasi bahkan oleh masa lalunya sendiri.

Untuk mengisi ceruk hati yang kosong mereka membentuk sebuah percintaan banyak segi. Meski tahu itu bukan bentuk ideal, namun mereka yang tercerabut dari akar tak sanggup untuk menolaknya.

Fenomena sosial seperti kegamangan sikap dan situasi psikologis masyarakat modern itu menggelitik naluri kreatif Teater Kami untuk mengangkatnya ke atas panggung. Kemudian dari tangan dingin seorang Harris Priadie Bah lahirlah sebuah pertunjukan teater yang mengharmonisasikan antara tubuh dan teks.

Lahir di Jakarta 20 tahun silam, Teater Kami memberikan sebuah warna yang berbeda di awal kemunculannya. Pengalaman bergabung dengan Teater Sae disebut-sebut sebagai salah satu latar eksplorasi tubuh yang dilakukan Harris.

“Berani tampil beda menjadi salah satu nilai lebih bagi Teater Kami. Di saat kelompok lain tenggelam dalam hiruk pikuk kecerewetan teks, mereka hadir dengan konsep minimalis, detail serta eksplorasi yang kuat terhadap tubuh,” kata Afrizal Malna, Minggu (14/12).

Teater Kami kemudian berangkat menjadi kelompok yang mengejar substansi. Bagi mereka, teater bukan sekadar narasi yang bertele-tele. Dengan detail tubuh yang sederhana pun mereka mampu menghipnotis penonton.

Afrizal mengatakan, dalam lingkungan teater di Jakarta, langkah yang diambih oleh Harris dan teman-teman terbilang istimewa. Maklum, ketika itu banyak kelompok teater yang disibukan dengan dialog yang berlarat-larat sehingga tidak mempunyai ruang untuk menggarap detail di tingkat tubuh aktor.

Kelebihan lain dari kelompok ini adalah tidak berlebihan dalam setting. Budaya visual yang tengah marak belakangan ini seringkali membuat para pekerja teater berlomba untuk mencipta setting yang gegap gempita, sementara teaternya sendiri menjadi terkubur.

Konsep setting minimalis yang diusung Teater Kami juga mendapat acungan jempol dari Halim HD. Ia mengakui kelebihan kelompok ini dari segi adaptasi ruang dan pemanfaatannya. “Ketika diundang ke Palu. Mereka mampu menggunakan ruang tamu sebagai tempat pertunjukan,” kata Halim.

Harris menuturkan bahwa konsep minimalis tersebut sebenarnya tercipta secara tidak sengaja. Sulitnya mendapatkan dana untuk pertunjukan membuatnya harus memutar otak, bagaimana membuat karya yang maksimal dengan modal kecil. “Maka terciptalah konsep pemanfaatan ruang dan penggunaan aktor yang minimalis,” ujar Harris.

Bahasa Simbol

Afrizal mengatakan, dengan gaya yang imajinatif Teater Kami mengusung ikon-ikon ke atas panggung. Bukan sebagai representasi sosial melainkan sebagai interpretasi mereka. “Mereka membawa pesan realis yang dikemas dalam pertunjukan imajinatif,” ujar penulis kumpulan puisi Teman-teman dari Atap Bahasa ini.

Contohnya dalam lakon Telur Matahari yang bercerita tentang wajah Indonesia setelah lima tahun reformasi. Taburan metafor sangat terasa pada pementasan yang naskahnya ditulis oleh Afrizal.

Misalnya saja pada adegan ketika dua orang sedang memperebutkan kursi (dalam makna sesungguhnya). Kemudian muncul orang ketiga yang ketika berhasil menguasai kursi, alih-alih diduduki kursi tersebut malah dibanting hingga berantakan.

Beragam makna bisa muncul dari adegan semacam itu. Tetapi, jika mengacu kepada bingkai besar pementasan sebagai upaya melakukan dekonstruksi terhadap berbagai ketidakpantasan di negeri ini, maka “kursi” (mungkin jabatan) telah membuat sebagian orang geram.

Pementasan tersebut ditutup secara tidak biasa dengan membanting semangka yang menyerupai bola dunia tepat di hadapan penonton. Suara bantingan yang menghentak menyadarkan bahwa bangsa ini tengah mengalami kesemrawutan.

Dalam tradisi Tionghoa, buah semangka yang dibanting merupakan bagian dari tata cara pada upacara kematian. Harris ingin menuturkan bahwa carut-marut di negeri ini akan berujung pada kedukaan yang mendalam.

Interpretasi personal yang digunakan Teater Kami seolah menjadi dua sisi mata pedang yang terkadang menjadi kelebihan, namun lain waktu dapat menjadi kekurangan. “Harris acapkali berlaku “sewenang-wenang” terhadap naskah orang lain dengan melakukan penafsiran ulang yang berlebihan,” kata Nur Zen Hae.

Misalnya saja pada pertunjukan Kunang-kunang yang naskahnya ditulis oleh penulis terkemuka Jepang, Suzue Toshiro. Dalam lakon tersebut Harris melakukan perombakan cerita secara besar-besaran. Naskah asli yang terdiri dari 14 adegan dipangkas menjadi 11 adegan (dua dihilangkan dan dua dijadikan satu).

Pertunjukan juga kerap menampilkan cerita yang tidak linier bahkan cenderung melompat-lompat. Satu adegan dengan adegan lain direkatkan oleh Ide, sehingga berpindah-pindah bagai gelombang radio.

Tengok saja pada lakon Kunang-kunang, adegan pertama dibuka fragmen antara Fitri dan Yanto. Lantas disambung dengan adegan kedua yang memperlihatkan kesibukan pasangan Jean Marais dan Faudiah Sari yang tengah menyorotkan senter mencari kunang-kunang.

Zen Hae menuturkan, upaya pembongkaran yang dilakukan Harris cukup menarik, caranya memilih dan mengedit naskah sehingga menghasilkan keseluruhan alur kisah. “Harris menggunakan adegan yang dianggapnya penting dan memangkas yang dianggap tidak,” ujar Zen Hae.

Pria yang sempat bekerja sama dengan Teater Kami untuk beberapa produksi ini mengatakan, penafsiran ulang yang dilakukan pewujud (penyebutan sutradara oleh Teater Kami) dapat merupakan bentuk kreativitas. Tetapi di sisi lain tindakan tersebut berisiko karena cerita yang ditampilkan tidak utuh.

Lebih lanjut Zen Hae melihat, Teater Kami sedikit terjebak dalam nada bicara robotik (dengan penekanan di akhir kalimat) yang menjadi ciri khasnya. “Memang gaya tersebut membedakan Teater Kami dengan kelompok lain, tetapi karena dilakukan secara berulang menjadi terasa membosankan,” kata lelaki yang menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Naskah Asing

“Hanya orang menos (gila) yang mau bertahan di dunia teater yang serbapaceklik,” kata Harris sembari terkekeh. Mungkin menertawakan diri sendiri karena dia termasuk segelintir orang yang hingga kini masih bertahan di dunia yang jauh dari gemerlap.

Tetapi tentu Harris tak ingin mati konyol. Supaya dapat bertahan ia harus pintar-pintar memutar otak. Untuk itu Harris memilih “jalan sempit” dengan melakukan pementasan-pementasan di kedutaan negara asing.

Cara yang ditempuh Harris ternyata cukup ampuh untuk mencetak rupiah guna membiayai pementasannya. “Tidak banyak, tapi setidaknya saya dapat memberikan uang lelah kepada para anggota,” ujar Harris.

Budaya memberikan uang lelah ditempuh oleh lelaki berusia 43 tahun ini mengubah anggapan bahwa pekerjaan teater berbeda dengan pekerjaan formal lainnya. Menurut dia, teater bukan sekadar hobi yang dikerjakan sebagai pengisi waktu luang. “Teater sama dengan pekerjaan lain yang membutuhkan loyalitas,” kata alumni Sekolah Teater dan Film (STF) angkatan 1986.

Harris juga tak keberatan bila kelompoknya dicap sebagai teater kedutaan asing karena dengan cara itulah dia bisa menyambung nafas untuk tetap menghidupkan teater. “Setidaknya setengah dari ongkos produksi bisa ditutup,” ujar pria yang duduk sebagai Sekretaris Program Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta.

Dari kacamata berbeda Afrizal menilai, pemilihan naskah-naskah asing ini turut mempengaruhi cara bertutur Teater Kami. Jika pada awalnya mereka konsisten mengeksplorasi tubuh, lama-kelamaan mereka kembali terjebak pada teater naratif. “Padahal kekuatan Teater Kami terletak pada detail dan bahasa tubuh,” kata penulis buku Tak Ada Anjing dalam Rahim Ibuku ini.

Pola latihan yang tertutup ia duga menjadi salah satu penyebabnya. Lelaki yang sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara ini menilai pola latihan Harris yang tertutup seolah bekerja dalam kamarnya sementara teater merupakan kerja terbuka. “Masyarakat perlu mengetahui proses sebuah telur sebelum ia menetas menjadi ayam,” ujar Afrizal.

Lebih lanjut Afrizal memaparkan bahwa Teater Kami harus mengembangkan budaya diskusi maupun evaluasi dengan melibatkan orang lain di luar kelompoknya. “Ini merupakan langkah mencegah bangkrutnya kelompok teater akibat kehilangan medan kreatif,” ujar Afrizal.

Sementara itu, Halim menyayangkan bongkar pasang yang terjadi dalam tubuh Teater Kami. Meski hal itu lazim terjadi pada sebuah kelompok teater, tetapi ada baiknya sebuah kelompok memiliki keanggotaan yang mapan. “Masuknya orang baru membuat kelompok harus mengulang latihan dari awal,” kata Halim.

Regenerasi merupakan menjadi permasalahan tersendiri bagi dunia teater. Harris mengakui sulit sekali menemukan orang yang konsisten mengabdikan dirinya untuk kesenian terutama teater. “Bongkar pasang pemain merupakan salah satu cara, sebab saya tidak memiliki banyak anggota,” ujar Harris.

Rumusan bahwa teater sebagai seni dalam menjalani hidup atau teater sebagai panggilan jiwa, pada akhirnya memang terlampau sederhana untuk menggambarkan “kegilaan” sebagian orang untuk terjun bebas di dalamnya.

Semoga kerinduan Harris akan majunya dunia teater Tanah Air dapat tercapai, setidaknya seperti kunang-kunang yang menghapus kerinduan masyarakat urban dalam lakonnya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *