Nurel Javissyarqi*
http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/
?Fikirkanlah coretan-coretan di dinding Ibukota, adanya istilah MERDESA, sebelum meletusnya balada pemberontakan anak-anak Jatinegara?
Desa itu daerah kendali perekonomian kota. Tata letak spiritualitas pemampu berpeluang menentukan gerak-gerik bangsanya. Sekilas terlihat orang desa berkiblat pandangan kota, padahal orang kota tidak asyik lagi menatap kesehariannya. Dari desa-lah terpelihara keindahan nurani, kemanusiaan agung terpanggil menciptakan atmosfir damai. Dan tranformasi keilmuan merata di setiap sudut-sudut terpencil, ketika orang kota melupakan berkah ilmu, sebab terbius jasadiah.
Sewaktu orang-orang desa mengetahui seluk-beluk kelicikan kota, mereka kembali ke desa, bercerita mengenai kesejatian kembang hayat. Tampaknya orang kota lewat berbagai wacana, namun sewaktu dunia informasi kian terbuka, orang desa berusaha memahami keingintahuan hidup. Lalu lahirlah pandangan hidupnya, dalam menyinauhi jarak perkembangan. Serta lebih punya banyak waktu memetik segala menjadikan ranum, atas lahan renungan lebih berketenangan, tanpa diracuni asap-asap dupa kepentingan pribadi.
Buku-buku keluaran nalar pedesaan mulai merangsek, mengepung mata kota sampai podiumnya. Di mana orang-orang kota tak lagi suntuk membaca situasi peredaran pemikiran -berbangsa, sedangkan orang desa memetiknya tanpa jiwa emosional yang sesat, lalu mengeluarkan pendapatan gemilang, ketika masyarakat baca mengukur kedalaman renungan, sebagai pencerna alam fikiran.
Ini keunggulan tampil ke muka, sewaktu orang desa melewati keterpencilan harum, sayap-sayap berkeindahan, menebarkan nalar kesejahteraan -kemanusiaan. Burung-burung bertengger di dedahan berdaun hijau, merawat angin peradaban; kesahajaan, kedamaian, dari jarak kekacauan, kebencian cemburu yang ditebarkan mata-mata kota.
Pedesaan itu ketentraman tak terusik keremangan licik, tidak spekulatif dalam menata bathin, menyungguhi hayat bersikap teguh demi kemakmuran sesama. Memang hidup tanpa persaingan akan sepi, namun tidak demikian pandangan kekinian, menemukan kesadaran peluang di dalam menyuntuki bangunan berbangsa -bernegara.
Menyaksikan keanggunan kembang desa mengutamakan tegur sapa, berciuman mesra tanpa curiga, saling memberi nilai bertukar kasih, menebar kebahagiaan. Ini menghadirkan jiwa-jiwa persaudaraan, bahu-membahu menambah informasi ketenangan. Sadar memiliki ruang-lah, sehingga orang desa terus mengeliat mengembangkan tubuh alamiahnya.
Saling gencet orang kota, merusak payung paguyupan. Jelas orang desa tak tersentuh efek tersebut, dengan berbalik ke bilik hati masing-masing, sambil terus menebarkan angin tropis nurani. Orang-orang desa menyuguhkan fikiran rahayu, mimik muka jernih, saat melihat beratnya pandangan orang-orang kota dalam lingkup derita hayati.
Namun mereka menyimpulkan faham, bahwa orang desa itu cengeng. Tidakkah tampak kegigihan petani, keteguhan menjalani hidup berperalatan sederhana, memperoleh uang secukupnya tidak kemaruk. Adalah nilai kebaikan bukan banyaknya termiliki, tapi manfaat maha mutu bagi semua.
Jiwa-jiwa berkembang, selepas prosesi panjang menghamili makna atas gerak jaman. Menebarkan pesona keindahan yang berkumandang tanpa periklanan, lewat bathin perasaan bertukar nilai fikir hasrat positif. Saya memahami pengembangan jiwa filsafat rahayu, dipantulkan alam pedesaan.
Pedesaan masih menikmati keindahan bulan, gemerlap gemintang juga tak ketinggalan mengetahui terangnya kota-kota tipu-daya. Apa yang disodorkan di etalase, bahan pengawet, kecantikan absud, yang tak berlanggam kemakmuran hakiki, tidak serupa laguan pesawahan jiwa yang memperkaya bathiniah.
Semenjak dulu, kota ialah pedesaan nurani bagi sang penggali kenangan. Jika sekarang tampak orang dusun tercebur dalam perangkap kelicikan, menjadilah bagian penjilat. Manusia-manusia desa, kukuh menegakkan kaidah keadilah jiwa, sebelum para hakim faham alunan sebenarnya. Desa menancapkan bebulir sahaja bagi anak-anaknya, yang dilahirkan kasih sayang, bukan jalan paksa, apalagi aborsi atas dihantui biaya hidup yang menekan-nekan urat syaraf.
Tentu orang-orang kota menyadari, bahwa nilai-nilai mereka terbangun atas sokongan kaki-kaki lincah penduduk desa, hanya kemunafikanlah membuang muka, atau melihat dengan rasa kesombongan melupakan sejarah kesejatian. Barang-barang mengkilat itu hasil kerja keras pencuri naluri orang desa; yang tak berasa malu memiliki, yang tidak memberi manfaat diri, apalagi orang lain.
Jika ini terlihat datar atau sentimentil, belajarlah dalam jiwa lain, agar yang terbangun tidak melupakan awal perjalanan, kalbu sebelum berangkat bekerja, mempertimbangan sedurung menjalankan putusan. Ini sungguh cantik yang memupus gejolak jiwa, lewat angin kelembutan desa.
*) Pengelana, 4 Juni 2006. 08 Jakarta – Lamongan.