Theresia Purbandini
http://jurnalnasional.com/
Representasi wanita pada film Indonesia cenderung berbeda-beda dalam tiap dekade. Meski beragam, kecenderungan wanita selalu marginal, ditempatkan sebagai manusia sekunder setelah laki-laki.
Sejak 1970-an hingga 90-an kebanyakan film-film Indonesia berbau horor, kemudian pergeseran terjadi di tahun 80-an di mana film horor mulai memasukkan bumbu-bumbu adegan panas yang makin lama menjadi inti cerita dari film.
Rieke Diah Pitaloka mengawali debutnya di dunia film melalui peran Dwi, di dalam Berbagi Suami arahan Nia Di Nata. ?Kalau dulu tema peran wanita, tidak memperlihatkan perjuangan sesungguhnya sebagai seorang wanita. Tapi ketika mulai muncul AADC (ada Apa Dengan Cinta), Eliana Eliana, Perempuan Punya Cerita hingga Berbagi Suami, film Indonesia mulai mencoba menggambarkan realita wanita yang sesungguhnya, terang dan gelap secara obyektif,? tuturnya saat dihubungi Jurnal Nasional (11/12/008).
Diamini pula oleh Jajang C. Noer yang juga pernah menyabet Best Duo Actress bersama lawan mainnya, Rachel Maryam dalam Eliana, Eliana pada 2002 di Deauville, Prancis. ?Kalau dulu tema kewanitaan hanya muncul di permukaan, tapi kini sudah mulai variatif. Mulai dari bagaimana wanita terpinggirkan, tertekan, dilecehkan, bahkan menukik ke masalah yang lebih personal seperti dalam film Mereka Bilang Saya Monyet; mengenai perasaan yang terluka ketika menghadapi kedua orangtua yang bercerai,? ungkap pemeran Bik Inah dalam film Mereka Bilang Saya Monyet ini.
Menurut Rieke, film ibarat cermin yang memotret kehidupan masyarakat. Mengangkat problematika sosial yang tak hanya dapat menghibur, mengharukan namun juga menjadi bahan perenungan. ?Sejauh film itu bisa mengangkat tema sosial yang tengah terjadi dan tidak menjual mimpi, siapa pun tokohnya dalam film, meski pemain baru sekalipun, akan tetap disukai dan menjual,? nilai pemeran Oneng dalam sitcom Bajaj Bajuri yang juga menyukai karya-karya Teguh Karya ini.
Monopause Belum Digarap
Jajang, istri alm. Arifin C. Noer, sutradara film ini juga menilai bahwa wanita berkarier dan perselingkuhannya sudah laris manis sebagai tema di layar lebar. ?Ada satu yang belum pernah diangkat dalam tema kewanitaan di film Indonesia, yakni tentang wanita yang mengalami masa menopause. Mudah-mudahan nanti akan ada yang mengangkat tema ini,? harap wanita kelahiran 28 Juni 1952 di Paris, Prancis ini.
Dunia film Indonesia nampaknya telah memberi cukup ruang bernapas bagi pemain film wanitanya untuk mengekspresikan diri, tak hanya lagi sebagai pejuang gender karena kini telah banyak lahir sutradara bahkan produser kaum hawa. Ini menunjukkan eksistensi wanita sebagai subordinat pria mulai ditinggalkan.
Hal ini disambut antusias oleh Rieke. ?Saya cukup berbangga hati dengan makin banyaknya sineas wanita berbakat seperti Nia Di Nata, Lola Amaria, Dian Sastrowardoyo. Mereka tak hanya sebagai pemain namun juga merangkap sebagai sutradara dan produser. Sehingga film terasa beda sentuhannya bila dipegang langsung oleh si wanita,? tutur penulis kumpulan puisi Renungan Kloset ini.
Diakui pula oleh Jajang, persoalan gender kini sudah tidak menjadi isu di mana wanita didskriminasi dan dibedakan, tapi kini lebih kepada wanita sebagai manusianya. Seiring perputaran roda zaman, kodrat wanita tidak lagi sebagai obyek kekangan pria.
Dengan makin maraknya film-film yang mengangkat seks seolah menjadi barang dagangan baru-baru ini, dianggap Jajang sebagai salah satu bagian yang sudah ada sejak awal zaman dan hanya sebagai alternatif bagi penikmatnya. ?Ini masalah selera, selama laki-laki belum teremansipasi, dan saya rasa akan butuh waktu dan proses yang panjang untuk mengemansipasi laki-laki terhadap wanita karena keegoisan dan patriarkinya merupakan bagian dari kehidupan ini,? papar pemeran istri Pak Harfan dalam Laskar Pelangi ini.
Inspirasi Cut Nyak Dhien
Tokoh yang wasnita ideal bagi Rieke adalah sosok yang diperankan Christine Hakim dalam film Tjut Nyak Dhien. ?karakter beliau sangat kuat, dimana nasib perempuan yang berjuang dalam politik masa kolonial Belanda sangat menyentuh emosi. Saya teringat dengan dialognya ?saya tidak pernah tahu terbuat dari apakah hati seorang pengkhianat? amat membekas di hati saya secara pribadi, sehingga bisa menginspirasi dan memotivasi banyak orang termasuk saya untuk tetap berjuang sebagai wanita,? ungkap Rieke.
Bagi Ria Irawan, artis serba bisa yang pernah dianugrahi penghargaan sebagai aktris pendukung dalam FFI dalam film Selamat Tinggal Jeanette (1988) ini, ?Sebagai pemain, gue akan bekerjasama dengan sebuah kelompok atau komunitas tertentu yang gue anggap mewakili visi yang sama. Jadi hubungan kerjasama yang enak di dalamnya dengan para pembuat filmnya sangat mendukung. Selama kita bisa membawa diri dalam visi berkesenian tanpa mengedepankan popularitas maka pastilah akan aman dalam menjaga harga diri sebagai seorang wanita.? Ia memberi tips.
Pentingnya lembaga sensor yang bertugas menggunting beberapa adegan yang dirasa kurang berkenan, karena melanggar nilai-nilai moral yang harusnya dijunjung tinggi — tidak hanya memperlihatkan wanita sebagai obyek seks semata — sama sekali tidak mengedukasi penonton. Diyakini Jajang, hal ini merupakan tugas semua pihak untuk menjaga moralitasnya masing-masing.
?Karena moral tidak dapat dibakukan. Setiap insan memiliki nilai moral pribadi. Hanya ada saja komunitas atau orang-orang tertentu yang picik dan norak sekali, sudah merasa dirinya paling benar dalam menilai moral. Padahal menurut saya moral itu tergantung kepada pengetahuan dan luasnya wawasan masing-masing orangnya,? ungkap Jajang kritis.