IMC KUADRAT: RENUNGAN DARI MEMBACA ISLAM MAZHAB CINTA

Nurel Javissyarqi

Membakar semangat mengukuhkan jiwa, itulah lukisan saya selepas membaca karya Gugun el-Guyanie bertitel Islam Mazhab Cinta. Kerisauan ini terobati setelah memandangi kerusakan alam Nusantara atas ulah jemari anak-anaknya. Buku yang diterbitkan Kutub Wacana, februari 2008, dieditori Muhsin Kalida. MA., dipengantari HM. Nasruddin Anshory Ch. Saya menemukan nalar produktif yang segar, refleksif penuh perhitungan yang didasari kekayaan bathiniah. Sesudah penulisnya mengkaji berbagai pengetahuan para pakar yang disambangi, lewat warisan-warisannya berupa buku-buku, kitab lama.

Dia tak sekadar mencoba, tapi merefleksikan gejala alam; apakah bencana, kasuistik benturan ideologi, serta pernik-pertikaian tradisi dengan gerak perubahan. Buku itu menjanjikan bakal adanya perubahan yang berkembang. Usaha kesungguhan dari seorang yang mendiami bumi bergejolak, carut-marut yang sering kita lupa mencintainya (: Indonesia).

Saya mendapati perkembangan terbaru dari bulir-bulir pemikiran para cendekia bumi putra tempo dulu, yang diolah sebencah tanah kian subur nan bening oleh Gugun el-Guyanie. Ini tak sekadar mementingkan kekayaan intelektual, tetapi juga membongkar akar kemiskinan yang menjerat masyarakat. Tidak semata mengembangkan kepiawian dari bumi terjajah gemerlap jaman menggoda setiap mata-mata kelaparan, kehausan pamor. Tapi lebih mengedepankan kesadaran umat, berfikiran positif akan gejala jaman yang melindasi orang-orang tersisikan.

Karena berangkat keterbatasan terolah, khasanah yang tampil merupakan buah-buah matang bergelantungan, pada pohon berakar menghujam di tanah tradisional. Inilah kembang harum siap dipetik bagi pengantin peradaban. Ketika ditelaah, luar biasa daya kekuatan jiwanya. Seorang cendekia takkan purna jikalau hanya berkutat pengolahan nalar saja, sedang dia suguhkan berasal hasil praktek dirinya, dalam mengembangkan pribadi kepada sesama.

Kewajaran tampil kala menyadari keterbatasan itu bukan penghalang, tapi tantangan harus dilalui. Barang siapa mampu menjebolnya, maka hikmah kobaran rindu perdamaian teratasi, minimal kangen kasih sesama. Andai di kedalaman kalimahnya ditemukan sekelumit ego. Itu dapat difahami kepemudaan-nya terang gemilang. Tidak-lah pantas membetot tanpa menilik selidik bagian dalam penuh makna darinya. Dari tangan pemudalah bangsa akan sampai. Kala senantiasa mengolah materi-matari kejiwaan dalam mengembang pemikiran kepada khalayak.

Dia salah satu intelektual Kutub Yogya. Pada barisannya kita mengimpikan Indonesia kelak ditumbuhi para pakar muslim tak lupa umat. Sebab tidak keranjingan jabatan oleh atmosfir yang terangkum dalam lingkungannya alam kebersamaan. Karena pesantren itu bentukan tradisi paling kuat menyebarkan keilmuan. Menjadikan persaudaraan tanpa tinggi rendah, ketika wawasan berdialog memantabkan pribadi demi masyarakat luas, bumi jagad ayu serentetan kepulauan cantik sekalung putri pertiwi.

Saya tak gegebah melihat para santri almarhum KH Zaenal Arifin Thoha yang masih di masa kini. Masa orang-orang sudah terlanjur ugal-ugalan bermotif gengsi serta arogansi kekayaan. Dengan riangnya para santri menaiki keterbatasan (naik sepeda ontel) untuk kuliah ke UIN Yogya atas jaraknya 5kiloan dan ini setiap hari. Menelusuri perbedaan, warna-warni tambil menyeberangi pandangan. Tidakkah yang mengamati jauh faham merasai dirinya daripada berkelebat cepat, ada sesuatu terjatuh namun tak terketahui. Isi buku ini dapat diilustrasikan mengambili paku-paku di tengah jalan, batu-batu pemikiran dijumput, ditaruh di pojok laluan, guna tak mengganggu pandangan makna jalan lurus.

Ini tirakat terbesar, desir fikir saya. Ketika pelajar yang lain kembangkan proyek demi masa depan, namun di lingkungan Hasyim Asyari masih menikmati pergulatan jiwa dalam berbagai pengetahuan, yang diwarisi perpustakaan oleh Gus Zainal. Atau inikah kemapanan jiwa yang telah menanggulangi kemiskinan raga? Senada kalimah hikmah para ulama terdahulu: ?Ilmu takkan hadir kecuali melewati keterbatasan. Serta kepayahan menuntut ilmu, jauh berharga daripara lautan mutiara. Yang kegigihannya dinaungi para malaikat bersayap hikmah.?

Kembali pada nalar kalbu el-Guyanie mengenai Islam Mazhab Cinta, saya fikir dia tak berlebihan melabelkan bukunya berstempal tersebut. Setidaknya saya manghormati keindahan analisanya yang dipadu irama-ramai sejarah. Menguliti masa lampau lewat kacamata obyektif dalam menghadirkan gambaran kekinian. Saya sebut karya penggalian, pengerukan dalam. Demi hadirnya sumber mata air kesadaran pembaca, di samping bagi dirinya yang muda. Ketika bahan sejarah berserak dari berbagai sumber telah dimamah-kunyah, hadirlah keluasaan. Ialah kurang penting, apakah baru belajar melawan, tersebab makna kesadaran itu sama. Dia tak dalam keadaan tergopoh ketika menghadirkan buku itu. Pun tidak kelelahan dalam melagukan irama jiwa nalarnya yang telah terbukti media massa.

Sering saya malu pada cerdik cendeki, ketika menengok usia saya belum menghasilkan apa-apa. Sementara sosoknya telah memantabkan pribadi (lahiriah-nalarnya, bathiniah-jiwanya). Berangkat dari niatan mulia, memurnikah khasanah keilmuan di bumi putra. Olehnya saya tak segan berguru padanya setiap datang ke Yogya. Gemetar rasanya saat jiwa ini diajak bertukar bentur pengalaman di atas perjalanan berorganisasi, pengelanaan para pencapai ilmu. Semua telah dimiliki sedari gesekan bersama sudaranya yang lain di LKKY.

Kecenderungan dia pada volume pemikiran Nurcholis Madjid, Fazlur Rahman pun para ulama tempo dulu. Tidak membuat mati nalarnya atau menyepitkan gerak runcing penanya. Malah saya mengamati kian indah sesampan digoyang ombak tidak tenggelam. Sebab sudah kuasai teknik bathin wacana yang didengungkannya. Serta tidak segan melucuti pemikir yang kurang obyektif menurutnya. Andai anak-anak manusia di tanah air ini semua pemberani, tentu nalar kebangsaan tidak tertindas mesin perusak, dari sejarah menyimpang atas segelintir keinginan di belahan bumi bernama hasrat menguasai.

Pembaca IMC tentu tak menyangka, kalau penulisnya sedang menyelesaikan S1, tepatnya saat tulisan ini saya buat, dia tengah dalam pengujian skripsi. Ketidaktersangkaan itu wajar, karena sering kita melihat para pengajar, banyak membangun gugusan gagasan berupa buku, namun kalimahnya gagap. Seperti mentalnya direbus ketakutan malu berlebih. Padahal itu tak beralasan, andai menempatkan jiwanya -yang berpsoses. Ada terbelit berkata kesibukan serta jenis mementahkan ragawinya bersuntuk menggeluti keilmuan. Yang nyatanya sebagai kran mahasiswa. Malulah jika murid lebih piawai mengayunkan pedang yang diwarisi dari gurunya, yang tidak kuasa memegang dari empu sebelumnya. Dan seringkali khalayak mengatakan; ?Itulah kesahajaan para guru.? Oh begitu garangnya mitos itu melucuti jiwa-jiwa pengajar, menjadi tumpul lunglai lumpuh total.

Padahal lewat kekaguman dapat pula belajar pada yang muda. Bukan sebaliknya mematikan rasa pribadi menutup diri, atas dasar merasa mencapai dakian tinggi. Mari berhenti sejenak, tidakkah cara pendakian awal menghantarkan pengalaman lanjut? Tentu kala membuka kaca mata, terpampang dakiannya di berbagai tebing pengalaman. Dan menemukan pengetahuan tidak serupa. Sementara yang hanya melihat ketinggalan kereta. Tidakkah harus bepergian? Menghantarkan sesama menuju pemahaman lebih membumikan keilmuan? Tidak sebatas memakan roti, minum teh pagi hari suguhan mereka. Padahal kita mengetahui, beras hasil bumi kita lebih kaya gizi, dibandingkan roti dari pulau jauh belahan lain yang kita kira baik.

Sayangnya, negara belum menjangkau menyatukan para cendekia, guna mencipta jaring demi menanggulangi keterkejutan masa depan. (Oh, dimanakah ujud ICMI?) Sampai kini, bangsa ini terus digilas, dilintas, dilibas faham kapitalisme serakah, liberalisme mengangkangi nalar fitroh dengan ketawa. Benar sejarah keilmuan Islam berangkat dari kebebasan bernalar, mencari ilmu ke sebrang. Tapi bukan berarti yang telah berilmu sihir mengamalkan dengan menguasai yang lain. Seyogyanya digunakan demi menyembuhkan yang kesurupan. Di sini tidak menuduh pihak lain, sebab tidak memiliki berkas bukti, namun kehawatiran sebaiknya dirasai. Agar tak terperosok meninggalkan yang terpegang dari kehadiran kesadaran semula.

Serupa yang dinaikkah Gugun, seharusnya pemerintah tidak curiga prodak militan pesantren. Dengan alasan yang tersirat adanya bom di Bali misalnya. Tidakkah perjuangan kemerdekaan di negara ini, tak lepas dari semangat gerilya para santri dan kyai dalam merangsek melawan penjajah? Hutang kita telah banyak pada kaum santri dan kaum abangan. Tapi kerapkali kita memberinya tumpeng kecurigaan. Air susu dibalas tuba, kitab kuning dibalas turunnya ninja, dengan mengira kyai dukun santet semua. Malanglah negara yang tak menghargai pahlawan, lupa diri serakah jaman edan, bal gedual aspal diuntal.

Tema-tema yang ditawarkan IMC perkara sekitar. Merekam sejarah dijadikan kamus sosial atas soal dijabarkan jawaban kekinian serta nantinya, sebab kerap berulang oleh kebiasaan cara pandang. Dan Gugun memberikan khasana pembedahan cukup segar, jikalau kita tidak berpandangan sebelah mata. Meski yang dikemukakan ada perihal lama, tetap bisa diambil sarinya atas jarak jembatan merenungi permasalahan di depan dengan kalbu kasih sayang. Adanya tema kurang menarik, tetapi karena penyajiannya menawan sehingga tidak sadarlah merampungkannya. Diri ini diajak terlibat mengarungi kedalamannya nan nyaman dibuatnya.

El-Guyani merupakan salah satu tentara Allah dari Kutub yang memiliki faham madzab cinta. Pasukan intelektual dari pesantren Hasyim Asyari-nya almarhum Gus Zainal. Di sampingnya ada Muhammadun, Rusdy, Mufid, Syaiful Anam, Mukhlis, Yunus &ll. Kita tunggu saja buku-buku mereka yang tentu memberi hasana kasih sesama. Yang berangkat dari keterbatasan, bahu-membahu berdasarkan cintanya pada agama serta negara. Setiap saya ke jogja bertemu mereka, seringkali mendesirkan kalimah; tentunya tahun-tahun mendatang, mereka menjadi pioner-pioner pembaharu Islam di bumi Nusantara, bumi sholawat Ceng Ho, para pemberani berkendara kalbu keimanan. Saya merinding cemburu terkagum dibuatnya. Salam hormat bagi mereka semua.

Senin 3 Maret 2008

Leave a Reply

Bahasa ยป