Dwi Fitria
jurnalnasional.com
Mengabaikan warna daerah, sebagian pengarang kehilangan (akar) pegangan.
Dalam karya-karyanya, sastrawan Taufik Ikram Jamil kerap mengangkat masalah-masalah lokal yang terjadi di daerah kelahirannya, Riau.Salah satu yang kerap ia angkat adalah kondisi masyarakat miskin yang hingga hari ini jumlahnya tak bisa dibilang sedikit.
Padahal Riau kaya akan kandungan minyak bumi, juga sumber daya alam lain semisal kelapa sawit yang juga menjadi hasil utama salah satu tanah terkaya di pulau Sumatera itu. Otonomi daerah yang diberlakukan sebenarnya memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk memakmurkan Riau sejalan dengan potensi alam melimpah yang dikandungnya.
Sayangnya, berbagai potensi ditambah kesempatan untuk mengembangkan diri ini tidak membuat kemiskinan menjadi fenomena yang makin jarang di tanah Riau. Data mencatat kemiskinan di wilayah kaya potensi tersebut masih mencapai angka di atas 20 persen. Padahal otonomi daerah yang menerbitkan harapan telah diberlakukan di Riau sejak 2001 lalu.
“Sekilas jika dilihat, memang saya seolah menyuarakan protes terhadap Jakarta. Namun sesungguhnya apa yang saya angkat dalam novel-novel saya adalah semata usaha untuk menyuarakan ketidakadilan yang saya lihat sehari-hari di tanah kelahiran saya,” ujar Taufik dalam sebuah wawancara dengan Jurnal Nasional pada Jumat (24/10) lalu.
Dalam membuat karya-karyanya yang kental bernuasa sosial-budaya Taufik memang mengakrabkan diri dengan masyarakat Riau, terutama masyarakat Melayu yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Taufik sendiri tidak melihat pertentangan antara Jakarta dan Riau seperti yang selama ini dianggap jadi pertentangan pusat dengan daerah. Menurutnya yang sebenarnya terjadi adalah, seniman cenderung melihat Jakarta sebagai sebuah tempat, di mana fasilitas dan kesempatan terbuka amat lebar sehingga memberikan peluang amat luas bagi para sastrawan untuk mengekspolorasi diri dengan lebih maksimal.
Kesamaan tema
Pun dalam hal tema, ia merasakan bahwa tema-tema yang dicetuskan para sastrawan yang tinggal di Jakarta banyak memiliki persamaan juga dengan tema-tema yang dicetuskan oleh para sastrawan yang tinggal di daerah. “Sastra tak bisa lepas dari kondisi masyarakat yang menjadi pendukungnya. Saya merasakan, bahwa apa yang tercetus dalam novel-novel adalah nilai-nilai yang sesungguhnya amat universal.”
Proses modernisasi yang terjadi di Jakarta juga terjadi di daerah. “Jakarta memang modern, tetapi bukan berarti hal ini tak terjadi di daerah. Bahkan mungkin lebih dahsyat,” ujar sastrawan yang dilahirkan pada 19 September 1963 di Teluk Belitung, Bengkalis, Riau tersebut.
Jika kemudian nilai-nilai Barat yang marak berkembang dalam novel-novel karya para novelis yang disebut-sebut sebagai para novelis Sastra Wangi, yang mengeksplorasi nilai-nilai yang bisa dianggap modern dalam tanda kutip karena menyoal seksualitas dengan cara yang amat gamblang, semisal Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu, Taufik melihatnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara saja. “Itu cuma semacam euforia saja, tidak lebih dan tak kurang, tidak menggambarkan kondisi sastra Indonesia dalam waktu yang lebih panjang.”
Taufik sendiri lebih melihat pertentangan antara pusat dan daerah itu lebih kepada perjuangan untuk tetap bertahan mengeksplorasi apa yang memang merupakan kekayaan daerah masing-masing. “Semisal para sastrawan Bugis yang tak lagi membahas soal kepulauan,” kata Taufik. “Yang ada hanya gaya-gayaan. Dan eksplorasi yang sifatnya pragmatis saja, sesuai dengan sifat manusia Indonesia sebetulnya,” ujar Taufik.
Ini sebenarnya menggambarkan kondisi sastra nasional yang saat ini menurutnya sudah kehilangan akarnya. “Sudah kehilangan pegangan dan pijakannya pada tradisi, dan saya melihat kondisi ini nyaris di tiap daerah,” ujar sastrawan yang memenangkan banyak penghargaan untuk karyanya Sandiwara Hangtuah.
Di Indonesia jenis sastra lokal yang mengangkat kekayaan masing-masing daerah, yang menjadi tempat itu berasal dimasukkan ke dalam kategori sastra subkultur. Sayangnya dalam ranah sastra Indonesia, jenis sastra yang satu ini kurang berkembang dengan baik.
Ini lebih karena tak di semua daerah sastra subkultur memiliki eksponen yang piawai mengolah kekayaan budaya daerahnya ke dalam bentuk sastra. Selain itu, bentuknya yang khas membuat jenis sastra ini agak sulit bersaing dengan ragam sastra lain yang lebih mengikuti mainstream.
Ronggeng Dukuh Paruk
Setelah di tahun 1950-an Ajip Rosidi tidak begitu berhasil membuat sebuah gerakan untuk mengangkat warna kedaerahan dalam sastra Indonesia, di tahun 1980-an muncul kecenderungan mengangkat warna daerah dalam sastra Indonesia.
Menurut Gunoto Saparie dalam tulisannya Wacana: Nuansa Lokal dalam Sastra Indonesia, novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG menjadi pemicu kebangkitan warna lokal ini.
Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan tentang kehidupan Srinthil, seorang ronggeng yang tersohor namun harus berakhir tragis akibat peristiwa 65. Latar sebuah desa miskin di pulau Jawa, menjadi bagian terkuat dari novel ini.
Di kalangan para penulis generasi baru, Gus tf Sakai membuat karya-karyanya dengan budaya Minangkabau yang ketat, semisal lewat novelnya Tambo. Zawawi Imron mengangkat warna Madura yang kental dalam puisi-puisinya, sebagaimana Acep Zamzam Noor menjadikan desa Cipasung dan daerah Tasikmalaya sebagai sumber inspirasi yang tak kunjung kering dalam sajak-sajaknya.
Sementara penyair Raudal Tanjung Banua kerap menampilkan pembacaan puisi dengan membawakannya mirip dengan gaya berdendang para pemusik minang. Di era sebelumnya Sutardji Calzoum Bachri berhasill mengolah mantra menjadi teknik pembacaan puisi yang membawa angin segar sekaligus membuat kejutan tersendiri dalam khasanah sastra Indonesia.
Meski kerap mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan permasalah sosial yang terjadi di daerahnya di dalam karya, Taufik Ikram Jamil sendiri menolak jika karya-karyanya kemudian dikategorikan dalam genre sastra yang satu ini.
***