KASUS POLITIK DALAM SEJARAH KESUSASTRAAN INDONESIA

Maman S. Mahayana *
Surabaya Post, 24 Okt 1993

Pembicaraan mengenai sejarah kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bukanlah sekadar berisi pemaparan mengenai sejumlah karya pengarang Indonesia berikut ulasan dan biodata pengarangnya, melainkan juga menyangkut berbagai hal yang melatarbelakanginya. Proses penciptaan, latar sosio-budaya, situasi sosial yang terjadi pada zamannya, peranan penerbit, reaksi masyarakat, dan hubungannya dengan politik pemerintah, merupakan masalah yang mestinya diungkapkan atau disinggung dalam pembicaraan sejarah kesusastraan. Apa yang terjadi dalam kesusastraan Indonesia merupakan contoh kasus bahwa persoalan sosial-budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra, tidak dapat diabaikan begitu saja. Ternyata bahwa masalah tersebut, khasnya yang berkaitan dengan politik kolonial Belanda, sedikit-banyaknya telah ikut mewarnai “bahkan menentukan” perjalanan kesusastraan Indonesia sejak awal kelahirannya hingga dewasa ini.

Adanya kaitan yang erat antara sastra dan politik yang lalu menimbulkan berbagai reaksi, sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Masalahnya, karya sastra diciptakan oleh pengarang selaku anggota masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada norma yang harus dipatuhi anggotanya. Jika ada pelanggaran terhadap norma itu, maka masyarakat atau pemerintah akan menjatuhkan sanksi. Jadi, manakala terjadi konflik antara isi karya sastra dengan norma masyarakat, saat itulah akan timbul reaksi. Sampai kapan pun dan di mana pun juga, kesusastraan akan menghadapi persoalan-persoalan seperti itu. Kasus yang menimpa Madame Bovary karya Gustave Flaubert, misalnya, merupakan salah satu contoh, betapa karya sastra tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kehidupan sosial politik zamannya. Kasus novel Salman Rusdhie, Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) merupakan contoh betapa hubungan sastra dan norma masyarakat (agama), acap kali menimbulkan masalah sosial-politik.
***

Hubungan kesusastaan dan politik dalam sejarah perjalanan kesusastraan Indonesia modern sebenarnya bermula justru sebelum Balai Pustaka lahir. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, Semaun, Tirto Adisuryo, serta karya-karya pengarang peranakan, baik peranakan Cina maupun Indo-Belanda, sebenarnya termasuk ke dalam khazanah kesusastraan Indonesia modern. Pemerintah kolonial Belanda waktu itu menganggap bahwa karya-karya mereka -terutama karya pengarang yang secara jelas menyuarakan aspirasi politik tertentu, seperti Semaun, Mas Marco, dan Tirto Adisuryo- dapat berakibat buruk pada kehidupan kemasyarakatan waktu itu. Oleh karena itu, pemerintah Belanda menyebut karya-karya mereka sebagai “bacaan liar” yang dikarang oleh para “agitator” dan diterbitkan oleh para penerbit yang “tidak bertanggung jawab dan tidak suci hatinya.”

Kasus tersebut jelas memperlihatkan bahwa hubungan politik dan sastra pada masa itu telah menyebabkan pemerintah Belanda merasa perlu mendirikan Balai Pustaka. Jadi, kelahirannya lebih banyak dilatarbelakangi oleh masalah politik waktu itu. Oleh karena itu, seyogyanya pembicaraan mengenai awal lahirnya kesusastraan Indonesia, mesti mengungkapkan juga karya-karya yang terbit sebelum Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar.

Masalahnya menjadi jelas apabila kita menghubungkannya dengan kebijaksanaan kolonial Belanda. Seperti telah disebutkan, salah satu alasan berdirinya Balai Pustaka adalah untuk membendung pengaruh bacaan yang berisi propaganda politik yang diterbitkan pihak swasta. Dalam hal ini, Balai Pustaka hendak dimanfaatkan untuk kepentingan pihak Belanda di tanah jajahan. Dengan demikian, karya-karya yang diterbitkannya, sudah tentu harus sejalan dengan kebijaksanaan kolonial. Keadaan tersebut dengan sendirinya ikut pula mempengaruhi isi karya yang diterbitkan oleh lembaga itu.

Sedikitnya ada tiga novel Indonesia yang terbit sebelum perang yang dapat kita jadikan semacam contoh adanya hubungan yang erat antara kesusastraan dan politik.

Pertama, novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Jamil Bakar, dan kawan-kawan (1985), Syafi’i St. Rajo Batuah (1964), B.S. (1954), dan Bakir Siregar (1964) menyebutkan bahwa novel Salah Asuhan sedikitnya telah mengalami dua kali “revisi” yang justru mengubah makna dan amanat novel itu secara keseluruhan. Disebutkan bahwa dalam naskah aslinya, Corrie adalah Indo-Belanda bukan Indo-Prancis. Demikian juga, pecahnya hubungan Hanafi dan Corrie sebenarnya akibat sikap Corrie yang terlalu mengumbar keseronokan dan sering berhubungan dengan lelaki lain, sehingga Hanafi tidak tahan dengan kelakuan istrinya. Akibat perbuatan itu, Corrie akhirnya mati ditembak seorang pelaut ketika ia baru saja berhubungan gelap dengan lelaki pelaut itu. Dalam naskah pertama, konon Corrie mati akibat penyakit kelamin.

Dengan adanya perubahan tersebut, maka citra Corrie sebagai wanita Indo-Prancis dipandang tidak akan mempengaruhi citra wanita Belanda. Apalagi gambaran Corrie dalam novel itu sama sekali tidak mengesankan sebagai wanita “nakal”. Sebaliknya, Hanafi justru tampil sebagai sosok pemuda angkuh yang tidak mau menghormati tradisi leluhurnya.

Kedua, novel Di Luar Garis (Buiten het Gareel) (1941)) karya Suwarsih Djojopuspito. Novel yang kemudian diterbitkan Penerbit Djambatan (1975) berjudul Manusia Bebas itu sebenarnya selesai ditulis naskahnya dalam bahasa Sunda tahun 1937. Setelah diindonesiakan, naskahnya dikirim ke penerbit Balai Pustaka, tetapi kemudian ditolak karena isinya menyuarakan semangat nasionalisma. Baru pada tahun 1941, novel itu diterbitkan di Utrecht, Belanda dengan kata pengantar diberikan oleh E. Du Perron, berjudul Buiten het Gareel.

Kasus ini juga mengisyaratkan bahwa terbit tidaknya sebuah karya sastra sering dihubungkaitkan dengan persoalan politik. Hal yang hampir sama, juga terjadi pada novel Belenggu (1940) karya Armijn Pane. Novel ini juga ditolak Balai Pustaka karena isinya dipandang tidak sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Novel ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat dengan menyertakan beberapa tanggapan pembaca atas novel tersebut yang menyangkut dua hal. Pertama, ceritanya tidak dapat diterima akal; kedua, ceritanya dianggap tidak bermoral, bertentangan dengan susila bangsa Indonesia.

Dalam konteks hubungan sastra dan politik, kita juga dapat menengok jauh ke belakang pada karya-karya sastra keagamaan. Konflik ideologi antara Nurrudin ar-Raniri yang menentang Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani dibakar dan dimusnahkan. Bahkan lebih daripada itu, konflik tersebut telah membawa tragedi berdarah.
***

Selepas merdeka, kesusastraan Indonesia banyak mengalami gejolak yang justru ditimbulkan lantaran masalah politik masuk ke dalam wilayah kesusastraan; atau sebaliknya, manakala kesusastraan akan ditingkahi oleh berbagai gejolak.

Tahun 1960-an, misalnya, kesusastraan Indonesia memasuki zaman “kekacauan” dalam pengertian tidak adanya ukuran atau kriteria yang jelas untuk menentukan karya sastra yang baik. Adanya pengkotak-kotakan golongan sastrawan, antara lain, Lekra dan Lesbumi, merupakan tanda betapa dunia kesenian, khususnya kesusastraan, pada masa itu diwarnai oleh kepentingan ideologi tertentu. Pengkotak-kotakan ini juga tidak hanya mencerminkan telah terjadinya perpecahan dalam kehidupan berkesenian di Indonesia, tetapi juga mempertegas adanya tarik-menarik kepentingan dan pengaruh-pengaruh kelompok tertentu.

Kemudian peristiwa Manifes Kebudayaan yang ditandatangani di Jakarta tanggal 17 Agustus 1963, dan disiarkan dalam lembaran budaya Berita Republik 19 Oktober 1963 dan dalam Majalah Sastra, September-Oktober 1963, merupakan contoh lain dari reaksi adanya hubungan sastra dan politik. Tanggal 8 Mei 1964, Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Para penandatanganannya dinyatakan telah bertindak tidak sejalan dengan semangat revolusi.
***

Selepas pecah pemberontakan PKI 1965, kehidupan politik Indonesia memasuki babak baru. Tetapi kehidupan kesusastraan Indonesia masih belum sepenuhnya dapat dipahami sebagai karya kreatif imajinatif. Atau ukuran norma masyarakat tidak jarang sangat menentukan keberadaan karya sastra.

Kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin merupakan contoh betapa masalah sosial politik masih saja mewarnai perjalanan kehidupan kesusastraan Indonesia. Cerpen yang dimuat Majalah Sastra, Agustus 1968 telah menyeret H.B. Jassin sebagai penanggung jawab majalah itu berhadapan dengan pihak pengadilan. Dalam konteks perkembangan kesusastraan Indonesia, masalah hubungan agama dan kesusastraan tidak jarang pula menjadi masalah yang amat rawan.

Begitulah perjalanan kesusastraan Indonesia ternyata tidak pernah sepi dari masalah-masalah sosial politik. Pelarangan novel empat serangkai karya Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh lain, bahwa masalah politik tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan kesusastraan dan kesenian pada umumnya.

Keadaan tersebut ternyata telah membuat sejunlah penerbit mempertimbangkan berbagai kemungkinan adanya cekal (cegah tangkal) dari pihak pemerintah. Sekadar menyebut beberapa kasus, dapat dikemukakan di sini perubahan nama tokoh dalam novel Kubah (1980), hilangnya sekitar 25-an halaman naskah dalam Jantera Bianglala (1986), keduanya karya Ahmad Tohari serta hilangnya beberapa bagian dalam novel Warisan (1979) karya Chairul Harun. Demikianlah sekilas perjalanan kesusastraan Indonesia dalam hubungannya dengan masalah politik yang sering menimbrunginya. Sangat boleh jadi, persoalan ini akan terus berlanjut sampai entah kapan, makala muncul karya sastra atau karya apapun yang dianggap bertentangan dengan norma masyarakat dan politik pemerintah.

Masalahnya kini, bagaimana pengarang kita mampu menyiasati dan menyembunyikan amanatnya sedemikian rupa, sehingga kritik sosial yang disampaikannya begitu rapi. Pengarang-pengarang besar umumnya mampu melakukan itu, betapapun karyanya berisi kritik sosial yang amat pedas. Jadi, masalah sebenarnya bergantung pada kepiawaian dan kecendekiaan sastrawannya sendiri, bagaimana memanfaatkan licentia poetica atau kebebasan kreatifnya menjadi karya yang sarat makna, sehingga pembaca memakainya dengan berbagai tafsiran.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป