Gugun el-Guyanie
http://www.jawapos.com/
“Kita mengenang karena sayang, kita bernostalgia karena cinta, dan kita meruwat karena hormat.”
Memori sejarah dunia Islam harus kembali membuka file-file lama untuk menemukan tokoh besar dalam sejarah perjalanan Islam di Indonesia dan dunia. Buya HAMKA, nama itulah yang menjadi penanda penting bagi kehidupan umat Islam di Indonesia khususnya.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), putra Minangkabau yang lahir pada 17 Februari 1908, dikenang karena kebesaran perjuangannya untuk menghidupkan Islam dan mencintai tanah air Indonesia. Tidak ada yang berlebih-lebihan ketika peringatan seabad Buya HAMKA kali ini, siapa pun harus memberikan apresiasi yang reflektif dalam rangka menghidupkan roh perjuangan beliau.
Sebagai ulama, mubalig, aktivis politik, dan pujangga besar, nama Buya HAMKA merangkum berbagai dimensi ilmu pengetahuan dan lintas sektor kehidupan. Buya HAMKA menempati peta penting dalam sejarah peradaban umat Islam Indonesia, bahkan dunia.
Dengan membaca peta HAMKA, umat muslim Indonesia sangat diharapkan mampu melanjutkan garis perjuangan dalam sejarah peradaban Islam jauh ke depan. Abad ke-21 yang ditunggangi ideologi global modernisme menjadi tantangan umat Islam untuk menjawab problematikanya.
Melalui kebangkitan spirit HAMKA, jawaban-jawaban itu terlahir sebagai bukti bahwa Islam itu memiliki power untuk melakukan perubahan. Islam di tangan HAMKA bukan doktrin mati yang membelenggu kemanusiaan, namun justru Islam menjadi teologi pembebasan (liberation theology) bagi mereka yang terpenjara, mengangkat derajat orang-orang kalah, dan mencerahkan umat yang terbelakang.
HAMKA adalah muslim tradisionalis sekaligus modernis. Dia seorang ulama yang istikamah dengan keislamannya, namun sekaligus menjadi seorang nasionalis yang berwibawa. Beliau adalah tokoh besar Muhammadiyah, namun juga sangat dekat dengan tradisi NU.
Pada zaman Soekarno, HAMKA adalah ulama pertama yang membacakan syair-syair Maulud Barjanzi di Istana Negara. Beliau menyanyikan bait-bait Barjanzi dan menerjemahkan dengan nuansa sastra sufistik yang tinggi. Barjanzi itu menjadi brand culture orang-orang NU, yang dianggap bid?ah oleh lingkungan HAMKA yang Muhammadiyah.
Begitu juga kegemarannya pada dunia mistik-sufistik, yang juga menjadi karakter ulama tradisonalis NU. Dalam bukunya, Tasawuf Modern atau Tasawuf dari Abad ke Abad, tampak kelapangan hati antar aliran mistik.
Dalam buku itu, tak ada nada penghukuman, bahkan kepada pendekar union mystique Al Hallaj. Justru terdapat nukilan, misalnya, tentang Abu Yazid Al Busthami, seorang sufi, yang datang ke satu misa di gereja dan bapak pastor di sana kemudian mengumumkan hadirnya seseorang yang menurut perasaannya bukan orang sembarangan, dilihat dari aura jiwanya yang kuat.
Karakter keilmuan Islam klasiknya benar-benar sangat dekat dengan kultur Islam tradisionalis sebagaimana yang melekat pada ulama-ulama NU, terbukti dengan penguasaannya yang otoritatif terhadap kitab-kitab salaf. Kefakihan “dirosah Islamiyah” (Islamic studies) yang dimiliki HAMKA sampai saat ini jarang dimiliki kader-kader Muhammadiyah yang justru terjebak dalam puritanisme Islam yang radikal-konservatif.
Dalam konteks ini, saya tidak ingin berpikir dikotomis-frontalis antara NU-Muhammadiyah. Namun, ingin menunjukkan kepada umat Islam yang cenderung ekstrem-fanatis NU atau Muhammadiyah bahwa keduanya bisa terdapat dalam satu tubuh sekaligus, bersanding dengan damai demi membangun umat Islam yang harmonis dan humanis.
Baik orang NU atau orang Muhammadiyah harus sama-sama belajar kepada yang mulia Buya HAMKA. NU harus belajar serius bagaimana seorang yang memiliki tradisi kuat, namun juga mampu mentransformasikan ilmu modern dan Barat yang dianggap sekuler.
Demikian juga, Muhammadiyah harus belajar sungguh-sungguh kepada HAMKA untuk membuktikan bahwa Muhammadiyah adalah jam?iyyah yang istikamah mengusung mainstream pembaruan (tajdid). Secara ontologis, HAMKA adalah senyawa yang tidak bisa dibingkai dan dirumuskan dalam satu segmentasi yang ketat.
Sebagaimana hipotesis Yudian Wahyudi PhD, guru besar filsafat hukum Islam, yang memberikan pernyataan bahwa pengalaman konflik tradisionalis versus modernis mengajarkan bahwa esensialisme gagal karena manusia adalah makhluk multiorientasi sehingga juga multidimensi, yang menolak setiap pemilahan ketat yang membagi manusia menjadi satu kategori atau label seperti tradisionalis, modernis, atau fundamentalis.
HAMKA dengan kemurnian akidahnya tidak menjadikan beliau terjebak dalam fanatisme buta (muthlaqun ta?ashuby) sehingga mampu memberikan payung keteduhan bagi umat Nasrani, etnis Tionghoa, dan agama lain.
Surat kabar Berita Buana, yang menobatkan beliau sebagai Man of The Year untuk 1980, menilai HAMKA sangat berjasa dalam memperbesar jumlah pemeluk Islam dari kalangan warga Tionghoa, baik dari generasi muda, cendekiawan, maupun pengusaha. Bahkan, pada usianya yang lanjut, Buya HAMKA masih membuka pintu lebar bagi warga negara keturunan untuk belajar Islam.
Sebagai aktivis partai politik Masyumi, Buya HAMKA tentu memiliki tafsir politik yang positif daripada image politik yang oleh kebanyakan orang dibaca dengan negatif.
Sudah menjadi dalil umum bahwa politik adalah penyusunan dan penggunaan kekuasaan (machtsvorming en machtsaanwending). Namun, Buya HAMKA mengoperasikan politik yang maslahah dan rahmatan lil ?alaamin. Ketika pemerintah mengampanyekan gerakan monoloyalitas, yang mengarahkan setiap pegawai negeri harus loyal kepada pemerintah dengan diwajibkan memilih Golkar dalam setiap pemilu, Buya HAMKA memberikan tanggapan yang diplomatis sekali.
Kata Buya HAMKA saat itu: Saya adalah seorang rakyat Indonesia yang pertama kali berlindung kepada Allah, di bawah kibaran bendera Merah Putih dan presidennya ialah Soeharto. Inilah yang bernama loyalitas.”
Lanjut HAMKA, dengan pernyataan loyalitas itu bukanlah berarti bahwa saya mesti membantu kampanye Golkar. Jika saya tidak ikut kampanye buat menusuk tanda gambar salah satu partai Islam, bukanlah berarti saya keluar dari perjuangan Islam.