Ahmad Syafii Maarif
http://www.kompas.com/
Kita tidak tahu pasti sejak kapan umat Islam mulai merayakan Idul Fitri di Nusantara ini, tetapi jelas sudah berabad-abad, jauh sebelum Indonesia sebagai bangsa yang baru muncul ke peta dunia tahun 1920-an, dipelopori oleh Perhimpunan Indonesia (PI) di Negeri Belanda dan dikukuhkan oleh Sumpah Pemuda 1928. Saya ingin berteori bahwa sebelum tahun 1920-an, bangsa Indonesia belum ada. Hindia Belanda bukan Indonesia, tetapi modal untuk kemudian diubah menjadi Indonesia, baik sebagai bangsa maupun sebagai negara yang baru lahir pada 17 Agustus 1945. Adapun Nusantara yang terdiri dari ribuan pulau yang dikuasai oleh beberapa kerajaan, besar atau kecil, memang sudah berusia ratusan abad, mulai dari kerajaan Hindu di Kutai, Kalimantan Timur, awal abad ke-5 Masehi, kerajaan Hindu Sanjayawangsa, kerajaan Buddha Sriwijaya/Sailandrawangsa, kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, diikuti kemudian beberapa kerajaan Islam di berbagai kepulauan.
Jika kita ikuti satu teori yang mengatakan bahwa Islam telah mulai bertapak di sini sejak abad ke-7/8 Masehi, sekalipun berupa kerajaan baru muncul akhir ke-13, kira-kira Idul Fitri memang sudah dirayakan orang di berbagai kawasan Nusantara sejak puluhan abad yang silam. Sebuah paradoks berlaku di sini, yaitu proses Islamisasi besar-besaran terjadi justru karena kedatangan penjajahan Barat sejak permulaan abad ke-17, antara lain dengan terbentuknya VOC tahun 1602. Karena merasa terancam oleh kedatangan Barat, raja-raja lokal, baik yang berkuasa di kawasan pantai maupun yang berdaulat di pedalaman, berlomba-lomba merapat ke dan bekerja sama dengan kiai- kiai dan guru-guru agama setempat karena melihat Islam sebagai kekuatan perlawanan terhadap Barat, sekalipun pada akhirnya lumpuh juga. Yang menarik kemudian adalah kenyataan bahwa hasil pergulatan pribumi versus Barat itu, Islam telah menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Nusantara. Setelah bangsa Indonesia lahir, Islam relatif tetap menjadi agama dominan sampai hari ini, setidak-tidaknya secara kuantitatif. Adapun masalah kualitas memang masih jauh tertinggal, baik pada sisi ilmu maupun pada sisi moral.
Jika dikaitkan dengan fenomena Idul Fitri yang berarti kembali pada kesucian atau kembali berbuka, pertanyaan yang mendesak adalah mengapa kultur bangsa mayoritas Muslim ini belum juga bergerak ke arah kesucian dalam upaya pencarian sebuah makna yang autentik? Ada dua kemungkinan jawaban. Pertama, umat Islam boleh jadi lebih terpaku dan terpukau oleh dahsyatnya suasana perayaan, tetapi melupakan filosofi yang mendasari Idul Fitri itu, berupa membangun kultur kesucian setelah satu bulan menjalani puasa Ramadhan yang sarat dengan perintah disiplin itu. Ungkapan Al Quran dalam surat al-Baqarah: 183, tentang tujuan berpuasa yang berbunyi la?allakum tattaq?n (semoga kamu berhasil meraih posisi takwa), ternyata bukan perkara mudah. Konsep takwa kepada Allah tak dapat diterjemahkan dengan sikap takut kepada Tuhan, tetapi mengandung pengertian menjaga diri dari kehancuran moral agar tidak dimurkai Allah dengan tetap konsisten dalam perilaku lurus dan jujur. Puasa Ramadhan adalah salah satu bentuk latihan disiplin mental dan fisik selama sebulan penuh menuju posisi ideal itu.
Kedua, aspek asketisme Ramadhan hampir tidak pernah diwacanakan secara luas dan terus-menerus dalam berbagai forum saat membedah filosofi puasa, khususnya ketika sebagian anak bangsa ini masih dililit gurita kemiskinan. Akibatnya, tidak jarang suasana Idul Fitri dirayakan secara berlebihan dan penuh kemewahan oleh mereka yang beruntung. Bagi mereka yang terdampar, berebut zakat atau zakat fitrah di hari raya adalah kenyataan yang masih ?setia? dengan masyarakat kita. Memang tidak keliru melihat keterkaitan perasaan lapar dan dahaga selama puasa dengan sikap kepedulian sosial terhadap mereka yang telantar, tetapi harus lebih jauh dari itu, yaitu dengan berpuasa orang akan terbebas dari kerakusan, baik terhadap benda maupun terhadap kekuasaan. Mahatma Gandhi pernah berkata, ?Dunia cukup untuk menghidupi setiap orang, tetapi tak cukup untuk melayani si rakus.? Dengan menghidupkan kultur asketisme Ramadhan ini diharapkan kerakusan akan dapat dihalau sehingga masyarakat secara keseluruhan, khususnya kaum elite, akan menghayati benar makna ungkapan la?allakum tattaq?n, karena Allah adalah musuh sejati bagi manusia rakus yang biasa bergelimang dalam kemewahan dan kedangkalan.
Akhirnya kita berharap agar Idul Fitri 1429 Hijriah tahun ini, di samping dirayakan secara masif yang memang tidak ada duanya saban tahun, akan dapat menyadarkan kita semua agar secara bertahap mau menyelami hakikat puasa dan Idul Fitri sehingga buah yang didapat adalah kemenangan autentik, bukan capaian spiritual yang dangkal dan tunamakna. Semoga roda sejarah modern Indonesia akan bergerak menuju kepribadian yang tangguh bermartabat sebagai hasil dari pencarian sebuah makna spiritual yang terdalam.