Tauhid sebagai Esensi Estetika Sastra Sufi

Heru Kurniawan
lampungpost.com

APA yang ingin saya diungkapkan ini mengenai paradigma pemahaman sastra sufi dilihat dari fondasi Islam dan epistemologi sastra. Penggabungan keduanya, menurut saya, akan menghasilkan suatu paradigma sastra sufi yang logis. Sekalipun pengertian ini bersifat analogis, tetapi dapat dijadikan sebagai perspektif dalam memosisikan sastra sufi, yang sampai saat ini paradigmanya masih rancu karena dikaburkan oleh cara pandang subjektif sebagai pengaruh etika agama yang tidak dilihat secara keilmuan. Hasilnya, cara pandang paradigma sastra sufi dalam kesusastraan Indonesia masih terbelenggu oleh romantisme dan keyakinan Islam yang sempit.

1.
Hal mendasar yang diungkapkan dan diabadikan dari karya seni adalah estetika, yaitu cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Kesamaan fundamental dari setiap karya seni adalah estetika, sedangkan letak perbedaannya pada media penyampainya. Misalnya, antara seni sastra dan seni lukis itu sama-sama menyampaikan keindahan. Namun, keindahan dalam sastra disampakan lewat bahasa, sedangkan keindahan dalam lukisan disampaikan lewat harmonisasi warna. Warna dan bahasa inilah yang disebut media penyampainya.

Di sini terlihat bahwa media penyampai adalah badan, sedangkan estetika merupakan roh. Sekalipun keduanya mempunyai posisi yang penting, tetapi tubuh hanya mempunyai fungsi untuk mengantarkan sedangkan kenikmatan yang sebenarnya adalah pada “roh”. Dengan roh ini ekspresivitas seni terlahir, yang efeknya akan menciptakan pengalaman hidup baru yang “mencerahkan atau katarsis.” Sebab estetika merupakan roh, maka hakikat estetika adalah “pribadi” yang keberadaannya paling fundamental dalam seni. Tidak mengherankan bila pergelutan kreator dalam dunia kreativitas sebenarnya adalah suatu usaha dalam menemukan estetika yang berpribadi.

2.
Sementara itu, fondasi ajaran Islam itu bertumpu pada tauhid, yaitu suatu kesadaran dalam “peng-Esa-an Tuhan” dengan “Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan.” Kesadaran ke-Esa-an Tuhan ini mengimplikasikan suatu pandangan hidup bahwa eksistensi alam semesta hanya berinti pada Tuhan. Maka keyakinan hidup manusia haruslah bertumpu pada Tuhan. Manusia harus yakin bahwa segala gerak alam semesta itu terjadi kerena eksistensi Tuhan. Tanpa Tuhan Yang Mahakuasa, maka alam semesta tidak ada. Tuhan adalah inti realitas yang membuat realitas menjadi ada, termasuk manusia itu sendiri. Sebab dasar tauhid ini, tidak mengherankan bila “pengingkaran” manusia terhadap Tuhan, dalam Islam, diposisikan sebagai sikap berdosa paling tinggi yang tidak terampuni. Implikasi dari penyaksiaan ketauhidan ini adalah iman, yaitu keyakinan-keyakian terhadap keberadaan Tuhan, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari kiamat, dan takdir. Dengan keimanan ini maka sudah sempurnalah setiap individu menjadi muslim. Selanjutnya, individu tersebut akan hidup dalam garis Islam yang bersandar pada Alquran dan Hadis. Di sini terlihat bahwa peran utama tauhid adalah sebagai pintu masuk menuju “Islam” sebagai agama teologis-humanisme, yaitu pencipta rahmatan lil alamin dengan berdasar konsep ketuhanan.

3.
Dua penjelasan di atas memperllihatkan bahwa esetetika adalah esensi dari sastra, sedangkan tauhid adalah pondasi dari Islam. Oleh karenanya paradigma “sastra sufi”–sebagai dunia yang dibangun oleh “seni” dan “Islam” merupakan bagian seni Islam yang fondasi filosofinya berdasarkan estetika tauhid, yaitu keindahan-keindahan filosofis yang berpangkal pada peng-Esa-an Tuhan. Estetika tauhid akan mengungkapkan pengembaraan dan perjalanan untuk menuju yang transendental. Muaranya adalah pada nilai-nilai ilahiah, yaitu suatu kesadaran tentang keberadaan Tuhan pada setiap gerak dan peristiwa dalam kehidupan.

Di sini saya memaknai konsep tauhid Islam tidak hanya pada wilayah prinsip keimanan yang eksoterik. Namun, tauhid saya letakkan pada dimensi esoterik, yaitu ruang kehidupan yang luas, yang oleh Ismail Raji al-Faruqi dalam bukunya Cultural Atlas of Islam disebut tauhid sebagai prinsip peradaban. Tauhid sebagai dasar peradaban adalah unsur struktur pemberi identitas peradaban yang mengikat dan mengintegrasikan keseluruhan unsur pokok sehingga membentuk suatu kesatuan yang padu. Peradaban yang dibangun di atas nilai-nilai tauhid inilah yang sesungguhnya mencerminkan hak tipikal Islam. Dengan dimensi tauhid yang sampai menjangkau peradaban, maka seni Islam (sastra) tidak terkecuali, hakikatnya adalah menyuarakan tauhid dalam kapasitasnya sebagai sarana untuk mempengaruhi peradaban masyarakat.

Oleh sebab itu, sastra sufi sebagai bagian dari gerak kehidupan akan berpartisipasi aktif, kreatif, sadar, dan bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas kehidupan yang bermuara kepada Tuhan. Estetika sastra sufi selalu menyuarakan kesatuan alam semesta dalam pencipta-Nya sehingga sastra sufi membangun pemahaman yang berujung pada Tuhan. Sarana pengucapan dalam sastra sufi yang bertabur hal keduniaan hakikatnya adalah jalan untuk menginsyafi keberadaan Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan sastra sufi selalu menyuarakan nafas ketuhanannya dengan simbolitas. Hal ini dapat dimaklumi karena Tuhan sebagai inti realitas tidak sama dengan realitas-realitas yang diciptakannya.

4.
Setelah mengetahui tauhid sebagai esensi estetika sastra sufi, persoalan yang kemudian muncul adalah “apa parameter estetika sastra dianggap menyuarakan dimensi tauhid?” Dalam hal ini, saya mengatakan bahwa ketauhidan sebagai suatu estetika hanya dapat dilihat dari dialog yang intens antara “pembaca dengan karya.” Pembaca adalah pemegang “otoritas esetetis” karena hakikat interpretasi sebagai pemahaman itu subjektif. Hal ini terjadi karena konsep “subjektivikasi” estetika terjadi dengan adanya dialog antara “penciptaan yang personal” dengan “penikmatan yang impresi” sehingga dialog antara karya dan penikmat menjadi suatu produksi pengalaman pribadi penikmat yang tanpa henti dalam konteks sejarah.

Idealisasi rekonstruksi karya harusnya didasarkan pada “pengalaman pembaca” dan “kemungkinan-kemungkinan yang diciptakan teks”. Namun, sering sekali hal itu tidak terjadi. Rekonstruksi makna justru berjalan searah, yaitu hanya dikuasai oleh pembaca. Pembaca karya sastra, menurut saya, sering arogan dalam memperlakukan karya. Karya hanya diperlakukan sebagai “artefak” yang pemaknaannnya menjadi semau gue sehingga apa yang didapat pembaca dalam pemaknaan hanyalah “reproduksi pengalaman” pembaca. Pembacaan model inilah yang menyebabkan pemaknaan gagal karena pembaca tidak bisa merefleksikan dirinya di hadapan karya.

Harus dipahami bahwa hakikat pembacaan pada karya muaranya adalah “refleksi diri” di hadapan karya. Oleh sebab itu, dalam proses pembacaan, pengalaman pembaca dan karya berada dalam posisi yang sama, yaitu pembacaan terhadap karya haruslah memperlakukan karya sebagai “ruang kemungkinan” yang juga akan mengarahkan pembacanya untuk menelusuri “makna keinginan” dari karya. Di sini pembaca dan karya terlibat dalam pemaknaan yang harmonis sehingga pembaca akan dapat “merefleksikan dirinya” dengan sempurna di hadapan karya, dan karya mampu memberikan pengalaman-pengalaman baru kepada pembaca. Efeknya, pembaca akan mendapatkan pemahaman atas karya yang dimaknai.

Dengan “perefleksikan diri” di hadapan karya “sastra sufi” maka pembaca akan menikmati pengalaman transendental yang bermuara pada Tuhan. Di sini terlihat bahwa kesufian suatu karya terletak pada “apresiasi pembaca” yang memang ketika membaca karya ia mendapatkan “Tuhan” di sana. Saya memersepsi bahwa “estetika tauhid” yang diusung “karya” adalah hakikat karya dikatakan sufi karena “sufi adalah pemahaman terhadap nilai yang terdapat dalam karya”. Dan ujung dari sastra sufi adalah menyampaikan pemahaman pada pembaca tentang Tuhan sebagai inti realitas.

Oleh sebab itu, siapa pun penyairnya jika puisi yang diciptakan mampu memberikan pemahaman ketauhidan pada pembaca, puisi itu dapat dikatakan sastra sufi. Hal ini berarti bahwa pemahaman sastra sufi harus diletakkan pada “nilai ketauhidan yang terdapat pada karya” bukan pada penciptanya. Dalam hal ini saya menyamakan kedudukan “penyair sebagai pencipta” sama seperti “pendakwah” dalam terminologi syiar Islam. Pendakwah mempunyai tugas menyampaikan kebaikan (Islam) pada orang lain, tetapi pendakwah tentu tidak ingin kalau ada orang yang masuk Islam karena dirinya. Pendakwah menginginkan orang masuk Islam itu karena kesadarannya bahwa Islam adalah agama yang baik, seperti isi dakwahnya. Di sinilah terlihat bahwa penyair hanyalah “penyampai” yang hanya bertanggung jawab untuk membuat “apa yang disampaikannya itu baik”. Selanjutnya, otoritas penilaian baik dan buruk atau sufi dan tidaknya suatu karya itu mutlak di tangan pembaca.
***

*) Pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Leave a Reply

Bahasa ยป