A R O K

Benny Benke
kompas.com

DI tanah lapang, di tempat yang telah dijanjikan, pada waktu yang telah ditentukan, dengan kebencian di jantung sisi kanan dan dendam di jantung sisi kiri, Ametung, yang parasnya mulai berkerut melantangkan serak kesumat ke langit. Berseolah lawan tandingnya, Arok, berada di depannya. Dengan angkara tak tertahan, menderas hujan menusuk wajah serta petir menjilat-jilat, menggelegar, tak terhiraukan lagi. Ametung menghunjamkan tombak ke bumi, bersimpuh kemudian mengacungkan keris ke langit. Sejurus kemudian dia menumpahkan kesumpekan, menyerapah dan mengutuk, menerjang-nerjang, meraung-raung?

“Arok! Manusia macam apakah dirimu! Merendahkan martabat para ksatria dengan mengobrak-abrik bahtera kerajaanku. Lalu, dengan penuh muslihat kaucuri permaisuriku dari singgasana. Tak adakah jalan kehidupanmu lebih mulia, kecuali kau isi dengan petaka? Arok, sejak semula aku tak percaya semua omongan adipati, perwira, punggawa, dan telik sandi bahwa kau bukan manusia!”

“Namun sejak kejadian ini”. Binatang! Muslihat apakah yang kau gunakan sampai permaisuriku serta merta, seakan penuh kerelaan berpaling dariku ke pelukan berandalan yang berleluhur tak jelas, sepertimu!

“Arok! Tidakkah kau malu pada dirimu sendiri bahwa tindakanmu ini penuh kenistaan? Tidakkah kau rasakan kepedihan hati ini, ditelikung istri atas nama bujuk rayu musuh besarnya?! Bukankah kau juga lelaki, Arok?! Tak pernahkah kau rasakan keperihan dikhianati sigaraning nyawa?! Tidakkah tersirat dalam benakmu yang cemerlang itu, pada saatnya pelacur ini akan berkhianat untuk kali kedua demi sekeping takhta atau apa pun namanya?”

Emosi Ametung makin pekat. Air mata mengintip dari kerut kelopak mata, hendak merinaikan butiran-butirannya. “Duhai Dedes, jangan pernah kau ulang khianatmu kepada siapa pun. Tidak juga pada seekor anjing, bahkan demi nirwana sekalipun. O Dedes, pergilah kau dengan kutukanku!”

Seketika, petir menjilat keris Ametung. Kecupan petir di pucuk lengkung kerisnya menimbulkan gelegar, menulikan telinga siapa pun di sekitarnya. Kilauan petir cuma menyisakan silau beberapa jenak di mata Ametung. Untung, semua patih, punggawa, perwira, dan para pengawal dari pakuwuan sejak semula telah sumingkir begitu sang akuwu dari Tumapel itu mengumbar angkara.

“Akuwu!”

Demi mendengar suara tak asing lagi di telinganya dan melihat sosok Arok, Ametung beringsut tegak dengan kedua kakinya, seraya merapikan diri. Seketika, ia menyimpan rapi air mata, serta menata hati dan pikiran selayaknya ksatria.

“Tak adakah perilaku seorang raja yang lebih bersahaja, selain menceracau dan mengumbar rasa belaka seperti seorang pemuda bercerai dari pasangannya? Tak adakah perkara yang lebih menyita perhatianmu selain masalah wanita?”

Sindiran Arok membuat Ametung yang hampir kuasa mengatasi dirinya makin tajam menombakkan pandang ke arah musuh besarnya. Yang sekarang telah jelma tepat di depan ke dua biji matanya, meski ketajamannya memudar dirongrong usia. Arok hanya sekitar duapuluh langkah orang dewasa di depannya.

“Ini aku, Arok! Aku yang dengan perkasa merampok kekuasaan dan permaisurimu. Mari kita bersemuka, sebelum ajalmu bersua kerisku. Karena kita laki-laki, maka salah satu harus mati!”

“Ya. Karena kita laki-laki, maka salah satu harus mati!” Ametung tak kalah lantang menyepakati ucapan Arok.

“Sepertinya ada yang akan kauutarakan sebelum jasadmu atau jasadku berkalang tanah, Akuwu. Bi-ca-ra-lah!”

“Bukan kematian benar yang kutakuti. Bahkan kematian terlalu sungkan menghampiriku. Sudah tak terhitung begundal macam kau kusudahi. Namun kehinaanlah yang membuatku meradang. Ketahuilah, wahai Arok, bahkan ketika nyawamu atau nyawaku meregang, kesumat dendam ini tak akan pernah tersudahkan.”

“Ohoi, ternyata Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel, raja diraja yang disegani kawulanya, hanyalah patriot bagi diri sendiri, tidak bagi negerinya. Tidak salah kurongrong pertiwimu sembari tanpa permisi kucuri permaisurimu. Tetapi, santaikanlah barang sejenak-dua jenak amarahmu, Akuwu. Ketahuilah?, Dedes tetap akan kusanding di tampuk singgasana itu, menjadi mahligaiku, menjadi peng-an-tin-ku!”

“Kau akan menuai balas di luar perhitunganmu, Arok!” hardik Ametung seraya mengarahkan mata keris ke jantung Arok.

“Akan kusongsong kapan pun saat itu tiba.” Tenang Arok menyahuti, meski kerisnya masih tersarung rapi di balik pinggul.

“Kau gentar, Arok?”
“Tidak satu titik hujan pun.” Meski, deras hujan makin menjadi-jadi.
“Bersiaplah, Arok!”
“Aku senantiasa siaga!”

Di bawah siraman hujan lebat, kebencian, amarah, kesumat, dan angkara, Ametung berlari kecil penuh kepastian dan kesungguhan ke arah Arok. Dia mengarahkan keris ke jantung seterunya, sedangkan tombak di tangan kiri siap dia tolakkan dari jarak yang dia yakini. Arok, yang tersongsong, masih mematung. Beranjak tak. Mencabut gaman tak. Namun sorot matanya tak lepas dari langkah Ametung yang mendekat penuh ketegapan. Kepastian.

Jarak menipis. Hujan menjadi-jadi. Petir menari-nari. Sembari berlari Ametung menolakkan tombak. Dalam hitungan jenak, jika Arok bergeming, sia-sialah legenda yang selama ini mengelilingi kebesaran namanya. Seketika, dalam detik yang berdetak, “Blarrrrr!” Gemuruh petir meluluhlantakkan mata dan batang tombak yang mengarah tepat ke jantung Arok. Lalu?, jerit kesakitan membahana. Belum usai keterkejutan Ametung karena kilauan petir menyilaukan pandang dan menyisakan rasa perih di dada kiri yang tak tersarikan, lawan yang dia tuju raib, entah ke mana.

“Di sini, Akuwu.”

Sejurus kemudian Ametung membalikkan badan. Musuhnya yang baru saja lenyap tiba-tiba, tepat telah berada di depan mata. Kali ini Arok sembari menggenggam keris. Ada sisa darah segar menetes dari keris itu. Dan Ametung?, pandang matanya mengabur. Di luar kesadaran tangan kiri Ametung membekap dada kirinya. Darah segar mengintip dari balik jari-jarnyai. Ya, jantung Ametung cedera. Keris Arok penyebabnya.

“Kalaupun tidak sekarang engkau tumpas, esok sebelum matahari terbit KAU telah berkalang tanah, Arok!” Ametung masih menebar ancaman.

“Sesumbarlah, Ametung. Pedih perihmu tak akan terobati hanya dengan menumpasku.”

“Kalaupun engkau belum tumpas juga, pada saat purnama belum sempurna, saat itulah semua petaka menyertaimu.”

“Kutukanmu tak ubahnya mantra tak menemu mangsa. SIA-SIA.”

Dengan jantung robek di dada kiri, Ametung berlari sejurus ke arah Arok, memburu dan memusatkan sisa-sisa tenaga dengan keris teguh tergenggam tangan kanan. Di benak Ametung cuma ada satu tujuan: tiji tibeh, mati siji mati kabeh.

“Enyahlah manusia terkutuk!”
“Binasalah bersama nasibmu, Tua Bangka!”

Sekali lagi, sebelum keris Ametung sampai benar ke sasaran, kilauan sabetan keris Arok merobek lambungnya. Terburailah isi perut sang Akuwu Tumapel, menyudahi sejarahnya, mengakhiri riwayatnya.

Hujan belum juga reda.
***

Di taman larangan pakuwuan, Dedes, meski membenci mendiang sang suami, ia tetap tak dapat menerima begitu saja kematian Ametung. Bagaimanapun Dedes pernah menghabiskan dan melewatkan sebagian rona garis nasibnya bersama Ametung. Bening air mata menyungai di pipinya. Dedes menyesali tindakan kedua lelaki yang sama-sama membuta mencintainya. Dedes berbicara dengan suara mengiba dalam kegundahan.

?Bodoh! Di belahan bumi mana pun apa yang dipertontonkan para lelaki tak lebih dari kebodohan belaka. Atas nama angkara mereka menghunus keris dan menumpahkan darah diantaranya sendiri. Setelah itu bersorak sorai seraya berkacak pinggang, menentang langit, dan berpekik layaknya ayam aduan. Tak adakah jalan yang lebih wajar dan sederhana? Tak bisakah kalian bersanding tanpa saling mencidera?

Arok! Kaurebut takhta lantaran wanita atau kuasa? Dan kau, Ametung! Kaupertahankan singgasana lantaran daya atau wanita? Atau kalian berdua memang tak pantas mendapatkan keduanya? Celakalah aku yang lepas dari mulut serigala lalu jatuh ke pelukan singa.

O, tak adakah jaminan ketenteraman dalam garis hidupku? Bagaimana mungkin aku mendapatkan kesejahteraan dari seorang lelaki yang dengan mudah merampas kehidupan orang lain, kemudian dengan bangga membusungkan dada, mempersembahkan buah angkaranya kepadaku sebagai kado istimewa? Alangkah durjananya!

“Di mana aku harus menemukan kemuliaan di antara dua lelaki yang sama-sama mengaku ksatria? Sementara itu di dada mereka bersemayam kesumat dendam.? Dedes makin mengisak. ?Sebenarnya aku bersuka cita lepas dari kungkungan Ametung yang tak pernah tahu, dan tak mau tahu belajar memperlakukan dan menghargai wanita. Namun celakanya, berandalan yang telah membebaskan aku ini?., misteri apa yang membuat aku jatuh hati kepadanya? Jangan-jangan dia hanya memanfaatkan aku sebagai boneka belaka. Simbol di depan rakyatku, di samping takhta rampasannya?”

Mata Dedes nanap menatap kosong ke depan, menerawang kepada… “Arok! Bicaralah. Jangan kau mematung batu membiarkan kegundahanku. Bicaralah, Arok. Aku akan menuntutmu bersumpah atas nama kedua kuburan orang tua yang melahirkanmu, meski kau tak tahu di mana kubur itu, tentang kesungguhanmu menyandingku.”

Seketika, seperti biasa, Arok datang dan pergi tanpa permisi, penuh misteri. Arok menyua Dedes pelan, pelan sekali. Seperti santun, melenakan. Dedes tak mengira Arok tiba-tiba menyusul ke taman larangan. Laksana terpana Dedes menyembah kepada Arok. Menata hati.

“Matamu keruh, Dedes. Kegundahan pasti mengaduk-aduk kebeningannya. Jika ada sesuatu yang mengganggu pikiran permaisuriku, aku, suamimu, wajib menghalaunya. Barangkali tak cukupkah persembahanku kepadamu? Atau, memang beginikah cara dan balasan seorang permaisuri kepada rajanya?”

“Tidak, Suamiku. Aku hanya ingin? merasa lebih nyaman.” Dedes merendahkan suara, datar.

“Duhai, Dedes? kenyamanan macam apa yang tak mampu kuberikan kepada permaisuri terkasih? Takhta telah kauterima. Begitu pula ini sukma. Tak adakah di benak seorang wanita, kecuali keraguan?”

“Bukan itu masalahnya.”

“Lalu apa?”

“Apakah Kakang tetap beranggapan aku ayu, bahkan pada saat aku tidak ayu sekali pun?” Entah kenapa tiba-tiba Dedes bisa bermanja-manja pada suami barunya, yang tentu saja baru saja membunuh suami lamanya.

“Oh, Dedes?” Arok bergeming. Dia sejenak membiarkan kemanjaan sang istri berlalu.

“Mengapa kau diam, Kakang?”

“Tak adakah perbincangan yang lebih berisi selain melulu membicarakan masalah keayuanmu yang tak terbantahkan?”

“Kalau begitu berbicaralah kepadaku tentang c-i-n-t-a.” O, apa pula ini. “Tak akan pernah ada cinta sesungguhnya dalam sejarah peradaban anak manusia. Tidak di sini, tidak di sana. Tidak sekarang, tidak nanti. Cinta sudah lama mati sebelum ia ada, meski tak ada yang membunuhnya. Cinta sudah sedemikian jauh dibengkokkan maknanya. Berbicara tentang cinta, Dedes, adalah berbicara tentang omong kosong belaka. Meski, bukan kesia-siaan.” Ketus, Arok berkhotbah seperti resi atau empu saja.

“Lalu, bagaimana dengan hubungan kita?” kejar Dedes.

“Dalam banyak hal, cukup aku yang merasakan. Kau tak perlu tahu. Begitu pula sebaliknya. Biarkan ia tersimpan rapi menjadi misteri.”

“Kau naif, Arok.”

“Aku tak peduli. Aku telah melamarmu dengan banjir darah. Dan itu tidak murah.”

“Bagaimana bila suatu saat kau tak menjumpai lagi kebahagiaan bersamaku?”

“Persetan! Menyandingmu sudah lebih dari kebahagiaan.”

“Bagaimana dengan Ken Umang, istrimu terdahulu? Apakah dia sebahagia dirimu menerima kehadiranku sebagai permaisurimu?!”

“Jangan sekali pun kaubawa-bawa perempuan berbudi itu dalam urusanmu, Dedes!” Arok meninggikan suara untuk tetap mendudukkan Umang dalam hatinya. Angin mati sejenak. Dedes berpaling, menghindari tatapan mata sang suami. Dia tetap memberanikan diri bicara.

“Kau belum tahu siapa aku sebenarnya, Arok, dan mungkin tak akan pernah tahu. Timanglah masak-masak pemikiranmu sebelum ketelanjuran mengungkungmu. Bukankah mendiang suamiku sudah banyak bertutur tentang aku sebelum kau akhiri riwayatnya?!”

“Aku tahu, Dedes. Aku tahu. Jangankan aku, kau pun belum tahu siapa yang bersemayam dalam dirimu. Sudahlah, jangan berbelit. Aku sudah tahu alur perbincangan ini sejak awal.”

“Tidak sesederhana itu, Arok.”

“O, Dedes, kau berkepala batu seperti mendiang suamimu. Yang wajar sajalah. Ketahuilah, Dedes, hidup ini sederhana. Penafsirannya saja yang hebat-hebat. Ayolah, apakah kau akan terus mengkhusyuki kegelisahan-kegelisahanmu, sementara kau merindukan belaianku? Merindukan belaian seorang raja diraja yang sudi menerima permaisuri dari bekas musuh besarnya. Merindukan belaian seorang raja diraja yang mampu mengurai kusut keraguanmu. Merindukan kehangatan seorang raja diraja yang tulus menidurimu setelah kelelahan menghadapi lintas permasalahan yang mengadangmu. Enak bukan? Apa lagi!”

“Kalau suatu saat kau tak membutuhkan aku lagi, atau sebaliknya? Apakah kau akan mengakhiri riwayatku sebagaimana kauhabisi mendiang suamiku dan musuh-musuhmu? Tak pernahkah terbersit dalam benakmu akan kutelikung dirimu sebagaimana kau telikung Mpu Gandring, Kebo Ijo, dan lain-lainnya? Mungkin lebih baik kita tak perlu membelenggu diri dalam sebuah ikatan ketergantungan, sebelum ketelanjuran kebersamaan kita menciptakan tragedi yang lebih menyayat dan mengerikan.”

Arok terkesiap, tak mengira perbincangan dengan sang istri lebih dari sekadar berisi. Mungkin Arok lupa, Dedes adalah putri Mpu Parwa, seorang brahmana, yang lebih diuntungkan dengan bekal ilmu dan pengetahuan, daripada kaum sudra kebanyakan, seperti kasta yang disandangnya.

“Duhai, Dedes. Aku tahu perasaanmu. Namun ketahuilah, aku telah lama berikhtiar mempersuntingmu dengan harapan melapangkan suasana hati ini. Bukan malah kau rongrong dengan kegelisahan-kegelisahan itu. Hidupku sudah terlalu sesak. Jangan kautambahi dengan kesesakanmu!”

Di luar perhitungan Dedes, kegelisahannya membangkitkan amarah Arok pada diri sendiri. “Sudahlah, apa pun yang terjadi di muka biar sejarah yang mengambil alihnya. Aku tak cukup punya kekuatan untuk menampik kemauanku. Aku sendiri tak tahu. Kalaupun tahu, aku tak sadar. Kalaupun sadar, aku tak peduli. Kalaupun peduli, aku tak berdaya. Siapa, siapa yang sanggup melawan dirinya sendiri?!”

Arok muntab. “Tidak penting lagi apa yang telah kulakukan. Itu semua telah lalu, dan tak akan kembali. Sekaranglah saatnya, ke-ki-ni-an. Dan aku, Arok, telah berketetapan hati melakoni sisa darmaku bersamamu, Dedes. Banyak alasan mengapa aku berketetapan demikian. Namun biarlah hanya aku yang tahu. Jadi, Dedes, jangan desak aku membeberkannya, karena semua sudah jelas adanya.”

Dengan suara melantang Arok membaiatkan kesungguhan ke langit Tumapel.

“Maka dengan ini, aku baiatkan kepada khalayak ramai, alam raya beserta segala penghuninya, dan dewa-dewa penguasa semesta: di sinilah Arok dan Dedes bertakhta, dan di sinilah Arok dan Dedes binasa.”
***

Seisi pakuwuan geger. Penghuni negeri panik, lintang pukang. Awan hitam pekat bergandengan dengan badai menyelimuti seantero bumi Tumapel. Hawa penyakit pun menebarkan teluh, menciptakan bencana yang belum pernah ada.

Telik sandi melapor kepada Arok. “Ametung bangkit dari kubur dan tak henti-henti memanggil-manggil nama Paduka. Ametung menuntut balas atas semua yang telah ditimpakan kepadanya!”

Arok terkesiap. Dia tak pernah menduga petaka terus menguntit bahtera kerajaannya, sebagaimana pernah dikutukkan Mpu Gandring ketika binasa di ujung keris ciptaannya sendiri, dulu. Sekarang, sebatang mayat menuntut balas lantaran tuah keris itu.

Arok bergegas menyegera menyambut Ametung di tempat dulu dia menyudahi sang akuwu. Kali ini mereka berada di sisi berbeda. Arok tetap menggenggam harapan bisa menyudahi musuhnya, untuk kali kedua.
***

Dengan sisa-sisa pakaian kebesaran yang compang-camping bercampur lumpur pekuburan, dan darah yang terus menetes dari dada kiri. Serta tangan kiri yang bersetia menyangga usus terburai, Ametung berdiri tegap, tepat di tempat dulu ia mengembuskan nafas untuk kali terakhirnya. Kali ini Ametung menundukkan pandang ke bumi. Demikian pula keris di tangan kanannya. Angin menghantarkan bau busuk tubuhnya. Hawa busuk tubuh Ametung inilah yang menciptakan wabah tak terkira. Arok menyongsong beberapa tombak di depan dan tersenyum.

“Sudahlah, Akuwu, berdamailah dengan nasib. Pulanglah kepada takdir kekalahan dan kematianmu.”

“Siapa pun semestinya setia pada nasibnya. Namun apakah aku harus menjadi pecundang hanya karena kesetiaan pada nasibku? Ada yang lebih berharga dan utama ketimbang sekadar berserah diri kepada nasib.”

“Aku meragukan ketegaanku membuatmu merintih untuk kali kedua, Akuwu.”

“Seorang ksatria tak akan pernah merintih bila kesakitan.”

“Akuwu, bahkan dengan segala ilmu, pengetahuan, serta kesaktianmu, kau tak akan pernah sanggup mengalahkan aku! Engkau boleh saja meneror seluruh penghuni negeri ini dengan wabah anehmu. Tetapi untuk kali kedua, aku akan menyudahimu. Camkan itu, Akuwu!”

“Pongahmu masih seperti dulu.” Ametung meluruskan pandang ke muka. Dia membahanakan angkara. “Camkan pula, wahai Arok, dalam banyak hal, dendam mengalahkan kematian. Dalam banyak hal lain, cintaku kepada permaisuriku yang telah kaucuri, membangkitkan kematianku! Akulah mimpi buruk kalian berdua. Akulah garis tipis antara cinta dan kebencian. Dan, kalian berdua tidak akan pernah dapat menghentikan kematianku yang menuntut balas karenanya. Jelanglah saatmu, Arok!”

“Apa yang kauinginkan dariku dari kebangkitanmu, Akuwu?!”
“Apa yang kuinginkan?” Ametung berpikir sejenak. “O, tentu saja aku mengingkan rumah manis di pinggir danau, istri ayu, anak yang lucu-lucu, hasil panen yang tak pernah menipu, dan? tentu saja kepalamu, biadab!” Mata sang akuwu memerah darah, menombak Arok.

“Apakah engkau sudah tahu cara bertarung, kakanda Akuwu?!”

“Apakah engkau sudah tahu cara dan rasanya menyongsong kematian, andika Arok?!”

Arok agak gentar — tabu yang selama ini dia hindari. “Mengapa kau membisu, Arok? Engkau gentar menghadapi kematian? Itu di luar kebiasaanmu, Arok yang Agung.” Sindiran Ametung makin mengiris nyali Arok.

“Seorang ksatria tak akan pernah gentar bila maut mengadang. Karena setiap orang akan menemukan jalan kematiannya sendiri-sendiri. Dan jalan takdir kematianku di luar jangkauanmu, Akuwu. Akan kusongsong saatku sebagaimana telah kusongsongkan kematianmu, Akuwu.”

“Kau tak akan pernah dapat membunuhku hanya dengan satu atau dua kali kematian, Arok, sebagaimana kau sudahi para seterumu yang lain. Akulah arwah perkecualian yang akan terus membayang-bayangi dan menghantarkanmu ke mati, takdirmu yang sejati.”

“Aku Arok, sang pembangun! Hidupku berarti dan mati pun aku menjadi lebih berarti.”

“Cih…! Simak dengan tekun kutukanku kepadamu, Arok! Kerismu, kekuasaanmu, dan garis keturunanku yang pernah bersemayam di gua garba permaisuriku dan permaisurimu, akan terus berpusing-puisng laksana gangsing dan bersarang tepat, telak, di jantung takhtamu. Saksikan, Arok! Anusapati* dan para simpatisannya akan bahu-membahu dan terus bersiaga menunggu lengahmu. Dia layaknya pemburu yang kan terus mengintai dan menawarkan kematian pada mangsanya. Dan kau, Arok, kau akan merasakan apa yang kurasakan; merasakan indah dan sempurnanya penderitaan, ditelikung kekuasaan! Selamat datang, Arok! Selamat datang. Kan kusambut saatmu. Selamat datang? di taman kehidupan sebenarnya; ke-ma-ti-an.”

Mereka pun bertarung lagi, lagi, dan lagi. Sampai benar-benar ada yang mati.

Semarang, 7 Juni 2000
Bintaro, Jakarta, 24 Agustus 2000

Catatan:
Telik sandi: Mata-mata
Sigaraning nyawa: istri
Sumingkir: menyingkir
Gaman: senjata
Tiji tibeh, mati siji mati kabeh: mati satu mati semua
Muntab: amarah meluap
Anusapati: Putra Dedes dari Ametung.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *