Aie Angek

D. Zawawi Imron *
jawapos.com

Di jalan menanjak antara Padangpanjang-Bukittinggi, Sumatra Barat, saya dan novelis Ahmad Tohari menjadi sastrawan tamu selama satu bulan di Rumah Puisi yang didirikan penyair Taufiq Ismail dan istrinya, Ati Ismail. Sampai hari ini saya telah sepuluh hari berada di antara Gunung Singgalang dan Gunung Merapi, tempat kabut dan hawa dingin menyelimuti kami setiap hari. Tempat kami selalu disapa desir daun-daun bambu, dan di depan sana ada petani-petani sayur yang tekun memakmurkan bumi.

Kami berdua benar-benar berada di tempat yang indah. Memandang ke Gunung Singgalang yang gagah, di kakinya tampak nagari Pandai Sikek, tempat orang Minangkabau menenun kain songket yang indah. Bahkan azan subuh di desa itu bagai diantar angin ke Rumah Puisi.

Sedangkan memandang ke Gunung Merapi tampak sawah-sawah yang bertingkat-tingkat dan rumah-rumah para petani yang kalau malam hari lampu-lampunya berkelap-kelip mewakili bintang-bintang yang selalu ditutupi awan. Inilah wilayah yang selalu dilewati Hamka, Marah Rusli, Noer Sutan Iskandar. Haji Agus Salim, Muhamamd Yamin, Muhammad Hatta, Rasuna Said, Rohana Kudus, Tan Malaka, seratus tahun yang lalu. Saya dan Ahmad Tohari seperti menapaktilasi kelincahan masa kecil mereka yang cerdas, berpikir lincah, dan tidak mudah menyerah, sehingga namanya sampai sekarang tetap dibaca oleh sejarah dan jadi kenangan yang mengesankan.

Rumah Puisi sendiri adalah bangunan berbentuk sanggar, ada perpustakaan dengan 7.000 buku, ada ruang pelatihan untuk guru-guru sastra sekaligus ruang berdialog tentang puisi, sastra, dan yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Jadi, istilah ”rumah puisi” di sini tidak hanya untuk kegiatan perpuisian saja, tapi untuk seluruh yang berkaitan dengan sastra. Pinjam istilah Taufiq Ismail, ”puisi” di sini menjadi kata sifat: bersama dan payung dari seluruh karya sastra.

Yang telah berlangsung selama sepuluh hari kami di sana adalah pelatihan guru bahasa dan sastra Indonesia. Kegiatan ini telah dilakukan oleh Taufiq Ismail dan para sastrawan untuk duduk bersama para guru sastra. Bagaimana mengajar sastra yang menarik kepada anak didik, bagaimana menumbuhkan minat baca dan memotivasi anak-anak untuk senang menulis.

Kegiatan yang lain ialah apresiasi sastra siswa, agar anak didik bisa menyenangi karya sastra, bisa mengapresiasi dengan baik, bahkan menumbuhkan minat menulis agar mereka menjadi generasi penerus dalam perkembangan sastra Indonesia.

Apa yang dilakukan Taufiq Ismail selama kurang lebih 10 tahun terakhir berkeliling Indonesia memasyarakatkan sastra itu sekarang coba dicarikan tempat yang permanen. Upaya ini untuk lebih memberi harkat kepada sastra karena sastra sesungguhnya menjadi salah satu ruh dari tulang punggung kebudayaan. Kegiatan yang telah berlangsung di Rumah Puisi benar-benar mendapat sambutan hangat dari guru-guru sastra dan para siswa penggemar sastra. Mereka berdatangan dari seluruh Sumatra Barat untuk bertemu sastrawan-sastrawan, membaca puisi, menceritakan proses kreatifnya. Bagaimana riwayat perjuangannya serta liku-liku hidupnya sehingga menjadi sastrawan. Kemudian guru-guru sastra atau siswa, bertanya tentang puisi, novel, dan kiat menjadi penulis atau sastrawan.

Suasana sengaja dibuat akrab, sehingga tidak terkesan sebagai sebuah pelatihan, karena sastrawan yang tampil tidak berpretensi sebagai pengajar atau penatar. Bahkan kegiatan untuk para siswa pun dikemas dalam suasana penuh persahabatan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.

Selebihnya, sebagai sastrawan tamu, saya dan Ahmad Tohari, dipersilahkan untuk berkeliling Sumatra Barat, berintegrasi dengan masyarakat, mengunjungi tempat lahir Buya Hamka, Bung Hatta, Haji Agus Salim, dan lain-lain, dan kemudian menuliskannya.

Saya dan Ahmad Tohari diundang ke Ranah Minang, merasa mendapat kehormatan. Kegiatan sastra yang kami lakukan selama ini telah mengantarkan kami ke wilayah Indonesia yang indah, dengan keramahan Danau Singkarak dan Danau Maninjau, serta Istana Pagaruyung yang legendaris.

Tak mungkin kami lupakan bahwa kami telah menjadi tamu di jantung puisi Ranah Minang, di sebuah desa bernama Aie Angek.
***

*) D. Zawawi Imron, lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep. Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1982.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *