lampungpost.com
Judul buku: Fidel Castro, 60 Tahun Menentang Amerika
Penulis: A. Pambudi
Penerbit: Narasi, Yogyakarta
Tebal: 215 halaman
Cetakan: Pertama, 2007
Peresensi: Bernando J. Sujibto *
“Jika Tuan Kennedy tidak senang sosialisme, kami juga tidak senang dengan imprealisme, dengan kapitalisme!” (Fidel Castro, 1961)
Fidel Alejandro Castro Ruz (81), atau yang lebih dikenal dengan nama Fidel Castro, memang telah mengakhiri karier politik sebagai kepala negara di Kuba pada Februari (19-2) kemarin. Sikap mundur dari kursi kepresidenan yang diambil Castro mematahkan pernyataan ekstrem bahwa dia akan menjadi “presiden seumur hidup” yang sempat dikoarkan semasa awal menjabat sebagai presiden Kuba pada awal 1959. Minggu (24-2), Raul Castro resmi didaulat 614 anggota Majelis Nasional Kuba menggantikan posisi kakaknya untuk menempati posisi orang nomor satu bagi Kuba.
Meskipun demikian, khususnya bagi rakyat Kuba, sosok Castro tetap menjadi superhero yang terus dielu-elukan sepanjang masa dan telah menjadi ikon perlawanan bagi mereka. Kemerdekaan dan kesejahteraan yang dibangun Castro adalah kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat yang diraih bersama-sama.
Kelekatan Castro dengan rakyat kecil inilah yang menjadikan posisinya tetap mendapat ruang di hati rakyat Kuba hingga sekarang. Jika rakyat ditanya siapa tokoh paling tangguh dalam sejarah Kuba, jawaban mereka pasti Fidel Castro, Che Guevara, dan Raul Castro, yang ketiganya ikut terlibat pembebasan Kuba dari rezim boneka bentukan Amerika.
Mengiringi masa uzur Castro, buku berjudul Fidel Castro, 60 Tahun Menentang Amerika menjadi penting dihadirkan kembali sebagai resepsi tentang sosok revolusioner bagi Kuba dan bagi dunia universal yang menolak segala bentuk imprealisme. Buku ini memaparkan salah satu sisi perjuangan Castro yang begitu sengit berteriak sebagai anti-Amerika pertama di kawasan Amerika sendiri.
Di samping itu, pembaca akan menemukan serangkaian tragedi berdarah yang telah melumat korban nyawa yang digarisbawahi sebagai “dosa” Castro atas nama hak asasi manusia. Castro memang sangat kontroversial ketika disorot dalam konteks kemanusiaan dan hak asasi. Ribuan orang yang berseberangan secara politik dengan Castro dihadiahi eksekusi dan penjara 30 tahun atau seumur hidup.
Bagi Castro, sebagai pemimpin revolusioner, tidak ada negosiasi ketika dihadapkan dengan politik populisnya. Kebijakan-kebijakan tunggal pun mulai dibangun dengan membatasi hak kepemilikan individu, seperti tanah dan perkebunan karena ada sebagian rakyat yang tidak mempunyai tanah.
Bersamaan dengan represi di bidang politik, Castro merombak total undang-undang Kuba agar lebih sesuai dengan orientasi populisnya. Upaya-upaya menasionalisasikan aset-aset personal dan aset asing, sebagai ciri khas sosialisme komunis, digarap secara serentak dengan jajaran perdana menteri yang mendampingi nakhoda pemerintahan Castro. Sasaran utama adalah United Fruit Company, sebuah perusahaan perkebunan buah-buahan yang sahamnya dimiliki mayoritas pejabat tinggi AS yang disita Castro dan dijadikan aset nasional dan dicanangkan sebagai tanah negara sebagai kompensasi bagi rakyat miskin yang tidak mempunyai tanah.
Sesaat setelah berkuasa, kebijakan kontroversial pun makin buta dilakukan Castro. Ia berani mengeksekusi 550 pengikut Batista. Ia menahan lebih dari 40 menteri kabinet Batista dengan tuduhan menjadi agen CIA. Lebih dari 5.000 orang dikirim ke pengadilan revolusi dan di sana dikutuk sebelum menghadapi regu tembak (hlm. 10).
Castro merasa perlu membentegi kekuasaan yang telah ada dalam gengamannya. Untuk melakukan pembersihan politik, Castro memenjarakan semua orang yang menentangnya. Seperti halnya Batista, ia juga membatalkan seluruh pemilihan umum dan mengangkatnya sebagai presiden seumur hidup.
Gerakan populis Castro yang represif dalam melindungi kekuasaannya, tidak boleh tidak, merujuk kepada paham ala Soviet sosialisme komunis, seperti yang diakuinya pada masa selanjutnya dengan berkata lantang bahwa dia adalah pengikut tulen Marxis-Leninis pada 1 Desember 1961 (hlm. 123).
Tentu saja pihak Uni Soviet menyambut baik langkah Castro dan semua jajaran pemerintahannya yang mulai memasukkan paham sosialisme komunis sebagai ideologi tunggal negaranya. Soviet pun mulai menyediakan bantuan semua fasilitas baik ekonomi, militer, maupun kebutuhan-kebutuhan negara lain.
Pada saat itu pula Amerika semakin menekan Castro dengan ancaman embargo dan serangan militer besar-besaran ke Kuba. Namun, Castro tetap tenang menghadapi semua itu karena dia telah berhasil membujuk Soviet sebagai mitra tunggalnya yang sama-sama satu ideologi.
Langkah ideologis yang ditempuh Castro tidak ayal mengundang nyut pihak Amerika karena pada waktu itu, sekitar tahun 1962, tanda-tanda perang dingin mulai terlihat yang menghadapkan Amerika dengan Uni Soviet. Sementara itu, posisi kunci yang memegang kendali di ambang perang nuklir itu adalah Castro karena peralatan persenjataan canggih Soviet sebagian besar sudah mangkal di Kuba mengancam Amerika Serikat dari dalam.
Di tengah masa pemerintahannya, Castro telah mengilhami tokoh-tokoh penting seperti Presiden Hugo Chaves, Ravael Correa, Evo Morales. Mereka adalah tokoh-tokoh yang secara tegas menentang imperialisme dan dominasi Amerika dengan segala bentuknya.
Mereka menjadi suntikan spirit bagi Castro yang memantapkan posisinya di tengah ketegangan dengan AS. Di tengah kondisi saling tuding itu, AS di bawah isyarat Presiden Kennedy tidak sabar mengambil langkah militer dengan penyerangan di Tuluk Babi pada 17 April 1963. Namun, serbuan itu menghasilkan kegagalan yang memalukan pihak AS. Ratusan tawanan perang prajurit AS kemudian ditukar Castro dengan dengan barang-barang yang dibutuhkan.
Bersama Presiden Soekarno, Presiden Yogoslavia Joseph Bros Tito, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Castro juga telah mendirikan Gerakan Non-Blok pada 1955, sebuah upaya berani menentang hegemoni Barat dan Timur. Pada masa-masa inilah dunia ketiga, termasuk Indonesia, mulai diperhitungkan Barat.
Riwayat Castro melawan imperialisme khususnya Amerika, telah menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara dunia ketiga yang dijadikan boneka di balik kepentingan kapitalisme Amerika dan Eropa. Dengan langkah populis itu, Castro bisa membawa rakyat Kuba makin yakin menatap masa depan dengan membangun sektor pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyat. Pelan-pelan rakyat Kuba pun bisa bebas dari kebodohan dan kemiskinan.
Kini, setelah Castro mulai uzur dan tidak bisa berteriak sekeras dahulu, imprealisme global dengan segala bentuk terbarunya akan mengancam negara-negara lemah di dunia ketiga. Namun, kita masih berharap semoga ada suara baru yang bisa mengimbangi kekuatan Amerika dan Barat yang lahir dari generasi muda setelah Che Guevara, Castro, Raul, Chaves, dan Morales.
***
*) Alumnus PP Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.