BELAJAR DARI IMAJI KEPENULISAN TAUFIQ ISMAIL

Sutejo
Ponorogo Pos

Membaca Taufiq Ismail dalam konteks pengalaman kreatif adalah sesuatu yang kompleks dan menarik. Di samping sebagai penyair protes awalnya, Taufiq berujung pada puisi-puisi imajis. Pengalaman kepenulisan Taufiq pada awalnya digerakkan oleh (a) kepeduliannya pada bangsanya melalui gerakan kemahasiswaan dan (b) bagaimana keprihatinannya alir ketika melihat kepincangan sosial di awal persalinan Orde Baru yang pucuknya adalah politik kesenian Manikebu.

Jika ditelusur hingga tahun 2000-an, maka konsep perubahan kepenulisannya bergerak pada (a) kisaran imaji konseptual atas kepedihan realita bangsa yang mengerikan, (b) keprihatan realita baca tulis yang naif di dunia pendidikan, dan (c) giat-gerak dalam berbagai kegiatan produktif melalui gerakan baca dan cipta sastra baik di kalangan guru maupun siswa. Pola-pola pelatihan yang dilakukannya mengingatkan akan pentingnya pelatihan kepenulisan di satu sisi dan penggalakan tradisi baca di sisi yang lain. Lebih dari itu, kemudian bagaimana pentingnya tumbuhnya kesadaran generasi, etos, dan pentingnya empati kemanusiaan. Semua itu membingkai dalam gerak dan motivasi pendampingan kepenulisan yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang melibatkan para sastrawan, Departemen Pendidikan Nasional, dan sponsor dari luar negeri.

Dalam eksiklopedia politik Indonesia kita kenal Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sebagai Guru Bangsa tetapi kemudian redup perlahan termakan waktu. Di halaman lain, eksiklopedia politik itu juga tertuliskan Cak Nur (Nurcholis Madjid) sebagai guru bangsa sampai beliau wafat. Besaran peran kedua tokoh itu dalam kehidupan berbangsa telah mengukuhkannya sebagai guru bangsa. Dalam eksiklopedia sastra Indonesia barangkali tidak berlebihan jika Taufiq Ismail (selanjutnya disebut Taufik) dikukuhkan sebagai Guru Bangsa bidang pendidikan sastra. Hal ini, bukan saja karena karya-karyanya yang boleh dibilang monumental tetapi juga sepak terjang Taufik dalam pendidikan sastra yang memesona. Tanpa Taufik barangkali gerakan pembumian sastra di sekolah tidak akan sedramatis sekarang.

Sosok Taufiq lebih dari itu dalam perjalananan sastra Indonesia adalah fenomena unik yang menarik untuk dijadikan cermin. Paling tidak jika diidentifikasi akan jadi (i) cermin unik profesi kesastrawanan yang “lintas bidang”; (ii) cermin sejarah karena dalam karya-karyanya kaya dengan aspek sosial kemasyarakatan yang menghistoris; (iii) cermin gerakan pemberantas buta sastra dan rabun novel anak bangsa; (iv) cermin pengucapan yang bersifat “imaji konseptual” dalam sikapi realita pahit bangsa, (v) cermin pengucapan puisi yang “komunikatif” tetapi filosofis, (vi) cermin bagaimana arifnya seorang sastrawan “berbuat” bukan meratap-ratap, dan (vii) cermin bagaimana konsistensi seorang “nabi yang tanpa wahyu” sehingga layak dianugerahi doktor honoris causa pada bidangnya.

Dalam halaman-halaman cermin ini tampak eksistensialisme seorang Taufiq dalam penemuan dirinya –yang sebagaimana faham filsafat eksistensialisme—kemudian tidak berhenti pada eksistensi diri tetapi rambah dalam humanisme yang jauh lebih luas. Sebab, tanggung jawab atas eksistensi diri hakikatnya juga merupakan pertanggungjawaban atas realitas dan humanitas yang melingkupinya. Ekspresi puisi-puisinya adalah cermin eksistensi itu di satu sisi dan pada sisi lain gerak-lakunya dalam pendidikan sastra adalah perwujudan eksistensinya juga.

Sementara itu, salah seorang filosuf eksistensialisme adalah Kierkegaard (di samping: Nietzshe, Berdyaev, Jasper, dan Sartre). Eksistensialisme sendiri lahir merupakan kritik atas materialisme dan idealisme. Kebendaan dan idealisme logis ternyata tak mampu mengantarkan pamahaman hakikat kehidupan, yang baginya terasa pahit. Kepahitan itu dalam konteks kehidupan sosial kebangsaan Kierkegaard mencakupi wilayah keluarga, cinta, dan pengalaman sosialnya. Pengalaman itu menggiringnya memahami hakikat eksistensi kehidupan yang harus bersandar pada Tuhan. Selanjutnya, bidang rambah (kegemaran) eksistensialisme itu adalah eksistensi, ketakutan, hidup, mati, harapan, putus asa dan soal-soal lainnya; yang semua itu nyaris merupakan potret kehidupan yang dialami Bapak eksistensialisme itu. Taufiq seakan memerankan kesadaran itu: (i) memprotes faham kebendaan Orde Baru lewat Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI); (ii) merontontokkan idealisme logis Orde Lama lewat Tirani dan Benteng; dan (iii) menyuguhkan “imaji konseptual” sebagai perwujudan eksistensialismenya sebagai anak bangsa dengan gerakan pembumian sastra.

Kesadaran eksistensinya sebagai manusia tampaknya memang telah dia rengkuh sejak kanak-kanak. Baginya, perwujudan eksistensi itu tidak ada lain kecuali menjadi sastrawan. Di sinilah barangkali yang menggerakkan Taufiq kecil bercita-cita jadi sastrawan. Saat itulah, dia begitu banyak berguru pada sosok dokter lain yang sastrawan: Asrul Sani, Marah Rusli, dan A. Muis. Ketiganya, dalam akuan Taufik adalah seniornya. Taufik sangat terinspirasi bagaimana “sebaiknya” menjadi sastrawan. Perlu kekokohan profesi di satu sisi dan perlunya kekayaan pengalaman kehidupan pada sisi lainnya. Sebab, memang dalam perjalanan kebudayaan yang sudah tua macam Yunani, misalnya, sastrawan adalah sebuah kehormatan profesi yang bahkan disejajarkan dengan “nabi”. Budi Darma menyebutnya dengan rhapsodist, orang yang bergagasan cermerlang dan berbahasa secara cermerlang pula.

Gerakan pembumian sastra –sebagai contoh ke-rhapsodist-an Taufiq–, secara filosofis eksistensialis mengingatkan akan gerak lampau bangsa-bangsa berkebudayaan maju macam Inggris, Jerman, Perancis, Amerika, Jepang dan Cina. Mereka merangkak dan bergerak maju karena kecintaannya kepada karya sastra kemudian alir dalam bidang keilmuan lainnya. Sebuah eksistensi berbangsa yang memesona. Hal ini lahir lewat sentuhan sosial Taufiq dengan dunia Internasional. Misalnya adalah pengalaman Taufiq ketika bertemu dengan Lee Kuan Yew (1979) yang mengumpulkan bawahannya untuk pentingnya berbahasa yang secara sederhana dan baik. Atau, pengalamannya Anwar Ibrahim yang selalu membelikan oleh-oleh buku kepada koleganya.

Sementara itu, Taufiq ketika melihat pendidikan sastra kita selama 30 tahun sampailah dia pada kesimpulan bahwa telah terjadi semacam keterpencilan sastra kita di masyarakat, posisi sastra Indonesia yang cuma di trotoar peradaban bangsa, dan masalah petikan puisi dan novel kita yang tidak berada di dalam hati dan tidak terucapkan dalam pidato para pemuka negara, serta minimnya jumlah doktor sastra. Artinya, pembelajaran sastra sebagai jendela awal pembumian tradisi membaca pun belum tercipta maka pembumian membaca dan menulis sebagai pintu peradapan pun jelas jauh dari perubahan.

Taufiq seakan mau berbuat dan berbicara bahwa eksistensi manusia yang pertama-tama adalah membaca dan menulis. Hal itu dilakukan tidak saja dalam gerakan pendidikan sastra yang dilakukan secara nasional melalui Depdiknas-Horison-Ford Foundation tetapi juga melalui puisi-puisinya yang inspiratif. Puisi Kupu-Kupu di Dalam Buku (KKdDB), misalnya, merupakan imaji eksistensi akan pentingnya tradisi membaca bagi anak bangsa. Sebagai ilustrasi, barangkali menarik untuk dikutipkan puisi tersebut.

KUPU-KUPU DI DALAM BUKU

Ketika duduk di stasiun bis, di gerbong kereta api, di ruang tunggu
praktek dokter anak, di balai desa, kulihat orang-orang di
sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri
mana gerangan aku sekarang,

Ketika berjalan sepanjang gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan
yang mengandung ratusan ribu buku dan cahaya lampunya
terang benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua
sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di
negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika bertandang di sebuah toko, warna-warni produk yang dipajang
terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka
berdiri beraturan di depan pembayaran, dan aku
bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang,

Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya
Tentang kupu-kupu pada mamanya, dan mamanya tak bisa
Menjawab keingintahuan puterinya, kemudian katanya,
“tunggu mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang
kupu-kupu,” dan aku bertanya di negeri mana
gerangan aku sekarang,

Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di stasiun bisa dan ruang
tunggu kereta api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan
perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat penjualan
buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang
tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.

Begitu membaca puisi KKdDB ini, maka sikap (tone) Taufiq demikian menonjol sehingga penting untuk mengungkapkan semacam imaji konseptual akan pentingnya membaca. Sebuah ekspresi eksistensialisme dari kodrat manusia yang di dalam Al-Qur’an pun memang diwajibkan untuk membaca. Konteks kewajiban membaca tentunya eksistensinya dari amanat agama. Dari judulnya saja, secara metaforik menggambarkan bagaimana mungkin secara harfiah kupu-kupu ada di dalam rak buku. Diksi “kupu-kupu”, karena itu, menyaran pada konotasi makna proses dalam kehidupan ini. Bukankah kupu-kupu sebelum menjadi kupu-kupu melalui sebuah proses yang panjang? Sebuah metamorfose sempurna: telur jadi ulat, ulat jadi kepompong, baru kepompong menjadi kupu-kupu. Begitu memcermati isi puisi KKdDB, sontak sampai pada konotasi bahwa bagaimana urgensitas membaca sebagai “proses menjadi kupu-kupu”. Sebuah paradoks yang menarik terhadap budaya membaca di Indonesia.

Eksistensi “kupu-kupu”, dengan begitu mengingatkan kita akan konotasi makna sebuah proses menjadi kupu-kupu. Semacam sebuah pertapaan panjang mencapai sempurna (keindahan). Kesempurnaan eksistensi budaya bangsa adalah sebuah proses membaca yang menjadi (tiada henti) sehingga melahirkan budaya membaca dalam segala lini kehidupan.

Sebuah imaji konseptual menunjukkan sikap kritis Taufik dalam melontarkan konsep eksistnsialisme akan budaya baca yang sama sekali tidak berakar dalam kehidupan berbangsa kita. Dengan gaya pengucapan oratoris, di akhir bait pertama sampai keempat diakhir dengan larik sederhana tetapi menarik: /… di negeri mana gerangan aku sekarang./

Seluruh puisi KKdDB tidak sulit dipahami karena diakhiri dengan ungkapan larik oratoris /… di negeri mana gerangan aku sekarang./. Artinya, itu memang bukan terjadi di negeri ini. Tetapi, di sinilah justru menjadi kekuatan puisi ini yang menunjukkan sikap penyair akan pentingnya permasalahan membaca bagi bangsa Indonesia. Bait terakhir berikut memperkuat sikap (tone) Taufiq terhadap permasalahan yang diangkatnya. //Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di stasiun bisa dan ruang/ tunggu kereta api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan/ perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat penjualan/ buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang di ruang/ tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.//

Pada keempat bait pertama puisi KKdDB, pemilihan diksi memang tidak tampak menonjol tetapi bagaimana imaji konseptual berbalut gaya pengucapan oratoris diungkapkan Taufiq dengan demikian mengena. Sebuah sikap kerinduan yang mendalam akan bagaimana budaya membaca dapat membumi di masayarakat kita. Di sinilah, barangkali menarik mengaitkan sikap tematik penyair ini dengan puisi lain yang secara diksional kuat dipilih Taufiq dengan mengungkapkannya begini: …/ Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi/ Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi./”

Sikap kritis eksistensialis Taufiq juga ditunjukkan dalam puisinya yang berjudul Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang (PTdM) (MAJOI, 2003:172-174). Dengan gaya pengucapan narasi berbalut dialog, eksistensialisme diri Taufiq terekspresikan dengan cermat masuk ke jantung problematik pendidikan kita: membaca dan kreativitas. Puisi PTdM, karena itu, menggambarkan bagaimana imaji konseptual diungkapkan Taufiq lebih tajam dari KKdDB. Puisi itu mengimajikan suatu realita ironis yang bermula dari tugas guru untuk belajar tatabahasa sekaligus mengarang dengan mengangkat satu kalimat: “Mengeritik itu boleh, asal membangun”. Kelas menjadi sunyi, dengan imaji visual yang kental Taufik kemudian melukiskan bagaimana anak-anak ada yang bermain pensil dan bolpoin, ada yang meletakkan ibu jari di dahi, ada yang salah tingkah.

Anak-anak tidak ada yang berani beranjak dari kata-kata yang ada, mereka hanya membolak-balik saja. Kreativitas berpikir tumpul, keberanian tidak ada, belajar mereka hanyalah menghafal bukan memahami, apalagi mengaplikasikan sebuah konsep. Sebuah imaji abstrak yang bermuara pada realita ironis dunia pendidikan.

Puisi menepuk bahu dan mencoba mengingatkan, kata Taufiq, maka sang penyair mengingatkan kita (bangsa Indonesia), bahwa telah terjadi kesalahan besar dalam dunia pendidikan. Pendidikan kita adalah hafalan. Tradisi dunia pendidikan kita adalah kelisanan bukan membaca. Ungkapan-ungkapan baru seperti “rabun novel”, “rabun cerpen”, “rabun drama” dan “rabun puisi” hakikatnya menyurukkan kita pada tidak adanya budaya baca. Tidak ada tradisi bernalar, berargumentasi dan berdemokrasi.

Permilihan diksi-diksi semacam “rabun novel”, “rabun cerpen”, “rabun drama” dan “rabun puisi” demikian menjadi demikian hidup (concret) yang dapat mempertajam pembacaan atas puisi KKdDB. Taufiq seakan mau berkata dengan imaji konseptual yang komunikatif melalui puisi KKdDB. Realita yang tersembunyi dalam puisi itu seakan mengingatkan atas “hasil” kemampuan membaca siswa SD kita memang menempati posisi terendah di antara negara-negara Asean. Sebuah laporan hasil studi kemampuan membaca yang dilakukan organisasi IEA, di mana Indonesia menduduki ranking ke-38 dari 39 peserta studi. Pun, Taufiq pernah melakukan survey tentang kewajiban siswa SMA di beberapa negara sampai lulus mereka temukan diwajibkan 5-30 judul buku sastra. Survey itu dilakukan di negara: Thailand, Singapura, Malasyia, Brunei Darussalam, Rusia, Kanada, Jepang, Swiss, Jerman Barat, Perancis, Belanda, AS, Hindia Belanda. Indonesia tidak ada kewajiban itu.

Di sinilah, eksistensi diri Taufiq sebagai manusia Indonesia tergerak karena pemerintah tidak memiliki visi pembumian sastra. Sementara itu, guru sendiri belum juga memiliki tradisi ini. Jika kita percaya akan pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, maka anak-anak yang bagaimanakah yang kita impikan ke depan jika guru-guru, orang tua, dan bangsa kita tidak memiliki tradisi membaca? Apalagi dalam peribahasa yang lain diungkapkan, “guru kencing berdiri murid kencing berlari” (bukankah orang tua dan pejabat kita hakikatnya adalah guru bagi generasinya?). Jika dua peribahasa ini kita jadikan cermin, tentunya akan menanggung malu dalam setiap langkah profesi, dalam hidup berhari, karena bangsa kita belum jadikan membaca kebutuhan pokok sebagaimana kita membutuhkan makan untuk kesehatan fisik kita.

Walhasil, jika guru, siswa dan bangsa kita tidak mau membaca bukanlah guru yang sehat secara keilmuan (bahkan psikologis). Kalau guru-guru yang berdiri di depan kelas, misalnya, bukanlah guru yang sehat secara keilmuan, anak-anak zaman yang akan terlahir pun bukanlah anak-anak yang sehat secara keilmuan pula. Untuk inilah, maka dipandang penting untuk membudayakan membaca bagi bangsa kita. Jika kita melihat kehidupan makro bangsa, impian tentang tradisi membaca adalah sebuah ironi. Sosok Taufiq, karena itu, adalah guru bangsa –yang satu setengah dasawarsa— telah menyadari akan pentingnya membaca dan menulis bagi sebuah bangsa.

Tak heran, jika Taufiq melakukan gerakan membaca ini melalui cinta sastra dengan berbagai kegiatannya: Kakilangit, MMAS, SBSB, SBSB, LMCP dan LMKS. Sebuah gerak yang filosofis. Konsistensi Taufik, tidak saja berhenti di situ, tetapi dalam beberapa puisinya yang terkumpul dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (MAJOI, 2003). Sebuah esay budaya yang inspiratif tentang membaca dan menulis ini ia tuangkan dalam Kontribusi Sastrawan bagi Pendidikan Bangsa yang bercerita tentang (i) pengalamannya bertemu dengan Anwar Ibrahim dan Lee Kuan Yew yang getol membudayakan baca tulis pada bawahannya dan (ii) sejumlah program yang dia gulirkan untuk menindaklanjuti pembumian baca tulis lewat sastra.

Gerakan dan ekspresi eksistensinya dalam beberapa puisi tentang membaca itu seakan mau berkata betapa pentingnya membaca sebagai gerakan rekreasi hati. Abu Nashr Al Mikali mengatakan, “Pada suatu hari kami membincangkan berbagai tempat rekreasi (paling indah) dan Ibnu Duraid hadir bersama kami. Sebagian orang berkata, “Tempat yang paling indah adalah lembah yang berada di Damaskus.” Sementara, yang lain berkata, “Tempat yang paling elok adalah sungai Ubullah.” Yang lainnya berkata, “Sughdu Samarkand.” Yang lainnya berkata, “Lembah Bawwan.” Yang lainnya lagi, berkata, “Bunga Balakh (pohon).”

Lalu, Ibnu Duraid berkata, “Semua yang kalian sebutkan hanyalah tempat rekreasi yang indah bagi pandangan mata, namun mengapa kalian tidak memikirkan tempat-tempat rekreasi bagi hati?” Kami bertanya, “Apa tempat rekreasi bagi hati, wahai Ibnu Duraid?” Ia berkata, “Kitab ‘Uyunul Akhbar karya Al Qatabi, Az-Zuhroh karya Ibnu Abi Thahir. Kemudian, ia melantunkan beberapa bait syair: //Kalau semua orang rekreasinya adalah biduanita/ Juga gelas yang dituankan dan ditenggak/ Maka hiburan dan rekreasi kami adalah/ Berdiskusi dan menelaah kitab.//

Ungkapan Ibnu Duraid tentang tempat rekreasi yang indah ini tentu sangat luar biasa jika dikaitkan dengan gerakan ekspresi eksistensi Taufik. Bayangkanlah, andaikan para guru dan siswa menjadikan kitab (buku) sebagai tempat rekreasi dalam kehidupannya maka dapat dibayangkan kualitasnya. Misalnya, andaikan guru kita, menjadikan buku isteri kedua yang harus “digauli” maka akan lahir orok pemikiran yang luar biasa untuk anak didiknya. Minimal, etos wisata hati akan memberikan ruang lapang sehingga anak akan memetik terang pandang. Tetapi, yang terjadi sebagian besar kita menganggap tempat rekreasi adalah fisik, tempat-tempat lahiriah yang hanya menjadi bersifat visual (mata). Tempat wisata secara fisik seperti laut dan gunung, pemandangan seindah apa pun sifatnya hanyalah lahiriah. Kecuali, bagi penempuh ruh spiritual akan selalu mengaitkan dengan kebesaran Sang Alam ke dalam relung bersama kelembutan Sang Khaliq.

Andaikan setiap bulan, misalnya, guru-guru kita membeli buku sebagai tempat wisata yang terdekat, maka dalam satu tahun kita telah memiliki 12 tempat wisata hati. Andaikan 10 tahun maka kita telah memiliki 120 tempat wisata hati. Dan, andaikan umur kita 65 tahun, dan mulai memikirkan buku sebagai tempat wisata di umur 20 tahun; maka minimal 5400 tempat wisata itu telah kita miliki. Andaikan kemudian, satu kabupaten saja, para guru yang melakukan wisata jenis ini 1000 orang saja, maka sudah ada 5.400.000 tempat wisata hati. Ini, akan menjadi kekayaan yang luar biasa bagi keluarga, anak-anak, dan masyarakat kita di masa depan.

Gerakan Taufiq itu dengan demikian merupakan gugatan atas kecenderungan masyarakat kita masih memandang baca tulis dengan sebelah mata. Sebuah kritik kepada para guru yang belum menjadikan tempat wisata hati yang utama dalam kehidupannya. Sebuah eksistensi diri yang alir dalam gerak humanis. Guru dan masyarakat kita yang masih suka mengoleksi sepeda motor baru, mobil baru, dan peralatan lainnya; yang sebenarnya hanyalah bentuk wisata fisik. Pesan Taufik paralel dengan Ibnu Duraid, tentu menjadi sangat menyentuh jika kita kaitkan dengan konteks mutakhir. Sebab, bagaimanapun memang perubahan kehidupan berawal dari jenis wisata hati ini. Ilmu pengetahuan berkembang, kreativitas tergali, nyali berkompetesi terteruji; bukan kebiasaan saling memaki dan menghegemoni.

Untuk inilah, maka di masyarakat kita penting untuk membudayakan wisata hati ini. Bahasa Taufik pada beberapa puisi-puisinya seperti tempat tamasya hati penuh nilai filosofis. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita menemukan masyarakat di mana pun memegang dan membaca buku: antri di bank membaca buku, menunggu di tempat parker membaca buku, bercengkerama di warung membaca buku, santai di alon-alon membaca buku, di ruang-ruang tamu rumah kita penuh buku; dan seterusnya. Sebuah masyarakat pembelajar yang akan berpijar di masa depan sebagaimana diamanatkan dalam puisinya berjudul Kupu-Kupu dalam Rak Buku. Tak mengherankan, hemat penulis, jika Taufik adalah sosok sastrawan unik yang –boleh jadi—menjadi guru bangsa sejati. Dalam kasus gerak dan teks puisi Taufiq sesungguhnya merupakan refleksi eksistensialisme dirinya sebagai warga bangsa Indonesia. Imaji ironis alir dalam larik-larik menarik.
***

Dari gerak dan teks Taufiq dari sisi gerakan membaca, yang secara eksistensial merupakan ruh perubahan suatu bangsa maka dapat dipetik hal penting menarik berikut. Pertama, perlunya penanaman kesadaran akan kebutuhan membaca bagi suatu bangsa. Jika dalam banyak kasus, guru misalnya, sering terjebak dalam ketidaksadaran akan kewajiban membaca, maka langkah inilah yang paling penting (fungsional) untuk ditempuh. Tengoklah, kebiasaan guru yang menugaskan para siswa untuk pentingnya menabung dalam menulis, tetapi dalam praksis guru terjebak (dalam ketidaksadaran) kebiasaan suka hutang. Ambil lain contoh, guru sering menugaskan siswa-siswinya menulis (entah itu cerpen, ilmiah, atau ilmiah populer), tetapi mereka sendiri tidak menulis. Untuk itu, menanamkan kesadaran –hemat penulis— seperti melukis di atas batu.

Kedua, perlunya menjadikan membaca sebagai kewajiban profesi. Artinya, jika kesadaran bangsa akan membaca belum tersentuh maka kecil kemungkinan meletakkan membaca sebagai kewajiban tentunya akan dipandang sebagai guyonan yang tidak berdasar. Padahal, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Quran (Al-‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat pertama, kata bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya, bahkan kemudian pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena” (al-qalam).

Dengan demikian, membaca dalam konteks surat Al-‘Alaq, sesungguhnya merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara rumit—karena perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca (metaforik dari belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan penyadaran yang diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya, menjadi wajib hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu. Ajaibnya, surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan.

Ketiga, pentingnya mengawinkan membaca dengan menulis. Sebagaimana isyarat surat Al-‘Alaq, yang menyandingkannya membaca dengan pena, secara metaforik menuntun kita akan pentingnya kemampuan menulis sebagai sarana pembelajaran terpenting. Ingat ayat keempat: yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Pena (kalam, menulis), dengan sendirinya, akan meneguhkan proses dialogis dalam pembacaan sebelum terekspresikan dalam tulisan (di sinilah tentu makna mengajar yang ditasbihkan Tuhan itu).

Barangkali penting menarik ingatan kita akan masa kejayaan pemikiran Islam yang tumbuh dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis ini sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam (dan ini tidak banyak disadari), bahwa kemunduran pemikiran Islam berawal pada abad ketiga belas ketika buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban Islam) dilemparkan ke Sungai Euphrat, dan karena itu, airnya menjadi hitam oleh tinta sekian banyak buku (lihat: Budi Darma “Memperhitungkan Masa Lampau” dalam Bukuku Kakiku, 2004:71).

Dengan demikian, dalam sejarah peradaban pemikiran, membaca dan menulis (buku) identik dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana mungkin jika para guru tidak membaca dan menulis akan mampu mewariskan peradaban dan ilmu pengetahuan? Fakta peradaban yang tidak dapat dinafikan adalah, terkuaknya kembali pemikiran Yunani Kuno di zaman Renaisans sehingga membuka tabir baru dalam perjalanan peradaban pemikiran manusia. Hal ini merupakan fakta historis yang mencengangkan berkaitan akan pentingnya budaya membaca dan menulis dalam peradaban manusia.

Keempat, pentingnya pengorbanan untuk memfasilitasi budaya membaca para guru. Ketika pengorbanan nyaring dan ringan diucapkan oleh elit politik, maka dalam konteks mutakhir, para guru penting untuk mengaplikasikannya dalam profesi. Artinya, membaca membutuhkan pengorbanan waktu, finansial, dan budaya itu sendiri. Negara-negara maju seperti AS, Jerman, Inggris telah menjadi membaca sebagai budaya agung yang disanjung puja. Hal ini, ditandai dengan munculnya berbagai fasilitasi penghargaan atas kebiasaan berkarya (menulis) sebagai ekspresi hasil pergulatan membaca (dan berpikir). Sementara itu di Asia, fakta pengorbanan bangsa telah ditunjukkan oleh Singapura, Malasyia, Korea, dan Jepang sebagai pelopor tradisi pengorbanan jenis ini.

Belajar dari pengorbanan pemerintah Jepang dalam mengubah bangsanya menjadi bangsa pembelajar (satu diantaranya) adalah dengan membeli sebanyak-banyaknya buku-buku terbaru keluaran Barat (Eko Laksono, Imperium III: Rahasia 1.000 Tahun Keunggulan dan Kekayaan Manusia, 2007:298). Sebuah strategi membangun bangsa, yang nyaris belum tertandingi oleh negara manapun. Sampai-sampai, Eko Laksono mengukuhkan Jepang sebagai bangsa pembaca yang terhebat di dunia (hal. 410). Untuk inilah, maka pentingnya pengorbanan para guru untuk menyisihkan finansialnya dalam membudayakan membaca. Sebab, mengandalkan negara untuk memfasilitasi buku (dalam konteks mutakhir) adalah kecengengan guru bagaimana si kecil merindukan mainan pada orang tuanya. Kemiskinan orang tua (bangsa) hanya akan menambah derita panjang akan mimpi indah untuk berubah di masa depan.

Kelima, pentingnya strategi guru dalam membaca agar efektif. Membaca para guru bukan sekadar pemahaman tetapi sudah wilayah membaca cepat dan kritis. Artinya, membaca yang sudah dilandasi oleh efisiensi waktu sehingga dibutuhkan teknik jitu dalam berburu pemahaman. Sedangkan, membaca kritis, menyarankan terjadinya kebiasaan dialogis dalam membaca. Membaca adalah interaksi aktif antara pembaca dan penulis, semacam diskusi sepi. Pergulatan ke puncak hening, perjalanan mendaki memetik ruh untuk disematkan pada tunas-tunas bangsa sehingga lahirkan generasi berkualitas.

Beberapa hal di atas, tentunya dapat dieksplorasi lebih jauh untuk berbagai kepentingan dan tujuan. Namun yang paling filosofis adalah jika budaya membaca telah tercipta maka budaya menulis dapat diimpikan. Keduanya menjadi semacam tabir pandora yang akan memancarkan aura bagi bangsanya. Cakra jantung berselambu makna, jangkar emosi menjadi tali yang setiap waktu akan menjadi pengikat makna gerak dalam membangun pemikiran dan peradaban.

Membudayakan membaca, karena itu, seperti menerjemahkan tamsil Andreas Harefa sebagai manusia pembelajar (Penerbit Buku Kompas, 2005). Dalam logika hipnosis, kebiasaan membaca dalam kondisi rileks (alfa) adalah pengukir dunia bawah sadar yang akan menguasai tubuh pembaca 88 persennya. Jika para guru menjadikan budaya membaca dan menulis sebagai teknik imersi maka di limit waktu perubahan besar bangsa ini di masa depan akan tercipta. Karena guru telah menjadikan perisai ilmu sebagai pedang yang setiap waktu dikilau ulang untuk menumbangkan keangkuhan peradaban.

Karena membaca dan menulis merupakan sarana penting dalam berilmu, maka akankah kita nafikan pesan Nabi yang berpuluh abad telah berpesan, ”Kelebihan seorang yang berilmu terhadap ahli ibadah adalah seperti bulan purnama terhadap seluruh bintang di langit”. Dapatkah kemudian kita maknai bahwa berilmu itu hakikatnya ibadah itu sendiri? Karena ilmu adalah bulan purnama dan ahli ibadah adalah bintang-bintangnya. Salahkah kemudian, jika analog paparan sebelumnya (dalam ”fiqih siasah”), kemudian penulis simpulkan: membaca dan menulis hukumnya wajib bagi para guru?

Bahasa Taufiq pada beberapa puisi-puisinya seperti tempat tamasya hati penuh nilai filosofis eksistensialis. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita di masa depan akan bangsa yang alir akan eksistensi bangsa berbudaya dengan membaca. Taufik karena itu, telah menjadi guru bangsa sejati. Dalam gerak dan larik puisinya sesungguhnya merupakan refleksi eksistensialisme dirinya sebagai warga bangsa Indonesia. Semacam wisata eksistensialisme di balik berbagai realitas ironis keindonesiaan.
***

Akhirnya, apa yang dapat dipetik dari fenomena Taufiq untuk mendorong naluri kepenulisan Anda? Pertama, secara realistis sosok Taufik akan menjadi inspirasi gerak dalam membumikan baca tulis. Siapa pun kita. Terlebih, jika kita adalah pengawal dunia pendidikan yang merupakan tombak perubahan bangsa. Artinya, jiwa pengorbanan dalam melakukan gerakan baca-tulis adalah cermin penting yang wajib di pajang di kamar-kamar hati kita untuk membangun perubahan di masa depan.

Kedua, pelibatan berbagai tokoh sastrawan sesuai dengan wilayah mengingatkan nuansa lokalitas sebagai bingkai berkarya. Nuansa lokalitas yang dalam bahasa Maman S. Mahayana sebagai realita kultural –yang selalu mengirimkan pesan kearifan–. Karya yang baik adalah karya yang mencerminkan nilai kultural ini sehingga universalitas nilainya dapat dipetik. Di samping, hal itu dipandang mampu merekatkan pemahaman atas manusia berbudaya sebagai target dalam pembumian baca tulis (sastra). Mengapa? Karena sastra adalah ruang nilai, ruang diskusi, dan ruang lembut yang senantiasa alirkan proses pemaknaan yang tak pernah terputus.

Ketiga, pelibatan komunitas dalam berbagai kegiatan Taufiq mengingatkan tentang pentingnya komunitas sebagai ruang kepenulisan. Komunitas akan antarkan kita pada kesiapan untuk berbagi, berdiskusi, dan terbuka dalam melihat fenomena kemudian menjadi bahan dasar penting penulisan selanjutnya. Komunitas, karena itu, adalah semacam hutan pertapaan untuk saling mengasah “kesaktian” hati. Komunitas akan menjadi tempat lempang untuk saling memandang dan menggerakkan. Sebagaimana pengalaman komunitas lainnya, maka komunitas itu akan memfasilitasi keterbukaan di satu sisi dan menumbuhkan etos pada sisi lainnya.

Keempat, karena melibatkan para sastrawan dengan sendirinya hakikatnya belajar bagaimana sastrawan berkarya. Di sinilah, ruh pemodelan akan alir secara tidak langsung. Biasanya, mereka tidak sekadar unjuk performansi kesastraan tetapi juga membuka “rahasia dapur” kepenulisannya. Keragaman pengalaman para sastrawan akan menjadi semacam tanaman indah di taman kepenulisan yang setiap saat akan alirkan harum wangi menggairahkan. Jika kita optimalkan memanfaatkannya akan lahirkan orok-orok epigon –yang diujung hari— akan berubah diri kepenulisan yang utuh yang berbeda dengan modelnya. Di sinilah, termasuk para sastrawan biasanya juga memberikan resep tertentu untuk mengatasi kemungkinan penyakit kepenulisan yang diidap oleh rata-rata penulis pemula.

Kelima, latar belakang pendidikan bukanlah ukuran dalam kepenulisan. Berkaca dari pengalaman Taufiq yang berlatar kedokteran, maka menyadarkan kita bahwa kepenulisan tidaklah memandang profesi. Bahkan, kepenulisan akan dapat menjadi jendela emas dalam membangun keberhasilan. Di sinilah, maka kita jujur memandangnya ada pelajaran penting itu untuk kita implementasikan dalam kekarya kepenulisan ke depan. Sebagaimana pengalaman para enterpreneur, menulis merupakan “senjata terpenting” dalam berbagai gerak dan sepaknya. Ahli-ahli motivasi demikian juga.

Keenam, pentingnya mendekatkan karya sastra sebagai jendela membaca dan menulis sejak dini. Di sinilah, maka kebiasaan membaca dalam urutan praktis seringkali diawali dengan kesukaan membaca karya fiksi, baru rambah pada bidang-bidang bacaan lainnya. Pengalaman Yohannes Surya, misalnya, juga bagaimana ia bergulat hangat dengan bacaan fiksi awalnya. Setelah itu, rambah pada bidang-bidang lain, terakhir pada bidang fisika yang dia geluti. Mengapa fiksi? Katanya, buku fiksi dapat merangsang imajinasi sehingga subur di satu sisi dan pada sisi lain buku fiksi seringkali mengajarkan strategi hidup yang menarik. Sebuah pengakuan yang tentunya mendasar untuk memantik kesadaran.

Terakhir, metaforik dari gerakan Taufiq itu maka menyadarkan pada kita akan fungsionalisasi jaringan dalam berkarya. Networking akan menjadi jembatan estetis jika dioptimalkan. Problem penulis pemula adalah minusnya jaringan ini. Dengan demikian rata-rata sastrawan yang relatif memiliki jaringan dengan berbagai pihak akan membantu energi kepenulisan yang tersalurkan. Masalahnya terletak pada bagaimana membangun etika jaringan yang beradab? Jaringan yang tidak saling membunuh dan menciptakan iklim kompetisi secara sehat. Pengalaman menunjukkan, ternyata ada juga para pemula yang tidak siap sehingga menciptakan trik-trik yang tidak produktif untuk pengembangan kepenulisannya.

Untuk inilah, maka jika Anda memasuki dunia kepenulisan ala Taufiq makna gerakan berkarya adalah filosofi pertama. Contoh karya-karya yang diapresiasikan dalam tulisan ini, hanya sekadar pendamping untuk membangkitkan nilai estetis di samping pentingnya pendakian makna yang tersembunyi di balik gunung karya-karya yang tercipta.

Melangkahlah untuk menemukan semua itu. Belajar pada Taufiq akan alirkan pijar lampu penerang kepenulisan Anda di suatu kala.
***

Leave a Reply

Bahasa »