Bunga-bunga Migran

Judul : SUMI: Jejak Cinta Perempuan Gila
Penulis : Maria Bo Niok
Penerbit: Arti Bumi Intara, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : viii + 196 Halaman
Peresensi: Yusuf AN
batampos.co.id

Sejak krisis multidimensi meledak di negeri ini menjadi buruh migran menjadi pilihan banyak orang. Sekian peristiwa pahit yang menimpa buruh migran Indonesia seakan tidak menyurutkan tekad mereka yang ingin mengais rezeki di negeri orang. Tetapi memang banyak pula di antara buruh migran yang beruntung; mendapatkan majikan yang baik hati dan teratur membayar gaji. Seperti yang dialami Suminem, tokoh utama dalam novel karya Maria Bo Niok.

Suminem yang merupakan anak seorang pedagang arang yang hanya lulusan SMP ini terpaksa merantau ke Hong Kong karena tuntutan ekonomi keluarganya. Sebagai pembantu rumah tangga tentu amat senang mendapatkan majikan yang baik hati. Lebih-lebih Suminem. Ia tidak hanya mendapatkan majikan baik, tetapi juga tuan muda yang tampan menggoda, Ryosho namanya. Tuan mudanya yang berdarah Jepang dan China inilah yang kemudian mengisi lembaran hidup Suminem. Perlahan namun pasti bunga-bunga cinta mekar dari dadanya, disambut hangat si kumbang Ryosho, direstui orang tua Ryosho pula. Di sinilah letak kelangkaannya (seorang pembantu berpacaran dengan tuan mudanya dan disertui orang tuanya), untuk tidak mengatakan tidak ada kisah serupa dalam fakta.

Ketika akhirnya Ryosho dan Suminem memutuskan menikah. Suminem tak tahu kalau ayahnya di kampung telah menerima lamaran seorang pemuda kaya bernama Kino untuk dirinya. Suminem sendiri tak mengabarkan tentang pernikahannya kepada orang tuanya. Di sinilah konflik mulai terasa. Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga segala tahu Boniok sengaja membangun ketegangan bagi pembaca. Bagaimana nanti kalau Suminem pulang kampung? Satu pertanyaan itulah yang (semestinya) memaksa pembaca bersetia membolak-balik halaman novel ini sampai akhir.

Tapi yang terjadi tidak selalu demikian. Entah kenapa, justru tak ada yang menegangkan ketika Sumi pulang bersama Ryosho ke kampung halamannya di desa terpencil di daerah Wonosobo. Boniok malahan membawa para tokohnya, Sumi dan Riosyo berlama-lama untuk bertamasya ke Dieng, lengkap dengan aneka kulinernya. Bagaimana dengan Kino setelah tahu Suminem pulang dengan tuan mudanya? Boniok tak menjawabnya dengan jelas.

Membaca novel ini kita seakan dipandu untuk mengikuti jejak seorang tenaga kerja wanita (TKW) dari mulai pendaftaran, pelatihan, sampai pemberangkatan. Penulis yang sudah 5 tahun menjadi TKW di Hong Kong melukiskan kota tersebut lengkap dengan nama-nama tempat, aspek budaya, dan bahasa Kanton?meski hanya sepotong-sepotong. Dan karena saking banyaknya dialog dengan bahasa Kanton sangatlah mengganggu dalam menikmati novel ini.

Selain itu novel ini menjadi janggal karena sebagian besar menceritakan manisnya menjadi TKW. Seminem yang tak pernah mendapat siksa, mengirimi jutaan uang untuk keluarganya, dijadikan menantu oleh majikannya, betapa menyengkan, penuh bunga-bunga. Lalu dimana keterkaitan antara isi dengan judul novel? Jawabannya secara implisit dapat ditemukan pada bagian akhir novel ini. Setelah Ryosho meninggal dalam sebuah kecelakaan, Suminem akhirnya dipulangkan ke kampung halaman karena menderita gangguan kejiwaan. Baru beberapa hari di kampung Suminem dinikahkan dengan Kino. Suminem, yang telah bertahun-tahun menjadi istri Ryosho ternyata masih suci. Masya Allah.

Tapi jika ditelaah lebih dalam, jejak hidup Suminem sudah bisa di bilang gila. Penulis memang tidak menyinggung – nyinggung soal agama, tetapi bagi seorang anak dusun, meminta restu sebelum menikah pada orang tuanya sudah menjadi norma. Tapi Suminem menerobos norma itu. Ia menikahi Ryosho begitu saja, tanpa beban psikologis yang mendalam.

Novel ini tentu saja tidak terlahir sebagai buah imajinasi semata dan tidak pula nyata sepenuhnya. Secara garis besar kisah dalam novel ini memang sangat biasa, amat sehari-hari, karena barangkali kisah ini ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya.

Jalinan peristiwa yang mengalir begitu deras dan terkesan terburu-buru menandakan semangat yang menggebu penulis asal Wonosobo ini. Penulis yang lebih memrioritaskan makna dan problema ketimbang permainan bahasa membuat novel ini dapat dicerna oleh pembaca awan sastra sekali pun.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *