Kika Dhersy Putri
jawapos.com
Judul buku ini Rectoverso. Kalau Anda penikmat karya Dewi Lestari, tentu tak asing dengan kata yang sempat tampil sebagai ”bintang tamu” di buku pertamanya Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Secara makna harfiah, rectoverso adalah dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan. Ini merefleksikan proyek hibrida, buku sekaligus CD yang dirilis bersamaan, tapi dijual terpisah.
Penulis lain, Andre Aksana, pernah melakukan langkah serupa: beli buku karyanya dapat CD soundtrack yang dinyanyikan Andre. Langkah Dewi ini terasa lebih bisa dipertanggungjawabkan karena memang dia penyanyi sungguhan yang sekaligus juga penulis sungguhan. Konon, afdolnya buku ini dibaca sambil mendengarkan CD-nya. Subjudulnya cukup seduktif: ”Sentuh hati dari dua sisi”, ditambah jargonnya: ”Dengarkan kisahnya, baca musiknya.”
Buku ini terdiri atas 11 cerita dan 11 lagu dengan judul yang sama persis, dengan urutan yang juga kembar. Saya cuma berani bilang konon, karena baru sempat membaca ceritanya saja. Mungkin paket jualan efektif, mungkin juga punya efek saling melengkapi satu dengan lainnya, saya tidak punya referensi cukup untuk itu.
Kalau kata pepatah jangan menilai buku dari sampulnya, sekarang saya malah mengajak Anda mengingkari pepatah itu sama-sama. Tampilan bukunya menjanjikan. Dikemas mewah, hard cover, dengan pembatas buku yang menyatu ala buku skripsi. Nyaman untuk dibaca walau berkonsekuensi logis harganya jadi di atas rata-rata. Bertabur foto dan gambar freehand, tiap cerita dibatasi dengan kertas hijau berisi lirik lagu yang sekaligus menjadi judul ceritanya. Cover-nya siluet pria-wanita, ada jarak di antara mereka. Penanda waspada untuk pembaca supaya tidak berharap banyak untuk dapat rangkaian cerita cinta manis rasa gula-gula.
Dari 11 cerita, 9 di antaranya ditulis dalam bahasa Indonesia, dua lainnya dalam bahasa Inggris. Dewi memang pemilih kata (diksi) yang brilian, baik dalam bahasa Indonesia mauun bahasa Inggris. Mungkin bukan pilihan yang bersahabat untuk yang tidak biasa membaca tulisan dalam bahasa Inggris, karena diksinya sering dengan kata-kata ”mewah” untuk kosakata sehari-hari. Tak perlu dipersalahkan, cuma mungkin membuat sebagian pembaca sedikit repot untuk rajin menilik kamus untuk merangkai makna cerita.
Beberapa cerita yang kuat alurnya adalah Malaikat Juga Tahu, Cicak di Dinding, Hanya Isyarat, Firasat, dan Peluk. Cerita Malaikat Juga Tahu (hlm. 11) sudah pernah saya baca sebelumnya di sebuah majalah wanita, bercerita tentang cinta segitiga: pemuda autis, gadis idaman, dan adik lelaki pemuda autis yang tampan dan lulusan luar negeri. Tentang cinta yang tidak bisa memilih di satu sisi dan cinta yang ingin dibebaskan memilih di sisi lain. Betapa untuk si pemuda autis, mencintai adalah sesuatu yang absolut dan bagian dari eksistensi diri. Sementara untuk wanita idaman dan adik laki-laki si pemuda autis, cinta adalah tentang pengorbanan dan membuat pilihan. Miris.
Cicak dan punggung jadi objek romantis di tangan Dewi. Gambar cicak flouresence ternyata bahasa untuk cinta rahasia seorang pelukis terhadap calon istri sahabatnya (hlm. 81). Punggung di Hanya Isyarat (hlm. 39) adalah simbol kenyamanan dari cinta rahasia. Ternyata tatap mata atau sentuhan kulit ke kulit dengan orang yang kita kagumi bisa berubah terlalu menyiksa. Overdosis untuk si pencinta diam-diam. Firasat (hlm. 89) juga sama, tentang cinta diam-diam seorang ”murid” pada ”guru”-nya. Jangan bayangkan sekolah formal, ini cerita tentang sekumpulan orang yang punya minat sama dalam membaca firasat. Bahwa cinta pun tak pernah jadi terlalu kuat untuk mencegah nasib buruk. Ternyata belajar dan bisa membaca firasat bukan alat (dan tidak pernah jadi alat) untuk melindungi orang yang kita cintai. Mampu membahasakan firasat lebih kepada belajar untuk menerima dan berdamai dengan kenyataan buruk yang kita tahu lebih dulu.
Kalau Anda cukup rajin dengar gosip selebriti dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Dewi dan Marcell dengan cara yang lebih beradab dari menonton infotainment, baca baik-baik Peluk (hlm. 51). Berdasar asumsi pribadi saya, ini cerita tentang perpisahan mereka. Curhat perpisahan yang paling manis, paling tidak ditulis paling indah oleh pelakunya yang kebetulan penulis, walau tak menutup kemungkinan akan ada juga komentar sinis bahwa ini pembenaran paling cantik yang pernah dibuat. Hati diibaratkan air, lengkap dengan sifat alaminya. Hati mestinya selalu jatuh ke tempat yang lebih rendah supaya bisa mengalir. Saat dia cuma bisa menggenang bahkan lalu membeku jadi stalakmit, mestinya harus dicari solusinya untuk tetap mengalir dan berpisah adalah salah satu solusi yang masuk akal dan menuruti kata hati. Jadi ini bisa jadi bonus untuk para pembaca buku yang sekaligus juga penghobi gosip.
Sepertinya Dewi masih ingin curhat tentang cinta. Tapi bukan jenis cinta yang manis-manis, karena buku ini tentang wajah lain cinta. Yang pilu. Yang sedih. Cinta bertepuk sebelah tangan, cinta tak sampai, cinta rahasia, juga perpisahan dan patah hati. Jadi, Anda siap dicurhati tentang cinta oleh Dewi Lestari.
*) Penggemar buku, tinggal di Surabaya.
Judul Buku: Rectoverso
Penulis: Dee (Dewi Lestari)
Penerbit: Goodfaith
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: xvi + 148 Halaman.