Halloween, Saksi Keteledoran dan Keserakaan “Russell”

Judul Novel : Cincin Monster
Judul Asli : Russell Troy; The Monster’s Ring
Penulis : Bruce Coville
Penerjemah : Venti
Penerbit : Matahati, Jakarta
Cetakan : 1 (pertama), 2007
Tebal : 114 halaman.
Peresensi : MG. Sungatno *
cawanaksara.blogspot.com

Dewasa ini, kasus-kasus kerusuhan yang timbul akibat kenakalan remaja (anak muda-mudi) dari tahun ketahun semakin menunjukkan geliat yang meresahkan masyarakat. Remaja yang seharusnya belajar giat dan menyiapkan bekal khusus untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih cerah, terjebak dalam kubangan keinginan-keinginan untuk meraih kepuasan yang sifatnya sementara dan tidak menghasilkan kemanfaatan yang cukup berarti.

Inilah salah satu alasan yang mendasari novelis Bruce Coville untuk turut mengapresiasi merebaknya kenakalan-kenalakan anak muda yang menyulut keresahan tersendiri bagi masyarakat. Dalam konteks ini, Bruce mengajak para kaula muda untuk mempertahankan potensi positif yang telah dimiliki dan mengajak bagi mereka yang sudah terlanjur berbuat sesuatu yang sifatnya merugikan diri sendiri dan orang lain untuk memperbaiki diri dan berusaha tidak mengulangi perbuatan negatif tersebut.

Bagi Bruce, untuk merealisasikan kepedulianya terhadap masa depan generasi muda agar lebih baik, tidak harus memberikan hukuman yang pedih bagi mereka yang sudah berbuat kesalahan dan menjejali nasihat-nasihat yang dalam penyampaiannya terkesan kaku, kering dan tidak toleran. Pelajaran dan hukuman dapat disentuhkan pada generasi muda dengan melakukan pendekatan emosional dan memilih momen yang sekiranya lebih mendukung hadirnya esensi pelajaran atau hukuman pada objek yang dituju.

Dalam konteks ini, Bruce memilih jalur pendekatan emosional yang muncul dari hobi dan tradisi lingkungan para generasi muda yang hendak “dibidik”. Halloween, sebagai salah satu acara yang telah men-tradisi dan tersakralkan ditengah kehidupan orang-orang barat dan generasi-generasi muda mereka, dijadikan Bruce sebagai media dalam melancarkan misinya mengawal generasi muda “orang-orang barat”. Acara yang terselenggara pada malam hari tanggal 31 Oktober itu sejatinya dijadikan bangsa Eropa kuno untuk merayakan berakhirnya musim gugur dan menyambut hadirnya musim semi sekaligus sebagai manifestasi penghormatan mereka terhadap ruh-ruh para santo Katolik, yang disepakati pada tanggal 1 November. Konon pada malam itu pula, roh-roh para penguasa kehidupan di bumi, bangkit dan menyertai kehidupan manusia pada saat itu, yang selanjutnya disimbolkan dengan memakai kostum-kostum horor dalam merayakan malam Hallowen tersebut.

Russel, sebagai tokoh utama yang dijadikan Bruce dalam menyampaikan keinginannya terhadap pembaca, menjadi bangga ketika dirinya memiliki kostum paling horror dan dikagumi semua peserta yang hadir pada perayaan Halloween dikotanya. Yang lebih membuat Russel senang, kostum yang digunakannya tidak berupa pakaian yang terbuat dari benang ataupun kulit binatang, melainkan perubahan fisik yang sesuai dengan keinginannya.

Kostum ajaib yang pernah dipamerkan Russel pada beberapa teman disekolah dan diketahui gurunya sebelum malam perayan Halloween itu, menjadikan salah satu temannya memiliki sifat iri dengki. Tetapi hal itu tidak menjadikan Russel bergeming sedikitpun karena kostum yang dimilikinya tidak mugkin ada yang menyaingi dan dia bisa merubah bentuk sesuai keinginan.

Optimis Russel dalam mendamba kostumnya yang tiada duanya itu terbukti pada malam perayaan yang sedang terselenggara ditengah-tengah kota yang diterangi manisnya bulan purnama. Tidak ada salah satu diantara peserta yang kostumnya mampu menyamai atau menyaingi milik Russell, apalagi pada malam puncak perayaan itu Russel mengubah bentuk fisik hingga menjadi seekor binatang besar dan bersayap dipunggungnya.

Ironisnya, karena saking dikuasainya nafsu untuk menjadi orang yang dikagumi dan diakui akan kekuatannya oleh orang lain, Russel lalai terhadap aturan yang telah diberikan oleh pemberi kekuatan pada dirinya. Yakni, larangan dalam menggunakan kekuatan yang bersumber dari sebuah cincin untuk merubah fisiknya menjadi monster yang bersayap disaat malam-malam bulan purnama. Kajadian fatalpun segera menimpa Russel. Ia tidak bisa mengembalikan wujud aslinya kebentuk semula, sehingga membawanya pada penyesalan yang mendalam.

Saking putus asa dan penyesalannya yang telah lalai terhadap aturan kesepakatan yang diperkuat dengan teguran makhluk suruhan dari pemberi cincin ajaib tersebut, Russel dengan susah payah, malu dan segudang penyesalan yang masih menggelayutinya, berusaha mencari pemberi cincin untuk minta maaf dan meminta dikembalikan dirinya pada bentuk semula. Walaupun dengan berat hati, setelah bertemu dan mendengarkan penjelasannya tentang keinginan untuk menyelamatkan temannya, Eddy, dari gangguan segerombolan pemuda-pemuda bejat dimalam Halloween -yang menurutnya hanya bisa diselamatkan dengan kekuatan yang terdapat dalam dirinya, pemberi cincin sekaligus gurunya itu memaafkan. Tanpa sepengetahuan Russel, yang sedang tertidur karena kelelahan, orang tua tersebut mengembalikan Russel dalam wujud yang semula. Sebagai hukuman kakek penyihir itu menyita kembali cincin yang telah diberikannnya kepada Russel. Tidak lama kemudian, kegembiraan pun menyeringai dari diri Russel dan bersumpah tidak akan mengulangi keteledoran tersebut.

Dalam novel inilah, Bruce meracik pelajaran-pelajaran dan teguran santai ?tapi mengena- terhadap pembaca, khususnya kaula muda, untuk mengimplementasikan nilai-nilai subtantif yang terkandung dalam perayaan Halloween. Novel tipis tapi unik ini, walaupun dalam kepenulisannya menyelap-nyelipkan pelajaran dan teguran aktual yang orientasinya menuju cerahnya masa depan generasi penerus kehidupan, tetapi tetap tidak menanggalkan aroma-aroma kemunculan dan berseminya tradisi Hallowen yang dewasa ini telah melebar diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

*) Aktivis Scriptorium Lintang Satra Yogyakarta.

Leave a Reply

Bahasa ยป