Rakhmat Giryadi
Ibu kita Kartini, putri sejati
Putri Indonesia, harum namanya
Ibu kita Kartini, pendekar bangsa
Pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya, bagi Indonesia
(WR Soepratman)
Kartini lahir 21 April 1879 atau 28 Rabiulakhir 1808 di Desa Mayong, Jepara. Tak jelas siapa yang memberikan nama itu padanya. Tapi Pramoedya dalam Panggil Aku Kartini Saja lebih yakin, karena perempuan, ibunyalah yang memberikan nama.
Waktu itu ayah Kartini masih menjabat Asisten Wedana onderdistrik Mayong, Kabupaten Jepara, dan memiliki rumah yang luas. Tapi Kartini justru tidak lahir di rumah yang luas ini. Sebagai anak dari “selir”, Kartini lahir di rumah kecil, berada di bagian belakang rumah Asisten Wedana itu.
Dia besar di bawah pengasuhan ibunya, di rumah kecil itu. Kartini sendiri melukiskan masa kecilnya itu dengan nada pedih. Suratnya kepada Ny HG de Booij-Boissevain menunjukkan diskriminasi yang dia dapat ketika bayi.
Lewat surat kepada Estelle Zeehandellar, mengungkapkan: “Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menentang kami. Aduhai! Betapa banyaknya dukacita dahulu semasa kanak-kanak di sekolah; para guru dan banyak di antara kawan mengambil sikap permusuhan kepada kami…”
Sementara itu, Ibunya harus bersaing dengan istri utama ayahnya, yang memang masih keturunan Ratu Madura. Sejak bayi dia sudah merasakan kehidupan yang beda antara gedung utama dan rumah kecilnya. Sahabat Kartini Ny Van Zeggelen dalam romannya Kartini melukiskan, setelah lahir Kartini diasuh emban, Rami. Sedang ibu Kartini, seperti kebanyakan selir lain, pergi dari rumah itu sesudah melahirkan.
Apa sesungguhnya cita-cita Katini? Dalam buku Habis Gelap Terbitlah terang, Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan bidang pendidikan, ekonomi, dan bahkan budaya. Kartini mencita-citakan kemuliaan kaum perempuan adalah ketika berdiri sejajar dengan kaum pria. Perempuan tidak saja berposisi sebagai Ibu, meski perempuan tetap menyadari kodratnya.
Bila mempelajari pikiran Kartini lebih mendalam, cita-citanya melampaui sekadar soal emansipasi dan pendidikan perempuan. Kartini ternyata adalah memperjuangkan pula peningkatan perekonomian masyarakat, menyangkut kepentingan rakyat secara luas.
Saat ini kita dapat sedikit berbesar hati bahwa cita-cita Kartini untuk meningkatkan pendidikan perempuan sudah cukup berhasil. Hanya yang menyedihkan dalam dunia kerja, meskipun dengan prestasi yang baik perempuan sangat sulit untuk mendapat kenaikan jabatan, apalagi untuk mencapai kedudukan pimpinan. Masih banyak perempuan yang terkungkung hambatan (unfreedom), terhalang bersekolah karena dikalahkan prioritasnya oleh saudara laki-lakinya karena keterbatasan dana, terutama di desa-desa.
Akan tetapi bila kita melihat cita-cita Kartini di bidang lain seperti bidang perekonomian masyarakat, kebudayaan, dan kebebasan berprestasi, keadaannya masih memprihatinkan. Nasib perempuan masih akan buruk bila perekonomian nasional belum segera tumbuh berkembang, pengangguran yang belum sepenuhnya teratasi menjadi sumber nasib buruk bagi TKW-TKW kita.
Marilah kita semua kembali merenungkan cita-cita Kartini dari perspektif yang lebih luas. Kartini bukan hanya sebagai seorang tokoh emansipasi perempuan, akan tetapi juga sebagai pelopor dari kemajuan berbagai bidang, seperti kesenian, industri masyarakat, kesejahteraan petani, juga tokoh politik yang memperjuangkan kemerdekaan kaumnya.
Lagu Ibu Kita Kartini yang diciptakan WR Soepratman, merupakan penghargaan besar bagi perjuangan kaum perempun. Namun perempuan dewasa itu tidak hanya butuh disanjung-sanjung, tetapi mereka harus diberi hak-haknya sebagaimana manusia biasa. Bukan karena dia perempuan, tetapi manusia yang punya hak yang sama dengan lainnya.
….
Ibu kita Kartini, Putri yang suci
Putri Yang merdeka, cita-citanya
Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya, bagi Indonesia.
***
9 September 2008