Olivia Kristinasinaga
http://www.korantempo.com/
Kalimat ini sangat terkenal setelah ditulis oleh Mario Gianluigi Puzo (October 15, 1920 ? July 2, 1999) dan diucapkan oleh Marlon Brando, pemeran Don Vito Corleone dalam film The Godfather I-III. Puzo, novelis terkenal Amerika ini, adalah si penulis novel The Godfather yang bertahan di daftar best-seller surat kabar The New York Times selama 67 minggu.
Selain The Godfather, Puzo juga menulis buku-buku fiksi lainnya. Di antaranya adalah The Dark Arena (1955), The Fortunate Pilgrim (1965), The Runaway Summer of Davie Shaw (buku anak-anak) (1966), The Godfather (1969), Fools Die (1978), The Sicilian (1984), The Fourth K (1990), The Last Don (1996), Omert? (2000), The Family (2001). Tidak semuanya bercerita tentang mafia, namun fiksi-fiksi mafianyalah yang memantapkan karier penulisan Puzo sampai ke taraf internasional.
Puzo lahir dalam keluarga imigran miskin Sisilia tinggal di daerah Hell?s Kitchen, Manhattan, New York bersama orang tua serta enam saudara laki-laki dan perempuan. Pria yang bergabung dalam Angkatan Udara Amerika dalam Perang Dunia II ini berpedoman menulis jernih seperti berbicara dan secara dramatis seperti bertutur. Tidak dilupakannya ?bumbu-bumbu? tulisan seperti detail cahaya dan aroma yang membuat ceritanya lebih ?hidup?. Jarang melakukan wawancara untuk promosi buku, tidak banyak orang tahu hidupnya terbelit utang sebelum kesuksesan novel The Godfather.
Fools Die, karya Puzo di tahun 1978, bukanlah sebuah fiksi mafia. Berlatar belakang Hollywood, Las Vegas, New York, dan Tokyo, Fools Die bertutur terutama seorang penulis, Merlyn, yang menganggap dirinya seorang penyihir.
Membuka kisah sebagai ahli bercerita, Puzo dengan piawai menohok pikiran pembaca. Sejak awal. Dengan setia membalik lembar demi lembar buku, pembaca akan diikutsertakan dalam sebuah petualangan hidup bersama tokoh-tokoh beragam karakter. Baik dan jahat sekaligus, setiap tokoh punya karakter yang berwarna-warni. Manusiawi.
Jordan Hawley, lelaki yang tinggal dan berjudi di Hotel dan Kasino Xanadu, adalah tokoh pertama yang diperkenalkan pada pembaca. Pria ini menghabiskan waktu di Vegas setelah istri yang dicintainya meminta perceraian. Jordan tidak menolak. Bahkan ia tidak memperjuangkan hak asuh anak-anaknya. Istrinya adalah perempuan cantik, pintar, istri, dan ibu yang baik. Mereka bercerai dan istrinya kemudian tinggal dengan kekasihnya.
Merlyn the Kid, Cully Cross, dan Diane adalah orang-orang yang menjadi teman-teman Jordan di Vegas selama tiga minggu ia berada di sana. Mereka akhirnya terbiasa menghabiskan waktu bersama. Setelah berjudi, mereka akan makan bersama saat dini hari. Namun Jordan adalah benang merah yang menyatukan mereka. Teman yang ditemui di gemerlapnya Vegas namun mempengaruhi hidup mereka kemudian.
Merlyn, si penulis, mempunyai istri dan anak-anak dengan kehidupan keluarga yang cukup bahagia. Merlyn tidak selalu menghasilkan novel yang sukses. Namun, kemudian putaran roda kehidupan mempertemukan Merlyn dengan orang-orang luar biasa yang menjadikan hidupnya punya banyak sisi. Ia menulis novel yang kemudian diangkat menjadi film Hollywood yang kurang sukses. Kehidupan ganda yang dijalaninya karena affair, kejahatan yang ia pikir tak akan pernah bersentuhan dengan dirinya, menjadikan Merlyn sosok utuh dengan kebaikan dan kejahatan yang dilakukannya secara berimbang.
Cully Cross adalah pegawai di Xanadu. Ia menjalani masa percobaan sebagai tangan kanan Gronevelt, orang nomor satu di hotel dan kasino Xanadu. Cully adalah jenis manusia yang selalu memperhitungkan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam melakukan apapun. Ia tidak sudi dibodohi oleh perempuan. Namun, persahabatannya dengan Jordan, Merlyn, Diane, dan Gronevelt mempengaruhi sifat alaminya itu dan berperan dalam mengubah sebagian pribadinya.
Kisah ini ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Si orang pertamanya terus berganti sepanjang cerita. Namun, tokoh utama Fools Die tetaplah Merlyn. Sosok yang selalu menganggap dirinya bisa ?membaca? orang lain. Ia digambarkan sebagai orang yang selalu bereksperimen dengan kehidupan sebagaimana Merlin dalam cerita King Arthur adalah penyihir yang cakap dan telah mengetahui masa depannya sendiri. Namun, Merlin tidak berusaha mengubah nasib buruknya.
Merlyn dalam Fools Die selalu berusaha mengontrol hidupnya dan menolak berserah pada nasib. Seorang pria yang melakukan segala sesuatu dengan memperkirakan dampaknya di masa depan. Manusia yang menolak untuk menjadi bodoh dan dibodohi. Oleh siapapun dan apapun. Khususnya oleh takdir.